Tak dalam Hidup Kita

Kaisar Deem

19 min read

Kesuksesan bagi orang miskin seperti kita ibarat seekor gajah di atas pohon, tak ada yang tahu mengapa ia bisa sampai ke atas sana—tapi kita semua tahu, cepat atau lambat dia bakalan jatuh ke bawah juga.

Gagasan ini terlintas begitu saja dalam kepalaku pada suatu hari di bulan Maret ketika sedang berdiri di tepi jalan. Aku secara tak sengaja membaca promosi yang terpampang di badan sebuah mobil layanan masyarakat dengan gambar seorang penyanyi dangdut terkenal pada body-nya. Seorang lelaki, usianya mungkin beberapa tahun di atasku, sedang tersenyum.

Lelaki itu baru saja memenangkan kontes menyanyi di televisi nasional, sebuah kebanggaan tak hanya bagi kota Makassar, tetapi juga desa-desa di mana kemiskinan dan cerita sukses diromantisir begitu rupa. Seingatku, penyanyi muda bernama Saripuddin Talekang itu dulunya pengangguran kere dari satu kabupaten pesisir jauh di selatan, tempat yang sama aku dibesarkan. Lalu seperti kebanyakan cerita sejenisnya, ia datang ke kota dengan cita-cita besar mengikuti audisi menyanyi dan begitulah … Hidup memang penuh kejutan. Dari Makassar ia terbang ke Jakarta, masuk stasiun televisi, dan sekarang, beberapa bulan kemudian ia sudah ada di iklan berjalan dan akan segera menggelar konser besar di sini.

Aku sebenarnya tak begitu peduli dengan hal itu meski aku tak bisa menghindar dari segala sesuatu yang berhubungan dengannya sejak lama, sejak ibuku menjadi penggemar beratnya dan terus-menerus membicarakannya setiap kali ia menelepon, membandingkannya dengan kuliahku yang tak kunjung selesai memasuki tahun keenam.

“Katamu kemarin skripsi sudah sampai bab 3,” kata ibuku mendengus kesal di telepon. “Ada masalah apa lagi, Anakku?”

“Dosen yang menjadi pembimbingku tiba-tiba mati, mak,” kataku berbohong. “Yah, serangan jantung. Kasihan juga, sudah tua orangnya … ”

Aku mendengar bapak menyahut samar, suaranya beradu dengan bunyi palu pada kayu juga kotek ayam. Mereka berdua pasti lagi di bengkel kerja bapak. Bapakku adalah seorang pengrajin mebel. Ia mengerjakan pesanan kursi, meja makan, dan sesekali memperbaiki perabotan orang yang rusak. Tapi pekerjaan utamanya adalah membangun rumah. Proyek yang membutuhkan banyak asisten dan dikerjakan selama berbulan-bulan. Namun, sekarang sudah jarang yang mau membangun rumah panggung di kampung kami. Mereka menggantinya dengan rumah batu dengan model minimalis perkotaan yang membuatnya terlihat salah gaya untuk daerah pantai yang panas di kampung-kampung.

Ibu menghalau bapak menjauh, tetapi tetap saja suara besarnya yang merendahkan itu bisa terdengar jelas. Kata-kata penuh curiga dan tak menyenangkan. Bapak selalu memperlakukanku seperti bajingan cilik.

“Ah, jangan dengarkan dia,” kata ibu menghiburku. “Bapakmu mungkin kesal karena kuliahmu tak kunjung selesai, sementara anak-anak tetangga sudah wisuda semua. Tahu kan, orang-orang juga selalu bicarakan kamu di sini. Kapan selesai, apa yang dilakukan Nasri di sana, sementara bapakmu juga mulai kelelahan … ”

Bapak sekarang akan memasuki masa pensiun dan sebentar lagi tak bakal produktif. Ia pasti telah menyadarinya setelah suatu pagi secara tak sengaja menghantam tangannya sendiri dengan palu hingga berdarah. Di puskesmas, ia hanya meringis dan bilang kepada perawat bahwa itu karena belum sarapan atau semacamnya. Bapak yang menjunjung tinggi etos lelaki zaman dahulu bersikeras di hadapan usia yang semakin menua bahwa usia 60 bukanlah waktu yang tepat menghabiskan waktu di beranda rumah menanti matahari tenggelam. Sampai kepulanganku ke kampung sewaktu lebaran kemarin membuatku tersadar bahwa fisik bapak telah menua dua kali lebih dari kehidupan yang dihabiskannya selama ini.

Kerutan-kerutan di wajah bapak nampak jelas, sepasang mata hitamnya yang dulu begitu tegas perlahan melemah. Dan ketika ia memintaku untuk membantunya mengecek harga sebuah kacamata untuk orang tua di internet, aku merasa seperti anak tak berguna sama sekali.

“Sepertinya penglihatanku sekarang mulai bermasalah,” bapak bangkit dan berjalan masuk ke kamar. “Pedahal banyak pesanan yang menunggu di selesaikan minggu ini … Najib sekarang sudah masuk SMA dan Nita,” ia berbicara kepada ibu seolah aku tak ada di sana. “Kapan kau bilang itu terakhir pembayaran uang lesnya?”

Semua kata-kata itu sengaja ditujukan bapak kepadaku. Ada kesan meremehkan dalam suaranya, seolah akulah penyebab kelemahan di masa tuanya.

Sebagai anak pertama aku harus menerima ini sebagai hal yang wajar. Aku punya dua adik yang beranjak dewasa dan semuanya masih bersekolah. Aku tak ingin menyalahkan ibu atau bapak yang berharap agar aku bisa menyelesaikan kuliahku secepat mungkin dan membantu menyokong kehidupan keluarga. Memang itulah yang ada di pikiran para orang tua ketika melepas anak-anaknya ke universitas.

Namun, semuanya sungguh di luar kendali. Aku tak pernah benar-benar serius belajar. Tahun-tahun pertamaku kuhabiskan dengan berkumpul dengan teman yang berasal dari kampung yang sama, mengejar perempuan, dan menghamburkan uang kiriman dari orang tua. Beberapa tahun setelahnya kulalui dengan salah pergaulan yang semakin dalam. Aku pergi dari satu pertemanan ke pertemanan yang lain, menemui beragam tipe mahasiswa, mencoba hal baru lalu merasa bosan setelahnya. Hingga berakhir dikeluarkan dari kampus tanpa pernah memiliki keberanian untuk memberitahukan kedua orang tuaku bahwa beginilah aku menyia-nyiakan harapan mereka.

Ibuku, yang tak pernah curiga sedikit pun akan selalu mendorongku, mengatakan bahwa semua akan ada jalannya. Aku sendiri tak begitu mudah tersentuh motivasi semacam itu. Tapi dibanding bapak, aku senang ibu relatif bisa bersabar dengan kehidupanku di Makassar.

Bapak sedari mula tak setuju jika aku pergi ke kota. Aku bahkan tak ingat jika ia pernah bersekolah. Bapak sangat jarang meninggalkan kampung sehingga pikiran sederhananya tak menganggap sekolah akan begitu membantu. Belakangan aku menyadari bahwa ia sebenarnya menginginkan aku melanjutkan pekerjaan yang diturunkan oleh buyutnya itu. Ada sejenis kepercayaan dalam kepala kecilnya bahwa pekerjaan ini sudah menjadi takdir bagi kami.

“Nasri itu hanya buang-buang uang di kota,” itulah yang selalu dikatakan bapak. “Kita lihat saja nanti bisa apa dia kalau sudah kembali ke sini.”

Tapi ibu tak pernah berlemah hati. Ia akan menggunakan Saripuddin Talekang sebagai contoh. Seorang remaja yang berhasil merubah garis takdir keluarganya dari anak seorang tukang ikan menjadi seterkenal sekarang.

“Jangan ambil hati perkataan bapakmu, Anakku,” kata ibu. “Mama selalu doakan kamu. Sepertilah Sarip. Sepupumu itu adalah contoh nyata bahwa nasib bisa dirubah.”

“Sepupu?” Tanyaku. “Pikiran ngawur dari mana lagi itu?”

“Loh, memang kalian bersepupu, kok.”

“Mana ada? Ia kan berasal dari kecamatan yang berbeda. Bangga karena sekampung sih boleh … tapi mengaku-ngaku punya hubungan kerabat itu bikin malu.”

“Ada kok, Anakku,” balas ibuku tertawa. Ia lalu menceritakan bahwa nenek dari pihak ibuku memiliki sepupu yang menikah di kecamatan lain. Dari sepupunya ini turunlah anak perempuan yang menikahi seorang nelayan yang kelak menjadi bapak dari Saripuddin Talekang. Dengan begitu aku dan si penyanyi dangdut terhubung sebagai sepupu generasi ketiga.

***

Aku terus mengikuti mobil tersebut dengan pandangan hingga ia berbelok masuk ke sebuah lorong perumahan warga. Untuk sesaat masih terdengar sayup-sayup suara berat lelaki tua dari balik pengeras suara tanpa lelah mengulang apa yang tertulis di banner besar.

Saksikanlah mega konser Sang Juara kontes dangdut nasional, Si suara emas kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan. Di Pantai Losari, Minggu 20 April …

Ketika lampu merah akhirnya menyala, semua mobil dan sepeda motor dari arah utara berhenti. Aku segera menyeberang di bawah tatapan pengendara yang berada di balik kemudi masing-masing. Mereka adalah orang-orang yang mencoba lari dari pikiran-pikiran mereka sendiri dengan mengalihkan perhatian secara sengaja kepada seorang lelaki yang terlihat berjalan tanpa tujuan di bawah terik pukul satu siang—akulah satu-satunya yang melintas di depan mereka—tanpa ada satu pun petunjuk dalam pakaian atau pun cara berjalan yang terkait pekerjaannya.

Mereka tentu benar. Aku tak sedang terburu-buru hari ini. Tak ada jadwal mendesak atau semacamnya. Kemarin adalah hari terakhir aku bekerja. Dan hari ini aku mempertimbangkan untuk menemui beberapa orang. Tujuan utamaku adalah bertemu bos untuk mengambil pesangon kerjaku selama dua tahun terakhir. Seperti kukatakan sebelumnya, tak ada seorang pun orang rumah yang tahu jika aku telah berhenti kuliah sejak semester enam.

Ceritanya panjang—mengapa aku bisa berakhir dari seorang pemimpin pelajar radikal yang diburu kepolisian menjadi pemuda berpenampilan culun di balik mesin kasir sebuah toko pakaian yang perlahan-lahan bangkrut karena persaingan industri.

Tapi mustahil berbicara tentang itu semua tanpa menyebut satu nama yang menjadi sumber pasang surut takdir dalam hidupku. Seorang gadis bernama Kamerad Helena.

***

Aku mengenalnya di Klub Buku Radikal yang rutin mengadakan diskusi mingguan di taman kecil depan pintu masuk universitas kami. Penyelenggaranya adalah Komunal Muda, sebuah organisasi ekstra kampus di mana gadis itu menjadi sekretarisnya. Nama sebenarnya bukanlah Helena, melainkan Siti Fauziah. Mantan pacarnya lalu menyarankannya untuk menggantinya karena Ochi terdengar sangat imut.

“Kenapa sih seorang Komunis senang memiliki nama samaran?” Tanyaku suatu hari.

