Saya tidak akan membahas secara mendalam perbedaan buku fiksi dan non fiksi. Pembaca pasti memahami bahwa keduanya memiliki tempat, tujuan, dan pembacanya masing-masing.
Pengalaman membaca non fiksi seseorang tentu akan berbeda; tergantung pemahaman dan ilmu yang dimiliki orang tersebut. Buku non fiksi tentang jenis-jenis tanaman obat bisa jadi buku biasa di tangan seorang akuntan, tetapi buku itu akan menjadi harta karun di tangan seorang apoteker.
Sementara itu, satu buku fiksi yang sama bisa memiliki berbagai interpretasi yang berbeda; tergantung pada pengalaman hidup pembacanya. Pengalaman hidup yang berbeda membuat kita memiliki pengalaman membaca yang berbeda sehingga menghasilkan interpretasi atau pembacaan yang berbeda pula atas suatu buku fiksi.
Meskipun begitu, kita masih saja mendengar anggapan bahwa buku fiksi tidak membawa manfaat bagi pembacanya. Ada stigma yang melekat pada pembaca fiksi, sampai-sampai beberapa orang tua ada yang melarang anaknya membaca fiksi. Alasannya, mereka merasa bahwa buku fiksi bukan termasuk buku pelajaran. Benarkah membaca fiksi tidak membawa manfaat?
Baca juga:
Sastra mempunyai dua manfaat atau fungsi utama sebagaimana dikemukakan oleh Horatius, yaitu dulce et utile—istilah bahasa Latin yang terjemahan kata per kata dalam bahasa Inggrisnya sweet and useful. Dulce (sweet) berarti sangat menyenangkan atau kenikmatan. Kemudian, utile (useful) berarti isinya bersifat mendidik. Maka, sejatinya, buku fiksi memberikan penghiburan sekaligus pelajaran bagi pembacanya.
Untuk dapat menuai pembelajaran dari buku fiksi, pembaca harus terlebih dahulu memahami isi dari buku tersebut. Tak kalah penting, pembaca harus cakap menarik kesimpulan dari berbagai peristiwa yang terjadi di sepanjang cerita. Sebab, pembelajaran yang ada di buku fiksi tersembunyi dalam berbagai peristiwa dan pecahan-pecahan adegan yang diceritakan.
Saat membaca fiksi, pembaca diharuskan untuk mengimajinasikan dunia yang diciptakan oleh pengarang. Di dunia yang diciptakan pengarang, pembaca bisa menemukan berbagai macam karakter, suasana, masalah, dan bagaimana karakter menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Membaca fiksi dapat dikatakan sebagai kegiatan melihat miniatur sosial. Melalui cerita fiksi, pembaca bisa ikut merasakan dan mengambil pelajaran dari berbagai persoalan hidup karakter-karakter di sana tanpa harus mengalaminya sendiri.
Boleh dikatakan, buku fiksi menambah sudut pandang kita dalam melihat kehidupan. Lebih dari itu, buku fiksi juga membantu pembacanya meningkatkan kemampuan berempati.
Tidak sedikit pula orang yang beranggapan bahwa membaca fiksi adalah kegiatan yang membosankan. Di sisi lain, ada orang yang sangat menikmati kegiatan membaca dan menganalisis dunia fiksi hingga menjadi sangat terobsesi dengan serba-serbi buku fiksi tersebut. Obsesi beberapa orang untuk terus menganalisis buku fiksi itu bisa dimengerti. Dunia fiksi adalah dunia yang rumit, hampir sama rumitnnya dengan dunia nyata. Mencoba memahami dunia fiksi berarti mencoba memahami kehidupan itu sendiri.
Ada banyak hal yang bisa kita gali dari dunia fiksi, mulai dari tokoh, alur, latar belakang cerita, gaya penceritaan penulis, logika cerita, dan lain sebagainya. Ketika menganalisis tokoh saja kita bisa menemukan karakterisasi, perkembangan karakter, motif, hingga latar belakang tokoh tersebut. Tak hanya tokoh utama yang menarik untuk dianalis mengingat ada banyak cerita fiksi yang memiliki tokoh pendukung dengan kompleksitas karakter yang tak kalah rumit. Tokoh pendukung memang memiliki fungsi yang berbeda dengan tokoh utama, tetapi bukan berarti tokoh pendukung tidak dapat berdiri sendiri.
Seorang pembaca bisa melihat satu tokoh fiksi yang sama dengan cara yang berbeda dengan pembaca lain. Barangkali, bagi pembaca ini tokoh protagonis justru terkualifikasi sebagai tipe orang yang menyusahkan. Sebaliknya, pembaca lain justru melihat si tokoh protagonis sebagai orang yang berhati-hati. Memahami pandangan orang lain terhadap tokoh atau peristiwa dalam cerita fiksi akan memperkaya sudut pandang kita dalam melihat dunia. Sejalan dengan itu, mendiskusikan interpretasi kita atas suatu cerita fiksi dalam sebuah komunitas akan meningkatkan kadar kenikmatan membaca fiksi.
Saat membaca fiksi, kita diarahkan untuk bisa menemukan yang tersirat di balik yang tersurat. Kita dituntut untuk memahami maksud dari setiap tindakan dan peristiwa yang dialami tokoh-tokoh cerita fiksi. Dengan begitu, membaca fiksi berarti mengasah kemampuan membaca situasi dan memahami keadaan.
Baca Ulasan Buku-Buku Fiksi Terekomendasi:
Sampai di sini, kita baru melihat fiksi dari satu sudut pandang ilmu. Jika kita menambahnya dengan sudut pandang ilmu lain, maka cakupan fiksi akan menjadi lebih luas. Dalam sastra, ada fenomena alih wahana dan sastra bandingan. Alih wahana berarti mengalihkan suatu karya dari satu wahana ke wahana lain. Misalnya, mengubah fiksi yang wahananya semula berupa novel menjadi film.
Pengalihwahanaan selalu disertai dengan adanya perubahan. Perubahan inilah yang nantinya bisa kita bandingkan dan teliti. Bisa jadi akan ada tokoh tambahan yang tadinya tidak ada, atau justru ada penghilangan tokoh tertentu di wahana baru. Setiap perubahan memiliki fungsi dan tujuan, baik itu yang sifatnya substantif, ideologis, ataupun praktis semata. Pengalihwahanaan melibatkan orang-orang baru dalam proses produksi sastra sehingga akan terasa pula adanya perbedaan suatu karya fiksi yang sifatnya ekstrinsik.
Dunia fiksi memiliki kompleksitas yang sama rumitnya dengan dunia nyata. Tak bosan-bosan saya tekankan, melihat dan memahami dunia fiksi sama saja dengan melihat dan memahami kehidupan nyata. Memahami karakter-karakter dalam buku fiksi berarti memahami manusia. Dari fiksi kita belajar tentang kehidupan, dari fiksi kita belajar memaknai kehidupan.
Editor: Emma Amelia
Sependapat denganmu, Kak. Saya pun termasuk orang yang suka sekali mengulik fiksi.
Bahkan dari buku-buku yang pernah saya ulas, sebagian besar adalah tulisan fiksi.
Insight yang saya rasakan lebih besar fiksi dengan ragam pemahaman yang saya kehendaki sendiri.