Penikmat buku, film dan senja

Belajar Menjadi Orangtua dari Drama Korea

Rahmat Al-Barawi

3 min read

The Good Bad Mother menjadi salah satu series yang trending di Netflix. Sesuai dengan namanya, film ini mengangkat dualitas relasi seorang ibu dan anaknya. Film ini mengulas isu seputar keluarga, pengasuhan anak dan kesehatan mental. Karenanya series ini cocok ditonton bagi para calon orangtua maupun yang sudah menjadi orangtua.

Drama ini mengangkat dua tokoh utama, yaitu Jin Young Soon sang ibu yang diperankan oleh Ra Mi Ran dan Choi Kang Ho sebagai anak yang dimainkan oleh Lee Do Hyun.

Sang ibu yang sejak melahirkan Kang Ho ditinggal mati sang suami, membuat dirinya menjadi wanita tangguh. Ia pun membesarkan sang anak dengan penuh ketegasan dan kedisiplinan melebihi rata-rata anak seusianya. Karena dibesarkan dengan penuh tekanan, sang anak pun tumbuh menjadi putra yang introvert dan berambisi menggapai cita-cita sesuai tuntutan ibunya.

Pertanyaan utama yang patut diangkat dan diulas dalam tulisan singkat ini adalah bagaimana prinsip mendidik anak dengan tepat sesuai dengan zamannya?

Ketangguhan Orangtua

Drama ini mengangkat isu perjuangan ibu tunggal yang membesarkan anaknya. Dari episode ke episode, kita disuguhkan dengan stereotipe kehidupan seorang single woman atau biasa disebut dengan istilah peyoratif ‘janda’. Potret kehidupan seorang janda yang penuh nestapa, harus dikasihani dan punya stigma negatif yang melekat.

Hal ini dapat juga ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Stigma ‘janda’ dengan label beragam membuat kehidupan mereka menjadi kian sulit.

Drama ini mengajarkan kita pentingnya lingkungan keluarga yang saling mendukung (support system) bukan justru saling menjatuhkan.

Selain ibu Kang Ho, series ini juga menghadirkan tokoh-tokoh perempuan lainnya yang mendominasi kehidupan dalam rumah tangga maupun sosial. Kita akan melihat bahwa peran perempuan tidak sebatas domestik, tetapi juga mewarnai kehidupan desa yang nyentrik.

Selain kehadiran sosok ibu, film ini juga menggambarkan pentingnya kehadiran ayah dan ibu dalam perkembangan anak. Sayangnya, bagi mereka yang hidup sebagai single parent, sosok ayah dan ibu langsung melekat pada satu figur yang sama. Dalam hal ini, Jin Young membesarkan Kang Ho berperan ganda, sebagai ayah yang tegas mengayomi sekaligus ibu yang lugas menyayangi.

Drama ini menunjukkan seberapa kuat usaha sang ibu untuk mengambil alih peran ayah tidak akan bisa menggantikan kehadiran figur ayah yang dinantikan oleh sang anak. Kang Ho yang tumbuh dengan ketidakhadiran figur ayah menjadi anak yang sulit beradaptasi dengan kehidupan sekitar. Ia cenderung tertutup dan sulit mengungkapkan isi hatinya secara langsung, karena tidak mendapat contoh dari orangtuanya.

Lantas bagaimana melalui ujian kehidupan ini bagi mereka yang ditakdirkan menjadi single parent?

Di bagian akhir dari drama ini, kita dapat belajar bagaimana ibu Kang Ho mengajak putranya berdamai dengan masa lalu. Alih-alih tidak menerima takdir bahwa suaminya telah tiada, yang dilakukan oleh ibu kang Ho adalah sadar bahwa ia seorang ibu yang kehilangan sosok pendamping dan anaknya harus tumbuh dari ketidakhadiran figur ayah.

Sang ibu mengajak Kang Ho untuk menerima luka masa lalunya. Dengan penerimaan inilah kemudian babak baru kehidupan mereka dapat berlangsung.

