Perkenalan saya dengan karya sastra Jepang dimulai dari manga. Berawal dari manga, saya diantarkan pada novel dan cerita pendek Jepang, dimulai dari Haruki Murakami, hingga Junichiro Tanizaki. Penerjemahan karya-karya Jepang ke bahasa Indonesia memungkinkan saya membaca karya Murakami seperti Dengarlah Nyanyian Angin dan Norwegian Wood, novela Angsa Liar karya Mori Ogai, Gagal Menjadi Manusia karya Dazai Osamu, kumpulan cerpen Rashomon dari Akutagawa Ryunosuke, dan terakhir Jembatan Impian yang ditulis Junichiro Tanizaki.
Setelah membaca Jembatan Impian terbitan Pustaka Jaya (yang ternyata berisi dua cerita, satunya berjudul Wajah Shunkin), saya melihat benang lembut yang menyatukan karya-karya pengarang Jepang. Misalnya, baik Dazai Osamu, Mori Ogai, atau Junichiro Tanizaki, cenderung menulis serupa semi-catatan, atau semi-biografi.
Pada Gagal Menjadi Manusia, ada seorang narator yang menceritakan kisah hidup tokoh utama, Dik Yo, yang berdasarkan catatan pribadi Dik Yo sendiri. Pada Angsa Liar, narator itu adalah teman dari Okada (tokoh lelaki pendamping tokoh utama wanita, Otama).
Di Jembatan Impian, cerita itu dinarasikan sendiri oleh sang tokoh utama. Juga pada cerita kedua di buku itu, Wajah Shunkin, sang narator adalah seorang peneliti yang sedang mencari tahu seputar kehidupan Shunkin, seorang seniman buta pemain Samisen. Dan dalam penceritaan itu, ikut terlibatlah sang murid, sekaligus pelayan, sekaligus kekasih dari Shunkin, Sasuke.
Sumber referensi utama narator tadi untuk mengulik hidup Shunkin datang dari catatan peninggalan Sasuke, berjudul Kehidupan Mozuya Shunkin, yang sering ia kutipkan pula beberapa paragrafnya. Sehingga, membaca Wajah Shunkin seperti halnya membaca hasil penelitian seorang mahasiswa semester akhir atau hasil reportase seorang wartawan.
Terkadang kita membaca pandangan narator terhadap Shunkin, di lain waktu kita membaca bagaimana Shunkin di mata Sasuke (yang menurut narator tadi, tidak bisa dibaca dengan objektif dan dipercaya bulat-bulat, sebab kecintaan dan kekaguman Sasuke yang terlampau sangat tentu mengaburkan segala hal yang ia tulis tentang Shunkin dengan kenyataannya).
Di sini, karena ketimpangan penyampaian Sasuke sebagai seorang pencinta yang sangat mungkin melalaikannya dari menyampaikan kebenaran, sang narator menggali informasi dari sumber lain sebagai pelengkap penelitian, juga sebagai pembanding cerita Sasuke. Sumber itu tak lain mantan pelayan Shunkin bernama Teru, yang juga murid dari Sasuke, yang pada penghujung kehidupan mereka berdua ia ikut menemani, bahkan setelah kematian mereka.
Teru lah yang berziarah ke makam mereka berdua, memberi uang kepada penjaga makam agar mengurus kedua makam di atas bukit itu, dan ia juga yang mengenang mereka berdua sebagai seniman hebat walau dengan berbagai cacatnya.
Kebenaran dan Keraguan
Saya senang melihat bagaimana Tanizaki dalam fiksinya menempatkan tokoh-tokohnya sebagai peragu. Bahwa segala halnya mungkin saja benar, mungkin saja salah. Dan di antara kemungkinan itu, kita sadar tidak ada yang benar-benar benar, atau benar-benar salah.
Semua yang kita ketahui berjalan berdasarkan asumsi-asumsi. Kalaupun ada yang namanya kebenaran, saya lebih suka menyebutnya “mendekati kebenaran”. Jarak kedekatan itu yang nyatanya berbeda-beda bagi tiap orang.
Dalam cerita pertamanya, yang kemudian dijadikan judul buku, Jembatan Impian (Yume no Ukihashi), Tanizaki juga menempatkan sang tokoh utama, Tadasu, sebagai narator yang peragu. Ia meragukan siapa gerangan ibu yang menuliskan puisi-puisi yang tertinggal di Sarang Bangau (rumahnya), apakah ibu kandungnya atau ibu tirinya. Dan ia meragukan bayangan tentang ibu kandungnya. Sampai di akhir cerita, ia meragukan kemungkinan yang paling mungkin terjadi terhadap kematian ibu tirinya.
Tak ada yang benar-benar pembaca bisa yakini dalam cerita-cerita Tanizaki. Penceritaan Tanizaki seperti halnya apa yang disampaikan Tadasu dalam catatannya: Tidak ingin menuliskan kebohongan, tapi tak semua kebenaran diungkapkan.
Baca juga: Kebijaksanaan Tiga Berandal di Toko Kelontong Tua
Berdasarkan apa yang Tadasu tulis itu, maka seolah catatannya yang kemudian berjudul Jembatan Impian adalah sebuah kisah non-fiksi, sebuah otobiografi. Namun, Tadasu adalah tokoh rekaan Tanizaki, dan Jembatan Impian adalah judul karangannya, dan sudah barang tentu ini adalah cerita fiksi.
Seandainya cerita ini tergeletak di suatu tempat, dengan tulisan tangan, tanpa menyebut nama Junichiro Tanizaki di sana, maka boleh jadi yang menemukan dan membacanya percaya itu catatan oleh Tadasu. Lalu, apa yang membedakan karya fiksi dan non-fiksi kalau begitu? Apakah dari sumbernya, atau tujuan penciptaannya?
Saya sendiri akan bilang karya fiksi adalah yang berdasarkan pada imajinasi pengarang. Bagaimana halnya dengan cerita-cerita berembel-embel based on true story? Saya percaya memori manusia kebanyakan adalah lebih dominan lupa ketimbang ingatnya. Lebih banyak yang dilupakan daripada yang diingat.
Berdasarkan ingatan yang tak sempurna itu, saya tidak bisa bilang karya-karya yang disebut-sebut berdasarkan kisah nyata adalah non-fiksi. Data-data yang bisa diverifikasi dari karyanya mungkin nyata, aktuil. Namun sisanya, penceritaan yang menghubungkan antar data tersebut, yang menjadi jembatan di tiap paragraf, adalah fiksi.
Dan bagi saya, karya sastra yang baik adalah yang bisa mengaburkan antara yang nyata dan imaji itu. Yang membuat saya berpikir, “Oh, ini bisa saja terjadi.” Sekaligus merenunginya kemudian, “Oh, tapi bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” Dan Jembatan Impian berhasil menawarkan hal itu.
Saya jadi ingat kata seorang sastrawan, Hamsad Rangkuti, bahwa pengarang adalah seorang pembohong yang menciptakan kebohongan-kebohongan. Mungkin saja yang ia sampaikan itu mendekati kebenaran, siapa tahu?
Jakarta, 2022