Di Bawah Lampu Itu
di bawah lampu itu bayangmu tak lagi memanjang
seketika kamar tanpa ada bayangmu
sepenuhnya kota yang baru
yang asing dan usang
di bawah lampu itu kau tak lagi ada
dan kota yang seketika sunyi sungguh meresahkan
seperti membayangkan jarum jam bisa kapan saja menjelma pisau
untuk menggorok leherku saat terlalu sibuk mendengar ayunannya
di bawah lampu itu bayangmu tak lagi memanjang
tak lagi terasa bekas hangat dudukmu
dan ruang ini makin meluas
luas seperti laut yang bercerita dan gelap
di kedalaman itu aku menyelam selamanya
dan tiada kutemukan kau ada
(Jakarta, 2021)
–
Di dalam Jas Hujan Ini
di dalam jas hujan ini hujan masih terasa basah, suaramu makin terdengar nyaring, air matamu makin terlihat tajam, kacamataku buram dan lampu merah makin terlihat angkuh
aku lupa rumus-rumus fisika dari sekolah tapi teringat pertanyaanmu yang lalu:
“mengapa orang-orang masih percaya kalau menggugurkan kandungan paling aman di toilet pom bensin?”
butuh 79 detik sebelum lampu berganti hijau dan sebelum menyadari bahwa untuk melupakanmu jas hujan tak membantu sama sekali, apalagi hujan
(Jakarta, 2021)
–
Di Hari di Mana Kita Berpisah
di hari di mana kita berpisah
kita memandang lampu-lampu yang menggantung
dan cahayanya jatuh di atas rambutmu
kita mendengar pohon berisik seperti akan hujan
dan setiap daunnya menunggu kapan jatuh
di hari di mana kita berpisah
kita berdua tertawa dan mengingat-ingat
bagaimana mulanya kita bertemu
dan semua ingatan kita jatuh di bawah kaki masing-masing
kita berdua pulang dan tak tahu siapa yang lebih dulu sampai di rumah
sebelum jatuh pada malam yang enggan pagi
yang enggan pergi
(Jakarta, 2022)
–
Adakalanya Kita
adakalanya kita menjadi anak kecil yang kehilangan ibu di pasar
adakalanya kita menjadi ibu yang mencari anaknya yang hilang
adakalanya kita menjadi kereta yang tak berhenti melaju
adakalanya kita menjadi lori tua pengangkut tebu yang pensiun
adakalanya kita menjadi penyakit yang memisahkan orang-orang
adakalanya kita menjadi kematian yang mengumpulkan mereka kembali
adakalanya kita menjadi terlalu cepat dewasa
adakalanya kita menjadi terlalu lambat menghitung waktu
adakalanya kita menjadi lagu yang mengingatkan rumah
adakalanya kita menjadi rumah yang melupakan takut
adakalanya kita menjadi tuts piano yang terus dimainkan
adakalanya kita menjadi saksi yang menyaksikan konser tunggal
adakalanya kita menjadi akrab seperti dulu
adakalanya kita menjadi asing sepertimu
(Jakarta, 2021)
–
Kita Banyak Berhenti di Lampu Merah
kereta lewat di bawah kaki kita dan proyek yang lekas, tanganmu meraba kembang liar dan tak sengaja terluka
kita bertekad pulang sebelum malam, namun trotoar jalan memanjang
dan mata tersipu-sipu pada bintang yang berserak
adakah kau dengar anjing melolong jauh?
sementara gedung-gedung di seberang merekam lampu-lampu jalan dan jalan-jalan macet, kita melaju berlawanan arah
agar segala peristiwa di bangku depan demikian kentara
seperti halnya pengemudi holden tua
yang hanya bercumbu dengan radionya dan bercakap-cakap seputar ruas-ruas jalan ibu kota
diam-diam aku ingin malam berputar lambat, selambat roda-roda pulang ke garasinya tanpa tergesa-gesa
kita sejenak tak beranjak pada sebuah papan iklan yang berdiri teguh
itu pigura yang megah untuk dipasang di ruang tengah
sejenak kita terbahak lalu berandai-andai betapa segala risau di kota ini bisa menjadi alun-alun yang bersahaja
sementara kepada orang rumahmu yang gelisah kau hanya berkata:
kita banyak berhenti di lampu merah
(Jakarta, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA