Gadis penyuka kaktus. Tertarik pada isu-isu kemanusiaan.

Melihat AI Mengatur Manusia

Jelsa Dwi Gayani Putri

3 min read

Maraknya sambutan positif atas kehadiran Artificial Intelligence (AI) telah mengesahkan utopia modernitas. Laju perkembangan teknologi menyajikan solusi instan bagi kehidupan manusia. Ibaratnya kita hanya tinggal membuka mulut untuk menikmati sesuap nasi. Kita tidak perlu repot memasak atau memanen padi lebih dulu, sebab yang kita butuhkan telah ada di depan mata. Segala yang kita butuhkan dengan mudah dapat diakses. AI tercipta tidak lain disebabkan tingginya kebutuhan manusia dalam menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu, dalam proses penciptaannya, AI menggunakan elemen-elemen penting yang mengadopsi bentuk, karakter, dan kebiasaan manusia dalam menjalani hidup saat ini. Namun bantuan-bantuan yang ditawarkan AI membawa dampak yang cukup signifikan terhadap cara manusia memanusiakan dirinya.

AI telah merebut perhatian manusia dari banyak hal. Kemudahan yang ditawarkan AI menggiring manusia menuju adiksi. Tak bisa terelakkan, dampak kemunculan AI membentuk pola hidup baru. AI memengaruhi bagaimana kita berinteraksi, beradaptasi, dan berperilaku. Kita bisa menghabiskan berjam-jam berkutat dengan smartphone, di dalam kereta, di mall, di jalan, di motor, di ruang keluarga, di mana pun itu kita bisa melihat semua orang sibuk dengan benda itu di genggamannya.

Teknologi yang Membantu sekaligus Mengisolasi

Berkat teknologi, manusia bisa terhubung kembali dalam sebuah realitas virtual, di dalamnya semua orang bisa bebas berekspresi. Mereka bertukar kabar, membagikan aktivitas keseharian. Sungguh menyenangkan rasanya bisa mengistirahatkan diri dari dunia nyata ke dunia maya. Semuanya baik-baik saja sebelum kesenangan itu menjadi candu yang mengucilkan manusia dari kehidupan dunia nyata. Kita jadi individu yang bebas tapi terisolasi secara sosial. Perlahan ikatan hubungan interpersonal individu yang satu dengan individu lainnya terkikis. Hal ini juga yang pernah diulas oleh Dr. Fahruddin Faiz, dosen Filsafat di Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga. Dalam Podcast Gita Wirjawan, ia menjabarkan bahwa hampir 70% waktu kita terhubung dengan dunia maya, akan tetapi norma hidup yang kita miliki masih di dunia nyata. Akibatnya, seseorang jadi sulit bersosialisasi, tidak terampil berkomunikasi langsung dengan sekitarnya karena selama ini ia terisolasi secara sosial.

Baca juga:

Bagaimana AI bekerja lewat ruang-ruang media sosial yang kita gunakan setiap saat, diungkap dalam film dokumenter The Social Dilemma. Tim Kendall, mantan Direktur Monetisasi FaceBook mengungkapkan bagaimana mereka bekerja tidak lain adalah untuk mendapatkan atensi kita sepenuhnya, “Mari kita cari tahu cara mendapatkan perhatian orang ini sebanyak mungkin. Kami bisa membuatmu habiskan waktu selama apa? Kami bisa membuatmu memberi hidupmu sebanyak apa kepada kami?”. Teknologi AI juga bekerja dengan cara yang sama dalam aplikasi belanja online. Algoritma AI beroperasi untuk menemukan perangkap yang sesuai dengan minat kita, akibatnya fokus pengguna terdistraksi dari hal yang dituju untuk terus terpaku menghabiskan waktu di depan layar.

Sekarang ini, hampir semua orang menggunakan asisten virtual dari smartphone mereka. Minat orang-orang terhadap asisten virtual sangat tinggi karena dinilai dapat memudahkan pekerjaan manusia. Dari situ, kemudian kita dapat mengenal Google Assistant, Cortana, Lyra, Siri, Alexa, dan masih banyak lagi. Jika kita dihadapkan pada suatu keadaan yang mengharuskan kita memilih satu di antara sepuluh opsi, AI akan menyortir opsi-opsi itu berdasarkan kebutuhan kita.

