Seorang petugas berbadan tegap memasuki ruangan dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Mendekati lima lelaki yang sejak tadi menunggu dengan gelisah sembari mendengar lagu-lagu dari YouTube. Lelaki itu segera mencuri perhatian dan dengan kesan formal menyampaikan jika besok kelima lelaki itu akan bebas. Itu berarti sebentar lagi mereka pulang dan kembali ke tempat yang bisa mereka sebut rumah. Semua bahagia, tetapi tidak bagi Ambo.
***
Ambo merupakan narapidana kasus pencurian. Ia dikejar dan dipukuli warga saat mengambil roti dan uang di sebuah toko kelontong di dekat pasar. Dengan wajah babak belur, ia berakhir di penjara.
Sebetulnya ia enggan mencuri, namun perut kosong tidak mau lagi diajak berkompromi. Tak ada keluarga atau kenalan yang bisa dimintai pertolongan di kota itu. Sedangkan pekerjaan sangat sulit ia peroleh, maka tak ada pilihan lain selain mencuri. Kau hanya butuh keberanian dan kekuatan untuk berlari. Ambo punya keberanian, namun tidak yang terakhir ini.
***
Sudah beberapa bulan ia berada di penjara, karena punya sedikit kemampuan memasak, Ambo kemudian dipekerjakan di bagian dapur. Dibantu oleh rekan lain, setiap tiga kali dalam sehari, Ambo harus menyediakan makanan untuk seluruh napi. Tidak seperti di luar sana, di dalam penjara dengan tugas yang diberikannya itu, ia bisa makan enak, bebas menentukan sendiri cita rasa makanan yang akan dia makan. Makan dan tidur sepuasanya, tidak ada lagi kenikmatan selain itu yang ia peroleh sejak pindah ke kota ini.
Banyak orang memuji masakannya, cara ia mengolah daging, ikan, telur, atau sayur sangatlah pas. Kian hari kemampuan memasaknya bertambah baik. Dan ia semakin mencintai kegiatan itu. Sehingga Ambo akan berang jika mendapati napi menyisahkan makanannya.
Ambo pernah merasakan hidup tanpa makanan, sehingga membuang-buang makanan berarti tidak mensyukuri nikmat, dan paling utama tidak menghargai hasil jerih payah tukang masaknya.
Sekali waktu Ambo pernah terlibat aksi perkelahian karena persoalan makanan.
“Makanan itu enak, namun aku sudah terlalu kenyang untuk menghabiskan semua makanan itu,” komentar seorang napi di hadapan Ambo.
“Karena alasan itu, lantas kau bebas melemparnya ke tong sampah?” balas Ambo menantang yang sejurus kemudian mengirim tinju secara telak ke wajah lawan bicaranya.
Perkelahian kemudian memancing keributan besar sampai akhirnya petugas berhasil mengamankan mereka. Ambo dihukum beberapa minggu sebelum akhirnya kembali menjalankan tugasnya di dapur.
***
Rasa cinta Ambo terhadap kegiatan memasak membuatnya sangat berat hati meninggalkan penjara. Punya banyak teman dan selalu ada sesuatu yang menarik untuk dilakukan. Di mana lagi usahanya bisa dihargai dan merasakan hidup lebih nyaman.
Awalnya Ambo berniat mengulangi kejahatan agar bisa masuk penjara dengan mudah, namun hati kecilnya menolak itu. Beruntunglah lewat rekomendasi seorang petugas penjara, Ambo kemudian dipekerjakan di sebuah rumah makan.
Sugi, si pemilik rumah makan memandang Ambo dengan teliti saat Ambo memenuhi janji temu. Matanya memindai seperti alat pendeteksi barang terlarang. “Masakan apa yang bisa kamu siapkan?” tanya Sugi menaksir-naksir sosok di hadapannya.
“Aku sedikit bisa membuat makanan dari olahan daging, dan seafood” kata lelaki itu canggung.
“Oke, mari kita lihat apa yang bisa kautunjukkan padaku.”
Awalnya pemilik rumah makan merasa ragu menerima Ambo. Selain statusnya sebagai mantan narapidana, tampangnya lebih cocok menjadi tukang aduk semen ketimbang tukang masak. Jika bukan karena permintaan si petugas yang merupakan kenalan akrabnya, si pemilik rumah makan enggan menerima Ambo.
Di luar dugaan, tidak seperti penampilannya, Ambo nyatanya mampu menunjukkan kebolehannya sebagai tukang masak. Setelah bekerja beberapa hari, Sugi sangat menyukai masakan-masakan Ambo, hal itu membuat rumah makan miliknya semakin ramai dikunjungi. Itu berarti lebih banyak uang yang akan menggelinding masuk ke kantongnya.
Semakin hari, Sugi semakin senang dan memberi kepercayaan kepada Ambo. Namun, perhatian itu mengundang kecemburuan bagi Gani, salah seorang tukang masak di rumah makan itu. Keberadaan Ambo menjadi ancaman baginya. Dulu Sugi selalu mengandalkan Gani untuk menyediakan hidangan bagi pelanggan. Ia tukang masak cukup andal di rumah makan itu, namun tidak lagi sejak kedatangan Ambo. Dan lelaki itu tidak suka menjadi nomor dua.
Siang itu, restoran ramai. Ambo sibuk menyediakan pesanan yang menggunung. Di sampingnya, Gani membantu menyediakan keperluan Ambo dan mengantar pesanan ke pelanggan. Saat Ambo menarik diri ke kamar kecil, Gani memanfaatkan kondisi itu. Dengan sigap tangannya meraih botol garam yang ada di rak. Ia menuangkan seluruhnya ke dalam mangkuk-mangkuk pesanan. Mengaduk kuah sekenanya sebelum mengembalikan botol garam ke semula. Gani bersikap setenang mungkin seolah tak terjadi apa-apa saat Ambo kembali. Seperti yang Gani harapkan, pelanggan mengeluhkan rasa makanan yang dibuat Ambo. Namun, Sugi berhasil menyelesaikan masalah itu dengan makanan pengganti dan biaya gratis bagi pelanggan kecewa.
“Aku menyaksikan sendiri Ambo menuangkan banyak garam melebihi takaran,” kata Gani menuduh.
“Aku yakin takarannya sudah pas,” kata Ambo membela diri.
Ibu Sugi sebenarnya sudah tahu pelakunya lewat kamera pengawas tersembunyi. Ia bisa memantau kejadian itu dari balik layar ponselnya. Namun, ia membutuhkan kejujuran mereka dan paling penting harus tetap merahasiakan keberadaan kamera pengawas itu. Bagaimana ia bisa mengawasi pekerjaan tukang masaknya secara jujur tanpa rahasia keberadaan kamera itu.
Sugi merenungkan sebuah gagasan dan akhirnya berhasil memecah kebuntuan. Ia menyuruh Ambo untuk tidak datang ke rumah makan esok harinya.
“Mungkin kamu terlalu lelah, sehingga tidak fokus bekerja. Sebaiknya kamu beristirahat, ” kata Sugi kepada Ambo. Di balik pintu, Gani menyembunyikan senyum mengejek. Ia akan menjadi yang nomor satu lagi. Pikirnya.
***
Sugi akan memberi pelajaran kepada Gani, sebab ini bukan kali pertama Gani melakukan kesalahan. Beberapa kali ia membikin kecewa Sugi dan para pelanggan: menyembunyikan barang milik pelanggan yang ketinggalan, membawa pulang bahan makanan tanpa seizin Sugi, dan kadang bersikap kurang ramah terhadap pelanggan. Selama ini Sugi masih sabar, dengan pertimbangan belum ada yang bisa menggantikan posisinya sebagai tukang masak, namun kali ini kesabaran Sugi sudah mencapai batasnya.
Esok hari, saat pelanggan mulai berdatangan, Gani mulai sibuk di dapur menyediakan pesanan satu demi satu. Pada momen itu, ia menarik diri ke ruang penyimpanan bahan makanan. Saat sibuk memilih bahan terbaik, dari situ sudah terdengar ribut-ribut pelanggan. Mereka mengeluhkan rasa makanan yang aneh. Sekali lagi Sugi tampil, menenangkan pelanggan dengan makanan pengganti dan biaya gratis, serta tambahan kupon makan gratis bagi pelanggan kecewa.
“Kenapa hal seperti ini bisa terulang,” tanya Sugi kepada Gani dalam suasana yang teatrikal.
“Aku juga tidak mengerti, Bu.”
“Siapa lagi yang bisa berbuat semacam ini kecuali kamu? Tidak ada orang selain kamu di dapur.”
Gani diam tertunduk seperti seorang tentara yang menerima kekalahan di medan perang. Sejak saat itu, Gani tak lagi bekerja di rumah makan. Ia memohon, namun Sugi tidak memberi tempat bagi orang-orang semacam dirinya lagi.
Namun, itu bukanlah akhir peran Gani dalam cerita ini. Dendam membara mendorongnya untuk membuat perhitungan dengan Sugi.
Sore yang tenang, tiga pelanggan masih terlihat menikmati makanannya. Gani datang dengan sebilah badik di balik bajunya. Ia menghampiri pelanggan dan membanting piring-piring makanan yang ada di hadapan mereka. Semua ketakutan dan lari dengan sisa makanan di mulut saat melihat badik di pinggang Gani. Tidak sampai di situ, Gani menginjak-injak makanan sebelum akhirnya mengejar Sugi di balik meja kasir yang tampak kaget. Gani mencabut badik dan sekelebat mengayunkan ke Sugi. Sugi mengelak ketakutan. Namun sialnya, badik itu mengenai lengan kiri Sugi. Sugi berteriak meminta pertolongan. Teriakan itu mencuri perhatian orang lewat. Saat Gani ingin mengakhiri hidup Sugi dengan tusukan tepat di dadanya. Tiba-tiba Gani mendapati sebuah pisau tertancap di punggungnya. Ia kaget saat menyaksikan pisau itu berada di tangan Ambo. Gani berusaha melawan. Namun, tusukan demi tusukan dilayangkan Ambo, sebelum akhirnya Gani roboh dengan gelimang darah di lantai.
Sore itu menjadi akhir hidup Gani. Sugi masih diliputi mendung ketakutan, sementara orang-orang di dekat situ mencoba menenangkan. Satu dua orang sibuk mengambil gambar lewat ponsel pintar miliknya. Di lain sisi, Ambo dengan tenang mengumpulkan piring pecah dan membersihkan sisa makanan yang jatuh akibat ulah Gani tadi.
Bau anyir darah menguar terbang dan akan menjadi penanda dari kisah kelam rumah makan itu.
***
Beberapa jam kemudian, dua polisi datang dan membawa Ambo. Di atas mobil yang meluncur dengan sirene, Ambo merenungkan kejadian hari itu. Terselip sesuatu dalam pikirannya, menciptakan segaris senyum mengembang di wajahnya.
Ia membayangkan, membayangkan masakan yang cocok untuk kawan-kawannya nanti.
*****
Editor: Moch Aldy MA
Di penjara, menurut banyak cerita dan data, gak ada daging, ikan, dan telur. Semua serba pas2-an bahan pokoknya. Ini buat catatan kecil saja