“Gak ada alasan,” jawabnya sambil mengangkat bahu.

Kami berdua sedang duduk selonjoran di rooftop indekos milik Helena. Waktu itu aku dan Helena telah berpacaran dan memasuki bulan ketiga. Di atap terbuka yang dipenuhi jemuran dan material bangunan induk semangnya itu ada sebuah sofa bekas yang sebagian busanya telah menyeruak keluar. Di sanalah aku dan ia biasanya menghabiskan sore, merokok dan meminum teh sambil menyaksikan cahaya jingga memantul di jendela kaca gedung-gedung tinggi dan kebisingan kendaraan-kendaraan yang terjebak macet di kejauhan di bawah kami.

“Paman Ho dulunya punya nama lahir Nguyen Sin Chung,” katanya. “Begitu pula Kamerad Lenin. Terlahir sebagai Vladimir Ilyich Ulyanov dan mendapat inspirasi dari nama sebuah sungai di Siberia.”

“Sungai besar Lena,” timpalku. “Lena … Apakah itu juga yang menginspirasimu menggunakan nama itu?”

Ia menggeleng dan tersenyum. “Tidak. Helena bukanlah versi feminin dari Lenin. Aku tak akan sanggup memanggul beban sejarah seberat itu. Hanya ada seorang Lenin di dunia ini. Ia adalah sungai besar revolusi Bolshevik yang mengaliri anak-anak sungai negara terjajah dan dunia ketiga, sejak Tiongkok hingga Kuba, dari Angola sampai Indonesia.”

Helena memiliki karakter yang kalem dan berwawasan luas. Aku mencintainya meski ia berusia lima tahun lebih tua dariku. Pertama kali bertemu, ia sudah tak terdaftar sebagai mahasiswa fisika setelah menampar seorang dosen lelaki tua yang melecehkannya dengan mencubit pantatnya ketika hendak meminta tanda tangan. Helena cukup pemberani, tetapi itu saja tak cukup untuk membuktikan bahwa dirinya benar. Seisi fakultas melindungi si Dosen dan malah memojokkan Helena dengan alasan yang tak masuk akal. Setelah kejadian itu Helena berhenti kuliah dan mulai mempelajari Marxisme.

Helena adalah pembaca yang sangat tekun. Kadang setelah kami bercinta di malam hari, ia tidak langsung naik ke kasur dan ikut tidur denganku. Helena akan duduk bersila membaca buku-buku tebal dengan bersandar di dinding. Dan ketika aku terjaga saat subuh hari, ia masih di sana, sesekali mengangkat kepalanya tanpa menyadariku tengah mencuri-curi pandang di sela bantal dan guling.

Matanya mengamati langit berbintang di luar jendela dan bibirnya bergerak-gerak kecil seperti sedang memamah kata-kata yang dibacanya dan sesekali membuka buku di pangkuannya. Tak banyak perabot di kamarnya sehingga keheningan malam dan lampu berdaya rendah di atas kami begitu mudahnya membangkitkan suasana melankolis yang menghanyutkan.

Sampai sekarang aku masih belum menemukan alasan pasti mengapa aku begitu tergila-gila kepadanya. Ia bukan tipe perempuan yang akan membuat lelaki menoleh begitu melihatnya melintas. Pakaiannya sederhana, ia hanya memiliki beberapa potong kemeja kotak-kotak dan dua buah kaos, satu berwarna merah dengan bintang kuning di tengah dan satunya lagi hitam polos, yang dipadukan dengan celana kargo penuh kantong di sekujur pahanya. Helena juga tak begitu peduli dengan penampilan, meski aku sendiri sering membayangkan jika ia mencoba berdandan sedikit saja pasti akan mengalahkan kecantikan banyak perempuan lainnya. Tapi aku tak berani mengatakan itu kepadanya secara langsung.

Itu karena aku selalu merasa rendah diri di hadapannya. Aku menghormati pengetahuannya yang luas, tetapi ada hal lain dalam dirinya yang membuat siapa pun akan berpikir dua kali untuk melakukan kecerobohan tak perlu. Sejak hari pertama aku menjadi kader baru dalam Komunal Muda sudah terlihat betapa dominannya ia dalam rapat. Tak jarang ia berselisih dengan anggota laki-laki bahkan si Ketua yang belakangan kutahu adalah pacarnya sendiri.

Ketika lelaki itu keluar karena sebuah skandal aku segera mengambil kesempatan untuk mendekati Helena. Namun, meski akhirnya kami berpacaran, tetap saja rasa hormat yang aneh itu tak bisa lepas dariku.

Helena tak pernah mentolerir bahkan terhadap hal-hal yang dianggap sepele. Aku baru tahu jika hubungannya dengan si Ketua berantakan karena gara-gara sebatang rokok. Sewaktu kami melakukan demonstrasi Hari Buruh, pacarnya itu kedapatan meminta rokok kepada salah seorang polisi yang berjaga. Dalam rapat evaluasi terjadi pertengkaran hebat yang berakhir dengan saling lempar kursi. Helena berhasil meyakinkan seisi ruangan jika seseorang telah menerima sesuatu dari polisi bahkan jika itu hanya segelas air pun maka ideologinya harus dipertanyakan. Hasil investigasi selanjutnya membuktikan perkataan Helena, ditemukan percakapan di ponsel si Ketua dengan pak polisi. Selama ini ia berulang kali menerima uang dan membuat kesepakatan tanpa sepengetahuan kami. Suara bulat bersepakat bahwa ia tak bisa lagi berada di organisasi.

Ketika akhirnya Helena mengambil alih kepemimpinan Komunal Muda, aku semakin mendapatkan peran besar dalam organisasi. Beberapa orang mungkin akan melihatnya sebagai nepotisme, tetapi aku berani bersumpah bahwa Helena adalah pribadi yang sangat mengedepankan pertimbangan rasional dalam setiap keputusannya.

