Sebelum membeli dan membaca buku Kabar Buruk Hari Ini, saya sudah pernah baca beberapa liputan dari Mawa Kresna di Tirto dan Project Multatuli. Tulisan-tulisannya bagus dan membuat saya merasa tertarik menjadi seorang jurnalis. Keinginan saya itu semakin besar pasca membaca buku ini.
Buku terbitan Mojok ini berisi 23 liputan yang pernah ditulis oleh Mawa Kresna, kebanyakan saat dirinya bekerja di tirto.id. Semuanya bernas, semuanya ditulis dengan hati serta berlandaskan data dan fakta.
Diskriminasi Etnis dan Umat Beragama
Mawa Kresna dengan apik meliput diskriminasi kepemilikan tanah yang dialami masyarakat Tionghoa di Jogjakarta. Mereka yang terlahir sebagai etnis Tionghoa tidak diperkenankan memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) Tanah, melainkan hanya boleh memiliki izin Hak Guna Bangunan (HGB) saja. Penyebabnya adalah stempel non-pribumi yang dilekatkan pemerintah di dahi mereka. Peristiwa semacam ini tentu termasuk dalam pelanggaran HAM karena telah melanggengkan diskriminasi atas etnis tertentu. Bukankah mereka juga bagian dari Warga Negara Indonesia (WNI)? Atau apa sebenarnya kriteria dari pribumi dan nonpribumi?
Di buku ini, Mawa Kresna juga menyinggung Perda Injil di Manokwari yang sempat dianggap akan menimbulkan konflik umat beragama. Dalam dua tulisannya terkait itu, ia dengan lugas menuliskan kronologi terbentuknya Perda Injil serta meluruskan kesalahpahaman masyarakat yang sebelumnya menganggap kalau aturan ini diskriminatif. Meskipun dalam penyusunannya banyak mendapat pertentangan, Perda ini akhirnya tetap diberlakukan dengan menghapus pasal-pasal yang rawan menimbulkan konflik horizontal.
Konflik Agraria dan Ruang Hidup
Konflik ruang hidup adalah persoalan yang sangat pelik, menyita waktu, dan penuh dengan kepentingan. Menuliskan berita tentangnya juga tidak kalah sulitnya. Adakalanya jurnalis harus melawan kekuatan-kekuatan besar di balik konflik ruang hidup itu. Kekuatan-kekuatan yang bisa melakukan apa saja kepada siapa saja.
Kekuatan besar itu dilawan oleh warga di Kendeng dan Patiala Bawa. Kisah Yu Patmi yang meninggal tidak lama setelah melakukan aksi mengecor kaki dengan semen sebagai bentuk penolakan terhadap pembangunan pabrik semen atau kisah Luther L. Hya, kepala desa Patiala Bawa yang harus kehilangan salah satu anaknya setelah tertembak polisi karena getol memperjuangkan hak-hak tanah adat. Mungkin bagi kita, keduanya hanyalah gerakan kecil yang tidak berarti apa-apa di hadapan kekuatan yang besar, tetapi gerakan kecil itu akan memantik gerakan-gerakan perlawanan yang lebih intens, meluas, dan mendapat banyak perhatian saat disebarluaskan oleh media.
Saat sebuah lahan dipaksa beralih fungsi, yang hilang bukan sekadar sebidang tanah, tetapi sebuah ruang untuk hidup. Banyak warga yang pada akhirnya harus kehilangan mata pencaharian ketika memutuskan untuk melepas lahan yang mereka miliki. Meski pada akhirnya diberikan biaya ganti rugi, hal itu tetap tidak sebanding dengan kehilangan yang mereka alami. Biaya ganti rugi yang mereka terima hanya mampu menutupi kebutuhan di tahun-tahun awal pasca tergusur saja, setelah itu, kebingungan akan melanda karena uang mulai menipis dan pekerjaan yang baru tidak kunjung mereka dapatkan. Itulah yang terjadi di Kulon Progo dan mungkin di banyak daerah lainnya di Indonesia.
Selain menuliskan hal-hal besar seperti diskriminasi dan konflik agraria, Mawa Kresna juga menyampaikan suara-suara mereka yang rentan dan marjinal. Ia menuliskan betapa beratnya perjuangan Abhi, seorang transpria yang masih memperjuangkan haknya untuk diperlakukan sama di Indonesia. Abhi mengeluhkan nasib teman-temannya yang rentan dikriminalisasi sementara negara yang seharusnya menjadi pelindung justru turut memfasilitasi kekerasan terhadap mereka.
Negara seharusnya mulai memikirkan jalan terbaik bagi mereka yang marjinal agar solusi tidak selalu menjurus ke arah persekusi yang sebenarnya tidak menyelesaikan apa-apa. Adakah harapan untuk hidup aman bagi Abhi dan teman-teman senasibnya?
Terlepas dari liputan-liputan lainnya, liputan terakhir di buku ini yang berjudul Ketika Kematian Akibat Covid-19 jadi Angka Pembanding tapi Aisyah Kehilangan Segalanya adalah yang paling menarik perhatian saya, khususnya karena kecenderungan menganggap nyawa sebagai angka statistik rawan terjadi lagi di kasus pembantaian ratusan suporter di Kanjuruhan, Malang.
Mungkin bagi mereka yang berkuasa, nyawa keluarga Aisyah dan nyawa mereka yang terbunuh di Kanjuruhan tidak lebih angka statistik semata. Namun, bagi Aisyah, bagi para keluarga korban, mereka telah kehilangan dunianya.
Saya rasa, liputan-liputan Mawa Kresna cukup untuk menjadi alasan mengapa kita membutuhkan jurnalisme yang waras, tidak lain agar suara mereka yang termarjinalkan bisa didengungkan melawan suara-suara arus utama. Seperti kata penulis di halaman awal, bahwa buku ini memang didedikasikan untuk orang-orang yang disingkirkan tetapi tetap melawan dengan sehormat-hormatnya.
Jadi, ada kabar buruk apa (lagi) hari ini?
***
Editor: Ghufroni An’ars