Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendidikan Keluarga dan Pemenuhan Hak Anak

Waliyadin Waliyadin

3 min read

Setiap 20 November diperingati Hari Anak Sedunia (HAS). Peringatan HAS tahun ini mengambil tema “Listen to the future” atau Mendengarkan Masa Depan. Menurut sejarah, HAS diadakan sebagai upaya pengingat akan pentingnya pemenuhan hak-hak anak. Di momen yang penting ini, agaknya para orangtua perlu berefleksi apakah selama ini sudah benar-benar memberikan hak anak seutuhnya? Salah satu hak anak yang penting adalah pendidikan, utamanya pendidikan di lingkungan keluarga. 

Mengapa pendidikan keluarga itu penting? Pendidikan oleh keluarga, dalam hal ini kedua orangtuanya, memainkan peranan penting bagi perkembangan kehidupan seorang anak. Pendidikan dan pembelajaran 24 jam di sekolah pun belum tentu bisa menandingi efektivitas pendidikan keluarga karena ikatan emosional orangtua dan anak sudah terbentuk sejak awal masa kehidupan anak.

Baca juga:

Di dalam keluarga seorang anak mulai menyerap segala macam nilai-nilai pendidikan mulai dari mengenal bagaimana dunia ini bekerja, norma dan sistem nilai yang berlaku, bahkan keyakinan pada agama dimulai dari pendidikan yang ditanamkan kepada anak oleh orangtuanya. Di keluarga pulalah, kecerdasan dan perkembangan karakter dan budi pekerti seorang anak mulai berkembang.

Lingkungan Pengasuhan

Kendatipun pendidikan keluarga penting, Thomas Armstrong (1998) dalam bukunya Awakening Genius in the Classroom (1998), menyatakan bahwa lingkungan keluarga yang tidak kondusif dapat mematikan kejeniusan seorang anak karena ada beberapa kondisi yang memicu terjadinya kerusakan kejeniusan anak. 

Pertama, disfungsi emosional yaitu kondisi di mana emosi seorang anak tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Hal ini terjadi karena kondisi keluarga yang kacau lantaran orang tua ketergantungan minuman keras atau narkoba, kondisi keluarga yang penuh kekerasan, kekhawatiran yang berlebihan dan depresi. Kondisi tersebut menyebabkan seorang anak tidak memiliki gairah hidup, rasa ingin tahu menjadi redup, takut berbuat kesalahan, tingkat kebahagian hidup rendah yang menandakan matinya kejeniusan seorang anak.

Kedua, kemiskinan dalam kehidupan keluarga menuntut orangtua menghabiskan banyak waktu untuk mencari penghidupan sehingga hampir tidak ada waktu untuk menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak untuk belajar. Kemiskinan yang terus berlangsung dalam kehidupan keluarga inilah yang pada akhirnya menyebabkan seorang anak depresi dan kehilangan vitalitasnya karena mereka merasa kurang beruntung bila dibandingkan dengan temannya yang memiliki tingkat sosial dan ekonomi yang lebih baik. 

Ketiga, gaya hidup yang penuh dengan ketergesa-gesaan (fast track lifestyle). Jika sebelumnya karena kondisi ketiadaan harta, kali ini justru karena orangtua bergelimang harta yang memicunya untuk menjalani hectic lives, kehidupan yang begitu padat dengan aktivitas menumpuk harta, kekayaan, dan kedudukan atau karir tertentu. Tak ayal, orang tua tidak punya waktu untuk bercengkrama dengan anak. Karena persoalan kesempatan dan kesempitan waktu itu, orang tua berusaha mendorong anaknya untuk berkembang lebih cepat meski belum waktunya. 

Misalnya, sejak usia dini mereka dipaksa untuk mampu menguasai banyak keterampilan yang melampaui kapasitasnya sebagai seorang anak. Masa anak-anak yang penuh dengan kehidupan bermain ria direnggut oleh kemalasan orangtua mendampingi tumbuh kembang anak. Dengan alasan kesibukan, orangtua menyerahkan peran pendidikan pada gawai cerdas (smart devices) alih-alih mendampingi anak dengan aktivitas bermain sambil belajar. Kondisi semacam itulah yang membawa dampak buruk bagi anak misalnya anak menjadi tertekan, depresi, rasa takut berlebihan, cepat merasa bosan dan kesulitan untuk berkonsentrasi saat belajar. 

Agaknya itulah kondisi di lingkungan keluarga yang perlu menjadi perhatian bagi setiap orangtua karena mereka memikul tanggung jawab awal mendidik putra-putrinya. Jangan sampai lingkungan keluarga yang sejatinya lingkungan yang paling ideal untuk menjadikan seorang anak menjadi generasi yang berguna bagi dirinya sendiri, orangtua, nusa, bangsa dan agama sudah dimatikan potensinya oleh orangtuanya sendiri karena kurang memberikan hak anak sepenuhnya. Namun, ketersediaan banyak waktu saja tidak cukup masih ada banyak hal yang semestinya ada di lingkungan keluarga yakni figur orangtua yang mampu menjadi teladan, terpenuhinya kebutuhan dasar setiap keluarga, serta menerapkan nilai-nilai demokratis dalam mendidik anak.

