Menyimak konflik lahan di Pulau Rempang, saya jadi teringat perbincangan saya dengan seorang tokoh Melayu beberapa tahun silam.
Perbincangan itu adalah bagian dari wawancara untuk penelitian skripsi saya mengenai modernisasi orang Melayu di Kota Medan pada periode 1891-1946. Beliau yang biasa disapa dengan Bah Icad (Allahyarham) menerangkan dengan nada yang menyimpan kekecewaan bahwa mungkin saja dahulu Indonesia—sebuah negara yang baru lahir—hanya “bermodalkan cat dan kuas” ketika datang ke Medan dan mengklaim seluruh tanah beserta aset di dalamnya sebagai milik negara.
Pembaca, apalagi saya yang mendengarkan langsung, mungkin akan segera menyimpulkan bahwa ada dendam yang tak berkesudahan dalam pernyataan Bah Icad itu. Ini dapat menimbulkan reaksi berlebihan dari orang-orang yang mendukung gerakan separatisme, yakni mereka yang memandang kondisi pasca kolonialisme Belanda hanyalah proses pertukaran penjajah saja.
Pengungkapan fakta-fakta masa lalu ketika anak-anak bangsa digusur oleh sesamanya atas nama revolusi sosial ujungnya tidak jauh-jauh dari motif “penyederhanaan” pengambilalihan kekuasaan, perebutan kendali perekonomian, dan perampasan aset. Salah satu buntutnya kini adalah sengketa kepemilikan lahan. Sampai hari ini, masih ada penduduk asli yang memperjuangkan tanah adatnya.
Riau adalah salah satu wilayah kekuasaan Melayu yang tidak tersentuh revolusi sosial. Sultannya bahkan terjun langsung ke wilayah kekuasaan Melayu lain untuk mengampanyekan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, ternyata permasalahan lahan juga terjadi di sana. Orang-orang di Pulau Rempang mengklaim bahwa mereka berhak menempati lahan yang akan dipakai oleh negara sebagai penyerap investasi meskipun, konon, sertifikat lahannya tidak pernah dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Betapa menyedihkan kenyataan bahwa ada pemilik rumah yang mengemis agar tidak diusir oleh tamu—kalau tidak bisa dikatakan sebagai maling. Setelah mencermati keseluruhan konflik lahan di Rempang maupun tanah Melayu secara umum, muncul pertanyaan soal untuk siapa sebenarnya kemerdekaan Indonesia itu?
Negara atau Bangsa yang Merdeka?
Sepintas, konsep negara dan bangsa adalah dua hal yang inheren. Menyebut yang satu maka akan sekaligus mengingat yang satunya lagi. Akan tetapi, sejatinya kedua istilah itu pada titik tertentu dapat saling berlawanan. Secara sederhana, perbedaan keduanya dapat dilihat dari definisinya saja. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bangsa adalah kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sementara itu, negara berarti organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.
Berdasarkan definisi di atas, negara dan bangsa bertemu pada titik tempat keduanya diakui ketika terdapat kekuasaan atau pemerintahan. Namun, keduanya juga saling membatasi. Definisi bangsa sangat menunjukkan hubungan yang intim dan egaliter. Sebaliknya, negara secara tiba-tiba hadir dengan supremasi dan, pada saat-saat tertentu, dapat melakukan intervensi kepada siapa pun yang dianggap tidak taat.
Supremasi negara yang juga dijalankan oleh rakyat—yang tentunya tergabung dalam sebuah bangsa yang sama dengan masyarakat yang diaturnya—kerap menyebabkan benturan antara negara dan rakyat. Benturan terjadi karena negara selalu melihat orang-orang yang memperjuangan hak dan berlawanan arah dengan kepentingan negara dengan perspektif ketidaktaatan. Pada keadaan yang demikianlah bangsa dan negara perlu dipahami secara bijak. Kebijakan harus berdiri di atas keduanya dalam mengupayakan keselamatan bagi semua, serta tidak menggunakan otoritas dan supremasi negara untuk menginjak dan merendahkan saudara sebangsanya.
Saya yakin, penyusunan naskah proklamasi dengan banyak coretan itu pun telah menimbang dengan cermat pemilihan istilah “bangsa” daripada “negara” Indonesia. Para Bapak Bangsa itu tahu bahwa mereka memproklamirkan berdirinya sebuah negara. Akan tetapi, mereka juga paham bahwa negara tidak berdiri, melainkan untuk menjamin keberlangsungan bangsa sejak awal hingga akhir. Oleh karena itu, frasa “bangsa Indonesia” digunakan sebagai pembuka dan penutup pada teks proklamasi itu.
Alinea empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga sudah terang benderang menekankan tujuan bernegara yang salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jadi, sudah semestinya para pemangku kepentingan yang mengelola negara ini bersandar pada Pembukaan UUD 1945.
Baca juga:
Kita berutang penuh kepada orang-orang yang dahulu mampu melunakkan hati, melepaskan kekuasaan, dan mendahulukan kepentingan yang lebih besar sehingga bangsa ini dapat kembali menjadi satu kesatuan pada tahun 1950—setelah sempat terpecah belah pada masa-masa awal pasca Proklamasi. Maka dari itu, jangan sampai hari ini dan seterusnya ada lagi segolongan anak bangsa yang merasa diasingkan, dianaktirikan, dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya.
Bangsa yang besar tidak hanya mampu menghargai jasa para pahlawan sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno. Akan tetapi, bangsa yang besar jugalah bangsa yang tidak mengkhianati para pahlawan, termasuk pula tidak berkhianat dengan merayakan kemerdekaan bersimbah tumpahan air mata dan darah sesamanya, sekalipun atas nama “kesejahteraan” negara.
Editor: Emma Amelia