Pada titik ini aku telah berubah menjadi pemuda radikal. Aku meninggalkan kuliah dan membaktikan diri sepenuhnya pada organisasi dengan misi merekrut anak-anak muda. Aku masuk ke dalam kampus seperti pencuri, mencari mahasiswa baru yang duduk bengong sendirian dan mengajaknya berbicara, mengutuki kapitalisme dan menawarkan sosialisme sebagai solusi seperti seorang penjual obat segala macam penyakit. Aku melakukan propaganda, berkonfrontasi dengan petinggi kampus, membungkam tuduhan mereka dengan berlindung pada kebebasan berbicara.

Aku melakukan caraku sendiri untuk mengumpulkan pengikut dan merangkak naik dan duduk sejajar di samping Helena sebagai sekretarisnya.

“Nasri, sepertinya kamu harus sedikit melambatkan langkahmu,” kata Helena suatu malam.

“Melambatkan apa?” kataku melepas earphone di telinga.

“Sosialisme bukanlah perkara yang mesti dikejar hidup dan mati,” ia menatapku serius. “Revolusi mungkin tak akan terwujud di dalam kehidupan kita, bahkan dalam kehidupan generasi sepuluh dan seratus tahun ke depan. Kau juga harus mulai memikirkan kuliahmu. Kau punya orang tua di kampung … ”

“Apa kau pesimis dengan kerja-kerja kita selama ini?” Potongku.

“Aku tak pernah pesimis, Nasri. Aku hanya mencoba melihat kehidupan dari sudut pandang yang banyak orang-orang seperti kita tak ingin lihat. Kau bekerja begitu keras untuk ini, seolah tak ada hal lain yang kau pikirkan dalam hidupmu. Sementara kehidupan di luar sana meludahi wajah kita. Kenyataan seolah ingin bilang bahwa apa yang dilakukan selama ini tak membawa kita ke mana-mana.”

Kami berdua terdiam. Aku menutup laptop, meletakkan kacamata dan memutuskan untuk menunda penyelesaian naskah pamflet propaganda untuk hari pendidikan beberapa hari ke depan.

“Helena, apa yang membuatmu menjadi seorang komunis?” Tanyaku sesaat kemudian.

“Karena aku miskin,” jawabnya tanpa melepaskan tatapannya dariku.

Helena memiliki masa lalu penuh trauma. Ibunya kabur dengan pelaut ketika ia masih kecil dan bapaknya yang temperamental membesarkannya dengan tamparan dan makian. Karena tak tahan dengan sikap lelaki tersebut, pada usia dua belas Helena kabur ke rumah neneknya di kampung sepulang sekolah dengan menyamar sebagai salah satu anak dari rombongan bis ibu-ibu darmawisata. Selama beberapa waktu ia tinggal di sana hingga tamat SMA sebelum memutuskan untuk kabur lagi setelah suatu hari mendapati seorang lelaki berumur muncul menemui neneknya, meminta Helena untuk dijadikan istri.

Di Makassar Helena mendaftar kerja di sebuah toko kain dan mengikuti kursus menjahit. Aku sering membantunya menjualkan berbagai karya tangannya berupa taplak meja bermotif atau boneka sulam di pintu masuk sekolah-sekolah dasar setiap pagi. Hasil penjualannya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari kami berdua.

“Baiklah,” kataku sesaat kemudian. “Kalau begitu aku doakan kamu semoga segera sukses dan jadi orang kaya,” kataku tertawa.

Helena tersenyum samar.

“Kalau pun kesuksesan itu nyata adanya, ia tak lebih dari seekor gajah di atas pohon. Akumulasi kemakmuran dan barang-barang tak akan mampu bertahan di atas sistem sosial yang rapuh, hmm … ” ia berhenti sebentar. “Tapi setidaknya, bagi individu-individu miskin seperti kita, kejayaan sementara itu sudah lebih dari cukup … ”

“Asal bisa mengisap Marlboro merah,” balasku.

“Dan cokelat Cadbury … ” timpalnya. Kami sama-sama tertawa dan membicarakan banyak hal konyol di luar pembahasan tentang kesibukan kami di dunia kampus.

Tapi siapa kira itu adalah malam terakhir kami bisa melihat tawa lepas di wajah satu sama lain.

***

Aku tiba di tempat kerjaku tepat pada jam istirahat makan siang dan di sana bos beserta semua karyawan rupanya membuat pesta perpisahan kecil-kecilan untukku. Daeng Nompo, sekuriti tua yang begitu baik kepadaku selama ini menuntun aku melalui pintu samping di mana mereka semua telah menungguku.

Aku tak kuasa menahan haru ketika satu per satu teman-temanku menyalami. Aku tahu beberapa di antaranya tak begitu menyukaiku dalam kehidupan sehari-hari, tetapi khusus hari itu setiap orang terlihat berusaha memberikan perpisahan yang sempurna. Kami makan nasi padang spesial yang dipesan bos dari rumah makan terenak di kota ini dan meminum satu krat minuman karbonasi—sesuatu yang sangat jarang terjadi mengingat bosku adalah seorang yang sangat pelit dan tak suka basa-basi.

“Nasri, ini ada ucapan terima kasih dariku,” kata bos menyerahkan amplop pesangon. “Dua tahun waktu yang sangat singkat untuk kerja sama kita. Pengabdianmu akan selalu kami kenang bukan sebagai pekerja tetapi sebagai keluarga. Kau tahu kan, bisnis ini sendiri … ” dan matanya mulai berkaca-kaca.