Kekeliruan dalam Pengasuhan 

Akan tetapi dalam kaitan mendidik anak, masih ada beberapa kekeliruan terkait pola pengasuhan anak yang selama ini orangtua terapkan. Pertama, orangtua memiliki kekhawatiran yang berlebihan terutama dalam prestasi akademik dan karier yang menurutnya prestisius. Khawatir akan prestasi akademik sangat jelas ditunjukkan ketika anak pulang sekolah yang menjadi pertanyaan orang tua adalah pekerjaan rumah atau nilai ulangan di sekolah. Orang tua akan sangat kecewa bila mendapati nilai anaknya jelek kemudian memunculkan omelan-omelan. Selanjutnya, mereka mengawasi secara ketat gerak-gerik anak yang sekiranya melenceng dari arahan orangtua. Banyak sekali larangan yang muncul seperti tidak boleh ini, itu dan lain sebagainya. Anak harus ikut kursus atau les privat supaya nilainya bagus sehingga bisa masuk sekolah favorit, bisa kuliah di universitas ternama dengan jurusan favorit agar ketika lulus langsung bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus.  

Kedua, orangtua terlampau khawatir akan masa depan anak jika tidak mengikuti arahannya secara mutlak. Mereka berpikir bahwa masa depan anak ada di tangannya. Mereka meyakini kalau anak tidak akan berhasil jika tidak ada campur tangan dari orangtua. Hal itu membuat segalanya disetting sedemikian rupa oleh orangtua tanpa melibatkan komunikasi yang hangat antara keduanya.  

Saya mengibaratkan anak seperti bonsai yang ditaruh di pot. Setiap saat tanaman bonsai itu bisa dipotong daunnya, dibelokkan batang atau rantingnya sesuai selera pemilik. Padahal, anak bukanlah bonsai atau jenis tanaman tertentu. 

Baca juga:

Itulah setidaknya dua kesalahan orangtua dalam memperlakukan anak-anaknya sehingga anak menjadi kerdil secara mental, banyak tekanan, dan rasa takut yang berlebihan, dan akhirnya takut mengaktualisasikan dirinya.  

Selain itu orang tua terkadang terlalu sedikit dalam memberikan kesempatan bagi anak untuk menumbuhkan kemandirian dan agensi. Padahal kemandirian dan agensi seorang anak itulah yang  akan mengantarkan keberhasilan anak dalam bidang apapun. Untuk menumbuhkan kemandirian dan agensi, orang tua perlu memberikan kebebasan bagi anak untuk melakukan apa yang menjadi keinginannya. Dengan menumbuhkan kemandirian dan agensi memungkinkan seorang anak untuk berfikir, berencana, memutuskan, melakukan, memecahkan masalah, melalui trial dan error. Mereka juga akan berani bermimpi dan mengalami kehidupan untuk diri mereka sendiri.  

Namun, tidak semua anak memiliki motivasi dan vitalitas yang tinggi. Oleh sebab itu, memberikan kebebasan  bukan berarti melepas anaknya  begitu saja dan tidak memperdulikan sama sekali. Yang dimaksud kebebasan dalam gaya pengasuhan anak seperti itu adalah senada dengan gaya pengasuhan otoritatif (bukan otoriter) yang dikonsepsikan oleh D. Baumrind (1971) dalam artikelnya yang berjudul the Current Patterns of Parental Authority. Orangtua tetap memberikan pengawasan dengan mengkombinasikannya dengan cara yang penuh kehangatan, kepedulian, demokrasi dan komunikasi antara anak-orangtua yang terbuka. Selain itu ada momen di mana orang tua bisa menanyakan pendapat anak dan memberikan alasan atas hukuman yang diberikan orangtua kepada anaknya manakala mereka berbuat kesalahan.  

Akhirnya, Hari Anak Sedunia bukan sekadar momentum untuk merayakan secara simbolis, tetapi juga saat yang tepat bagi setiap orangtua untuk merenungkan kembali peran mereka dalam membangun fondasi pendidikan yang kuat di lingkungan keluarga. Dengan menjadikan keluarga sebagai tempat pertama dan utama pendidikan, setiap anak dapat tumbuh menjadi individu yang cerdas, tangguh, dan berkarakter dengan memenuhi hak pendidikan di lingkungan keluarga secara lebih intensif dan berkualitas. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Waliyadin Waliyadin
Waliyadin Waliyadin Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email