Penerimaan terhadap segala hal di masa lalu menjadi kata kunci utama untuk menggapai kebahagiaan di masa kini dan mendatang.

Pendidikan yang Lembut dan Tegas

Pendidikan dalam keluarga perlu menyeimbangkan antara kelembutan dan ketegasan. Pendidikan yang hanya fokus pada salah satu poin saja akan melahirkan ketimpangan dan gangguan pada pribadi sang anak.

Anak yang dibesarkan dengan terlalu lembut akan menjadi sosok yang manja dan tidak kuat menghadapi kerasnya kehidupan. Sebaliknya anak yang dididik terlalu keras dan tegas akan menjadi sosok yang dingin dan keras pula. Ia tidak dapat merasakan dan mencurahkan kasih sayang kepada orang yang dicintai karena ia pun tidak mendapatkannya.

Pendidikan tidak boleh berasal dari pemaksaan dan kekerasan. Pola pemaksaan hanya akan berfungsi sebentar saja dalam membuat anak tunduk pada orangtua. Tetapi akhirnya sang anak tidak mendapatkan makna atau esensi dari apa yang dilakukannya.

Misalnya memaksakan sang anak untuk menjadi dokter atau hakim sedangkan potensi bakat dan minat sang anak lebih pada dunia seni. Akhirnya sang anak terpaksa menjalani profesi yang dituntut oleh orangtua tanpa mengetahui esensi menjadi dirinya sendiri. Ia hidup bagaikan robot, sebatas menuruti ambisi orangtua dan mengabaikan perasaan pribadinya sebagai manusia.

Sama halnya dengan pendidikan yang mengutamakan kekerasan fisik, seperti pembatasan makanan, pemukulan, dan sikap orangtua yang dingin kepada sang anak jika anak gagal melakukan hal yang diinginkan oleh orangtua.

Pola pendidikan seperti itu akan membuat sang anak menjadi takut kepada orangtua alih-alih hormat dan sayang kepadanya. Kita dapat melihat sosok Kang Ho yang dingin pada episode-episode awal adalah dampak dari pola didikan yang keras oleh ibunya.

Menariknya, kita bisa melihat pola didikan yang berubah dari ibu Kang Ho setelah Kang Ho mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia mengalami cidera fisik dan mental.

Kesempatan kedua ini menjadi titik balik ibu Kang Ho untuk mengoreksi cara didikannya selama ini yang keliru. Sehingga pada akhirnya ibu Kang Ho mengubah didikannya yang terlalu memaksakan kehendaknya semata. Ia pun mendidik Kang Ho dengan melihat potensi yang dimiliki Kang Ho.

Dengan dinamika tersebut, penonton dapat belajar bahwa orangtua bukanlah sumber kebenaran.

Saya jadi teringat, suatu ketika pernah ditanya oleh keluarga.

“Apakah orangtua bisa bersalah dan berdosa?”

Pertanyaan itu hadir karena selama ini ada pemahaman bahwa orangtua selalu benar di hadapan sang anak.

Boleh jadi pendidikan tersebut relevan pada zaman kolonial tetapi tidak sesuai di era milenial.

Pendidikan sekarang mengajukan adagium “semua adalah murid, semua adalah guru”, sehingga pada saat yang sama orangtua dapat belajar pada sang anak dan sang anak tentu perlu meneladani hal-hal baik dari orangtua.

Oleh karena itu, pendidikan sejatinya memanusiakan manusia, Sitou Timou Tumou Tou, kata Sam Ratulangi pahlawan Nasional dari Minahasa. Pendidikan harus dilakukan sesuai dengan semangat zaman saat ini, bukan zaman dahulu.

Pendidikan harusnya berorientasi pada mendorong sang anak menjadi manusia, bukan menciptakan budak sesuai tuntutan orangtua. Dengan pendidikan yang menghargai ‘dunia’ sang anak, tanpa diminta dan dipaksa, anak pun akan tumbuh menjadi pribadi yang berbakti kepada orangtua.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Rahmat Al-Barawi
Rahmat Al-Barawi Penikmat buku, film dan senja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email