“Kak Nasri,” kata Afika, partner shiftku di kasir memelukku lama. “Ini ada sedikit sumbangan dari teman-teman karyawan. Jangan lihat jumlahnya ya, Kak. Tapi kami harap bisa membantu operasi ginjal bapak kak Nasri.”

Aku menerima amplop itu dengan tak enak hati. Bapakku tak pernah mengalami masalah dengan ginjalnya, tetapi entah mengapa aku menggunakannya sebagai alasan resign tempo hari.

Di luar, aku berbalik untuk terakhir kalinya, melambaikan tangan perpisahan kepada gedung tempatku bekerja. Ada sedikit rasa kasihan, bukan karena aku tak pernah merasa menikmati bekerja di sini dan tiba-tiba harus merindukannya. Namun, toko ini sendiri adalah sebuah cerita sedih. Pada masa jayanya, ini merupakan salah satu tempat belanja besar dan cukup ramai di Makassar. Aku ingat pernah datang ke sini sewaktu kecil bersama rombongan orang-orang kampung untuk membeli baju lebaran. Dulu tempat ini selalu dipenuhi pengunjung, tetapi ketika aku masuk bergabung belasan tahun kemudian, rasanya seperti berada di tempat yang sama sekali berbeda.

Sebagian lampunya telah dipadamkan demi menghemat listrik. Dari enam unit mesin kasir hanya dua yang aktif dan itu pun hanya satu yang digunakan saking sepinya pembeli. Beberapa bulan setelah aku bekerja tiga brand pakaian terkenal memutus kerja sama, meninggalkan space kosong di tengah-tengah toko. Tak hanya itu, bank terakhir juga ikut pergi dengan mencabut mesin ATM mereka yang ada di dinding depan, menyisakan lobang-lobang yang membuat gedungnya terlihat babak belur seperti habis dihajar senapan serbu.

Bos telah melakukan segala cara untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, tetapi arus perubahannya terlalu kuat. Mal-mal besar berdiri, distro dan bisnis kecil yang lebih menarik konsumen muda, juga online shop. Bisa dibilang akulah orang pertama yang melihat tanda-tanda ini dan melompat turun sebelum kapal karam. Hanya tinggal menunggu waktu saja bagi toko ini untuk bangkrut dan gulung tikar.

Sebagai seorang komunis, aku tentu senang melihat sedikit demi sedikit ramalan tentang keruntuhan borjuis-borjuis kecil ini menjadi kenyataan. Tapi pertama-tama adalah aku tetap seorang manusia yang dibesarkan dengan moralitas tertentu. Sebagian diriku ikut bersedih dengan keadaan ini. Tentu saja semua bos itu egois. Pada saat-saat terakhir ia akan mencari pelampung untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Tapi apakah hanya ia seorang yang akan menangis jika bisnis ini bubar? Bagaimana dengan Daeng Nompo, sekuriti pikun yang kerjanya hanya duduk seharian memandangi parkiran kosong dan direkrut oleh bos semata karena rasa kasihan? Lalu Afika, gadis SMA enam belas tahun yang menjadi tulang punggung keluarga di usianya yang seperti itu dan telah kuperlakukan seperti adikku sendiri. Aku pernah berpikir jika ia satu-satunya manusia yang tak akan kupengaruhi dengan gagasan radikal di kepalaku bahkan jika revolusi sudah pasti pecah esok hari.

Aku melangkah pergi dari sana secepatnya, tetapi di depan pagar beberapa tukang becak mencegatku. Mereka bertanya mengapa aku memakai kacamata riben hari ini, apa yang terjadi dengan mataku, apakah aku sudah bosan memakai kacamata polos. Aku telah berjuang sejauh ini menutupi mataku yang sembab, jadi dari pada aku menangis lagi karena melayani basa-basi para gembel sok tahu ini lebih baik aku mengabaikannya.

Aku membuka amplop pemberian Afikah dan menghitung jumlahnya. Tak begitu banyak, tetapi cukup untuk dibagi-bagikan kepada semua tukang becak dan pedagang asongan, semua manusia yang terlanjur mengetahui kemunculanku sebagai teman yang telah berakhir masa kerjanya. Namun, jumlah mereka seolah tak ada habisnya karena sesaat setelah seorang mendapatkan bagiannya ia akan memanggil temannya yang lain. Uang hasil berbohong untuk sumbangan operasi ginjal bapakku tak tersisa sedikit pun.

Aku lalu masuk ke sebuah minimarket pinggir jalan, meminum sebotol air, dan menimbang-nimbang ke mana aku harus pergi selanjutnya. Aku masih punya satu amplop lagi berisi pesangon sebesar tiga bulan gajiku. Ketika aku keluar dari sana dengan kantongan berisi tiga batang Cadbury dan dua bungkus Marlboro merah aku menyadari bahwa inilah waktu yang tepat untuk menemui Helena setelah dua tahun berlalu.

Marlboro merah dan cokelat Cadbury, jika ada sesuatu dari masyarakat kapitalis ini yang tak kuasa ditolak oleh Helena.

***

Tentang bagaimana aku dan Helena berakhir terpisah seperti ini tak lepas dari kesalahan terbesar yang pernah kami lakukan sebagai pemimpin Komunal Muda. Tindakan fatal yang membuat kami dikejar-kejar polisi sepanjang tahun dan beberapa anggota kami harus mendekam di penjara.

Jauh-jauh hari aku dan Helena telah merencanakan pendudukan besar-besaran terhadap universitas tepat pada hari Pendidikan Nasional. Kami berhasil menghubungi beberapa organisasi dalam kampus untuk bergabung ke dalam demonstrasi. Karena mereka semua adalah anak-anak mami yang tak punya ide maka utusan Komunal Muda dengan mudahnya memaksakan agenda dan strategi kami dalam setiap rapat.