Dari sepuluh opsi, AI dapat menawarkan dua opsi saja. Malah tanpa diminta, AI dapat memutuskan suatu hal untuk kita konsumsi. AI dalam aplikasi layanan streaming musik dan media akan membentuk algoritma berdasarkan data-data yang mereka peroleh dari banyak dan durasi konten yang kita dengar atau tonton. Contohnya, Spotify sering merekomendasikan playlist yang sesuai dengan selera kita. Video-video yang direkomendasikan YouTube seolah-olah lebih memahami siapa kita dibanding diri kita sendiri. Berkat algoritma tersebut, konten-konten terkait akan terus dimunculkan karena mereka menganggap kita menyukainya. Seolah mereka bisa mengatur apa saja yang akan kita sukai dan mengontrol informasi apa saja untuk kita konsumsi.

Perhatian kita dialihkan, lalu kita biarkan sistem AI mengatur hidup kita, bukankah terdengar aneh? Jeff Seibert dalam The Social Dilemma turut menjelaskan bagaimana AI bekerja di balik aplikasi yang kita gunakan, setiap tindakan yang kita lakukan dipantau, dilacak, diawasi, dan direkam dengan hati-hati. Mereka bahkan bisa tahu kapan kita merasa sedih, depresi, kesepian, bahkan jatuh cinta. Kemudian mereka akan menampilkan konten sehubungan dengan suasana hati kita. Saat ini kebanyakan orang merasa tidak perlu mencari teman bercerita untuk berkeluh kesah atau berdiskusi, sebab konten-konten media sosial dan tentunya produk AI seperti ChatBot telah menjadi teman yang selalu ada dan bisa memahaminya.

Budaya Instan

Manusia butuh penyelesaian masalah dengan cepat, oleh karena itulah AI diciptakan. Awal tahun 2023, ChatGPT ramai diperbincangkan sebagai jawaban atas penyelesaian masalah dalam waktu cepat. ChatGPT memanfaatkan data-data yang kita berikan untuk memberi jawaban yang sekiranya dibutuhkan, mulai dari pembuatan dokumen, penulisan artikel, hingga percakapan sehari-hari. Gaya hidup yang serba cepat ini diadopsi dan terintegrasi mental masyarakat kita.

Budaya instan membuat manusia kehilangan pengalaman untuk merasakan sekaligus memaknai proses. Di sisi lain, kita didorong untuk produktif dan canggih, bergelut dalam kompetisi intens dalam berbagai aspek. Ada banyak penelitian membuktikan bahwa angka depresi yang disebabkan krisis eksistensial terus meningkat dari tahun ke tahun, bersamaan dengan pesatnya perkembangan teknologi. Bagaimana tidak, hidup terasa dangkal, banyak potensi yang tidak tergarap, sebab perhatian kita terus terdistraksi seolah hilang kendali atas hidup. Ada candu yang hinggap di ruang manapun kita berada. Hidup terasa seperti serangkaian perjalanan tanpa arti, setiap hari terbangun dari tidur hanya untuk mengulang siklus yang sama, tanpa tahu jati diri dan makna hidup.

Baca juga:

Kita telah memasuki era di mana teknologi menyerang sisi kemanusiaan manusia. Begitupun yang ditegaskan oleh Tristan Haris, salah satu narasumber film dokumenter The Social Dilemma, “Jika sesuatu adalah alat, ia hanya duduk diam di sana. Jika sesuatu bukan alat, ia menuntut sesuatu darimu, merayu, memanipulasi, dan menginginkan sesuatu darimu. Kita beralih dari lingkungan teknologi berbasis alat ke lingkungan teknologi berbasis candu dan manipulasi.”

Kemudahan yang dapat diperoleh dengan satu-dua kali “klik” perlahan dapat mengaburkan pemahaman kita tentang proses. Sudahkah kita sabar menunggu dan mengamati anak kecil yang berusaha memakai sepatu, membiarkannya belajar memecahkan masalah sendiri atau buru-buru memakaikannya padahal  ia belum butuh bantuan? Sudahkah kita sadar bahwa semuanya perlu berproses? Tidak semua hal harus selesai dengan cepat. Kehidupan tidak selalu tentang siapa cepat dia dapat.

Sering kali kita luput memahami bahwa pengalaman untuk berproses itu penting, mengingat manusia adalah homo educandum yang perlu waktu untuk belajar. Pengalaman berproses merupakan katalis yang dapat menghubungkan manusia dengan penghayatan atas nilai-nilai kehidupan. Dikelilingi oleh teknologi canggih dan serba cepat, kita harus menyadari bahwa hakikat manusia dibatasi oleh evolusi biologis yang lambat. Oleh karena itu, meski dunia berubah menjadi super cepat, manusia tetap butuh melambat dan memaknai hidupnya.

 

Editor: Prihandini N

Jelsa Dwi Gayani Putri
Jelsa Dwi Gayani Putri Gadis penyuka kaktus. Tertarik pada isu-isu kemanusiaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email