Rencananya adalah kami akan memboikot semua kelas, menghentikan aktivitas belajar, dan mengeluarkan para mahasiswa secara paksa untuk mengepung gedung rektorat. Kami tak akan pergi sebelum pihak kampus memenuhi tuntutan kami. Ada belasan tuntutan, tetapi beberapa yang penting di antaranya adalah Undang-undang Perguruan Tinggi, pembayaran iuran SPP yang sangat mahal, dan kebebasan berekspresi dalam kampus yang dipersekusi sewenang-wenang oleh pihak universitas.

Tak ada rintangan berarti hingga hari yang ditentukan. Kami sudah menebak bahwa universitas akan memanggil polisi, tetapi tak berpikir lebih jauh dengan memperkirakan jumlah mereka. Ratusan polisi dan mobil barakuda dan water canon telah bersiaga di depan universitas sejak pagi-pagi sekali. Ketika kami muncul mereka telah menciptakan suasana seperti peperangan. Polisi dengan tameng dan senjata lengkap bersiaga di mana-mana. Rasanya setiap detil dalam rencana kami telah diantisipasi oleh mereka.

Dengan penuh amarah Helena mengatakan kepadaku bahwa mudah saja untuk menebak siapa di balik ini semua. Ia tak pernah membicarakan strategi kami kepada orang lain kecuali mantan ketua Komunal Muda yang juga bekas pacarnya. Helena yakin lelaki itu telah membocorkan rencana kami kepada polisi.

Bagaimana pun, demonstrasi harus tetap dijalankan. Tanpa mengindahkan suara-suara khawatir orang lain dan rasa gentar dalam hati kami sendiri, mahasiswa terus maju. Pimpinan universitas bereaksi sangat keras. Ketika kami berhasil memaksa semua mahasiswa meninggalkan kelas, saat itu juga polisi mulai terlibat. Tersiar kabar bahwa sekelompok kecil mahasiswa keluar dari barisan dan bertindak sendiri memboikot gedung utama dan mulai membakar sesuatu. Dari sisi mahasiswa muncul berita bahwa polisi akan menyerang masuk dalam beberapa menit. Lalu sekonyong-konyong menyusul isu-isu liar lainnya yang membuat suasana semakin tak terkendali.

Kesalahan kami sedari mula adalah terlalu yakin bisa memimpin delapan ratusan mahasiswa yang telah terprovokasi di hadapan plot yang diatur oleh polisi. Inilah sebenarnya yang mereka inginkan. Mereka menunggu dan ketika waktu yang tepat muncul, hanya perlu sebuah lemparan batu entah dari mana untuk memulai kekacauan.

Arena universitas segera menjadi medan peperangan. Semua berjalan di luar kendali kami. Kerumunan melempar batu kepada polisi dan dibalas dengan tembakan gas air mata bertubi-tubi. Semua orang telah melupakan tuntutan-tuntutan kepada pihak universitas. Setiap kepala yang marah menemukan salurannya. Beberapa orang terluka, dan kekerasan dalam bentuknya yang paling brutal mulai menampakkan diri.

Senjata-senjata tajam mahasiswa dikeluarkan: busur dan anak panah, senjata meriam rakitan, molotov, pelontar batu. Korban-korban mulai berjatuhan. Sejumlah Mahasiswa terkena peluru karet. Satu orang polisi terkena anak panah di perutnya yang membuat mereka punya alasan kuat untuk semakin beringas. Dalam waktu setengah jam mereka telah menjebol pertahanan mahasiswa. Polisi berhasil masuk dan menyisir semua gedung, menangkapi dan memukuli setiap pelajar yang ditemuinya.

Aku dan Helena yang telah berlepas tangan dengan meninggalkan universitas sejak permulaan kekacauan menjadi orang paling disalahkan atas kejadian ini.

Kata Perusuh yang ditujukan kepada kami menghiasi halaman depan koran lokal keesokan harinya. Foto Helena memegang megafon tengah berorasi bersanding dengan gambar-gambar jendela gedung dan sejumlah fasilitas kampus yang hancur. Sebanyak 84 mahasiswa ditangkap, sebagian dipulangkan, dan beberapa dipindahkan ke markas polisi yang lebih besar. Aku mengenali wajah-wajah mereka yang ditahan, berjongkok berbaris dengan wajah babak belur. Semuanya merupakan kader-kader baru Komunal Muda.

Beberapa hari setelah itu, seorang yang mengatasnamakan perwakilan mahasiswa muncul di koran, mengatakan bahwa aksi demonstrasi telah disabotase oleh pihak-pihak tertentu dan dengan entengnya ia menyinggung aku dan Helena sebagai otak semua kekacauan ini. Orang itu menggunakan nama samaran, tetapi aku dan Helena tak perlu mencari tahu untuk paham apa tujuannya.

Menjadi pusat kebencian semua pihak membuat kami lari menjauh dari kota. Selama dua minggu aku dan Helena memantau perkembangan situasi dari sebuah pulau kecil dua puluh kilometer di luar pantai Makassar, tempat di mana kami menghabiskan malam-malam gelap tanpa listrik dan seorang kawan terpercaya dari pulau terdekat muncul pagi hari dan membawa makanan dan berita terbaru. Polisi menggerebek kamar Helena dan tak menemukan apa-apa selain boneka rajut dan buku-buku. Pada minggu-minggu setelahnya, ketika kami berhasil mengumpulkan keberanian untuk kembali ke kota, pencarian polisi masih belum juga berhenti. Dukungan penuh dari pihak universitas yang melawan kami membuat keadaan makin sulit. Teman-teman yang ditangkap tak menemukan pengacara, kasus sepertinya akan dilimpahkan ke pengadilan, dan masa depanku sebagai mahasiswa dipastikan berakhir. Komunal Muda sebagai organisasi telah habis.

Aku dan Helena pindah dari pusat keramaian ke pinggiran kota, menghindari kontak dengan siapa pun dengan mengganti lokasi tinggal setiap bulan. Kami mendatangi rumah teman untuk meminjam uang, dan membuang nomor telepon lama. Aku mencukur botak rambutku dan mulai mengenakan kacamata sementara Helena kembali menjadi Siti Fauziah dengan jilbabnya. Kami memelihara ilusi bahwa keberadaan kami di luar setidaknya berguna untuk memikirkan cara agar teman-teman bisa dibebaskan. Tapi itu adalah gagasan yang sangat naif.

Kami bukanlah organisasi yang terkomando dan memiliki struktur hingga ke tingkat nasional. Kami tak memiliki senior yang bisa diandalkan untuk melobi, tak kenal dengan seorang pun di lembaga bantuan hukum. Selama ini semua urusan keluar Komunal Muda ditangani oleh mantan pacar Helena yang meski sangat pragmatis, tetapi harus diakui mampu menjalin kerja sama dengan banyak orang.

Moral kami hancur dari hari ke hari dan pertengkaran-pertengkaran kecil mulai terjadi antara aku dan Helena. Kami tak tahu harus melakukan apa lagi. Setiap hari kami memikirkan anggota baru yang tak tahu apa-apa dan harus mendekam di penjara hanya demi memberi makan ego kami—rencana-rencana yang harusnya tak dijalankan itu.

Kami berhenti membaca berita tentang peristiwa itu karena apa pun yang tertulis di sana hanya mempertebal rasa bersalah kami. Mereka yang memburu kami saat ini adalah sisa-sisa dari generasi lama yang telah menghabisi jutaan orang komunis di masa lalu. Tak ada pelajaran baru yang bisa mereka ambil dalam dunia yang berubah ini. Di mata mereka, kami hanyalah seekor kecoak, yang dilindas sampai penyok pun tak berarti apa-apa, seperti halnya orang-orang komunis yang terbantai itu.

Pada akhirnya, aku dan kamu hanyalah sepasang anak muda yang percaya bisa merubah dunia dengan kerja keras dan ideologi baja ini.

Suatu pagi aku menampar Helena dan berkata, “Aku akan pergi. Lebih baik kita pisah tempat tinggal saja.”

Itu terjadi dua tahun lalu.

***

Aku berdiri tersamar lalu lalang kendaraan sambil memerhatikan gedung tua di pinggir jalan itu. Perempuan-perempuan bekerja di balik mesin jahit masing-masing, duduk berhadapan dan terlihat sibuk. Tak susah untuk menemukan sosoknya di antara ibu-ibu berumur. Helena mengenakan jilbab, baju seragam perusahaan konveksi, dan sepasang manset hitam untuk menutupi tato bintang di tangannya. Ia adalah kekasihku, sedang serius mengerjakan kain-kain ketika sebuah kilatan menyentakkannya. Mungkin semacam kepekaan intuitif karena ia mengangkat kepalanya begitu saja dari pekerjaannya dan melempar pandang sejurus kepada seorang lelaki di seberang jalan. “Ini aku,” kataku seperti berbisik.

Helena tersenyum dan mengangguk, isyarat untuk menunggu sebentar.

Ketika aku meninggalkannya dua tahun lalu aku tak benar-benar berniat untuk memutuskan hubungan sama sekali. Helena pun tahu itu. Hanya saja kami sedang berada dalam situasi paling tak menentu, jadi aku berpikir mungkin bagus untuk tak saling menatap wajah satu sama lain selama beberapa waktu. Ini terdengar konyol, tetapi menyadari bahwa kau dan kekasihmu berbagi masalah yang sama bukannya membuat kalian saling menguatkan justru akan mencari-cari siapa yang lebih salah dalam diri satu sama lain.

Aku lalu melamar kerja di sebuah toko yang hampir bangkrut. Sementara Helena, dengan bantuan teman masa kecilnya memasukkannya ke pabrik konveksi. Sesekali aku meneleponnya, tetapi tak pernah terlintas niat untuk bertemu. Bahkan ketika dua tahun berlalu dan kami merasa yakin bahwa polisi tak lagi mencari kami dan teman-teman yang ditangkap telah dibebaskan, aku masih tetap merasa nyaman dengan keadaan seperti ini. Seorang pelarian dengan kacamata dan rambut terjaga tetap pendek. Begitu pun Helena yang bertahan sedikit demi sedikit kembali ke dirinya yang dulu. Kami mencoba meninggalkan masa lalu di belakang dan berjalan maju sebagai pribadi yang baru.

Setelah hampir dua tahun bekerja di toko itu aku akhirnya bisa mengumpulkan uang untuk membeli ijazah di salah satu universitas swasta kecil di pinggiran kota Makassar. Aku tak tahu mengapa aku sampai melakukan hal itu, tetapi ibuku sangat senang. Pada hari wisuda ibu muncul bersama kedua adikku dan bertanya-tanya bahwa gedung universitas yang ada di pikirkannya selama ini tak seperti gambaranku di telepon. “Aku kira kamu kuliah di kampus negeri, Anakku. Ternyata aku salah mengerti. Gedungnya tak jauh beda dengan kantor camat kita di kampung.”

“Mama salah dengar,” kataku berbohong. “Jelas-jelas aku bilang di sini.”

Bapak seperti biasa tak datang, hanya mengucapkan selamat lewat telepon. Mungkin ia takut kemunculannya akan disalahartikan sebagai pengakuan kemenanganku atas dirinya. Padahal aku sama sekali tak ada niat untuk membuktikan apa pun. Menurutku, wajar-wajar saja jika seseorang, bahkan jika itu orang tuamu sendiri, meremehkan hidupmu.

Aku keluar dari tempat kerjaku dengan rencana masa depan di kepalaku. Dan keberadaanku di sana siang itu adalah untuk mengucap pamit kepada Helena.

“Aku akan pergi,” kataku menyerahkan kantongan berisi rokok dan cokelat.

Ia menunduk memperhatikan hadiahnya sambil tersenyum. Ketika ia mengangkat kepalanya aku melihat keletihan yang telah mengendap lama dan mewujud dalam ekspresi sedih yang tak bisa ditutup-tutupi.

“Kau akan pulang ke kampungmu?”

Aku mengangguk. Kukeluarkan beberapa uang dari pesangonku.

“Aku tahu ini mungkin tak cukup, tetapi semoga bisa membantumu membeli mesin jahit … Kau bisa keluar dari sana dan mulai bisnismu sendiri. Seperti kau bilang dulu, bisnis terbaik untuk seorang komunis adalah membuat baju anak-anak.”

“Dengan rajutan pola binatang atau bintang,” ia tersenyum dan menerima uang pemberianku “Terima kasih untuk mengingatkanku agar tetap menjadi seorang komunis.”

“Menikahlah dengan seseorang,” kataku.

“Kau juga, Nasri.” Helena mengelus pipiku dan tersenyum. Tangis tertahan di pelupuk matanya.

Begitulah cara kami berpisah.

***

Cara terbaik untuk menutup cerita ini adalah dengan tak membayangkan bahwa aku benar-benar kembali ke kampung halaman dan mengguratkan senyum bahagia di wajah bapakku dengan melanjutkan profesinya sebagai tukang kayu. Maafkan jika aku bahkan membohongi pembaca sekalian. Beberapa jam setelah berpisah dengan Helena, aku mengepak semua pakaianku dan dengan uang pesangon tersisa aku mengambil penerbangan terakhir hari itu menuju Kalimantan Timur.

Ibuku konon memiliki banyak kerabat di sana. Tapi aku tak mengenal seorang pun. Aku tak tahu apa yang akan kukerjakan dan siapa yang akan bersedia menampungku. Yang pasti aku tak pernah berpikir bahwa pulang adalah tujuan akhir dari perjalanan hidupku. Dalam beberapa bulan ke depan aku memasuki usia tak lagi muda, 27 tahun. Tapi aku mensyukurinya, mencoba melihat segi positif bagaimana hidup dalam dua tahun terakhir ini melemparkanku dari satu titik ke titik lainnya. Akhirnya, tahun-tahun berat itu berlalu dan menempaku menjadi seorang yang kuat dan tak pilih-pilih dengan kualitas hidup.

Aku mengatakan kepada ibuku bahwa aku sedang menunggu panggilan kerja di perusahaan minyak pedahal aku sedang duduk kelelahan di bawah pohon sawit di pedalaman Kalimantan. Aku bekerja sebagai buruh upahan, memanjangkan rambut dan janggutku, membuang kacamataku, dan dalam beberapa bulan pergi dari sana begitu saja tanpa alasan.

Aku pergi dari satu tempat ke tempat lain, bekerja keras untuk membantu hidup keluarga di kampung, mengirimi uang bulanan yang tak seberapa. Ibuku tak berhenti menelepon dan aku terus berbohong. Ibu tak pernah lagi membandingkanku dengan Saripuddin Talekang karena beberapa bulan setelah konser akbar di bulan April itu segera euforia menguap dan si gajah akhirnya jatuh ke tanah. Musik dangdut tak lagi menarik, orang-orang lalu menyerahkan diri dan perhatian mereka kepada hal lain. Saripuddin, sepupu tiga kaliku itu, seharusnya bisa belajar dari yang sudah-sudah dan menabung untuk persiapan hari pensiunnya. Tapi otak seekor gajah memang tak dirancang untuk memikirkan hal serumit itu. Begitulah ia, berakhir sebagai gembel-pengangguran, seperti pertama kali ia dikenal.

Pengalaman menjadi seorang Komunis membuatku paham mengapa tak begitu banyak cerita sukses di dunia ini.

Aku bekerja seperti orang kesetanan, membuat fisikku benar-benar kelelahan sampai semua yang terjadi di sekitarku tak lagi menarik minatku. Aku memutuskan untuk membunuh jiwaku sendiri dari segala macam keingintahuan. Pada malam-malam tertentu aku akan tertidur sambil menangis atau menangis dalam tidur setiap kali wajah-wajah orang terkasih timbul tenggelam dalam mimpiku lalu terbangun keesokan harinya dengan kepala berat seperti ditimpa satu ton bata. Di warung-warung kopi orang membicarakan banyak hal dengan optimisme yang berubah cepat menjadi amarah, kepada pemerintah, orang terkenal, dan berdebat tentang peristiwa ini dan itu. Aku menarik diri dari segala omong kosong dan hanya tersenyum jika dimintai pendapat dengan tambahan, “bisa jadi,” atau, “kurang tahu.”

Aku berbohong kepada semua orang tentang diriku dan terus berjalan maju, sampai-sampai aku tak bisa lagi membedakan mana kata-kataku sendiri yang bisa kupegang dan mana yang akan kupakai menghadapi orang lain. Demi mengenang Helena aku bersumpah akan tetap menjadi seorang komunis sampai mati meski aku harus membohongi diri sendiri, menutupi perasaan rendah diriku tentang kapan terjadinya perubahan itu. Sebagaimana ucapannya yang diam-diam kupercayai, tak dalam kehidupan kita.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Kaisar Deem

One Reply to “Tak dalam Hidup Kita”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email