Pasca Mahkamah Konstitusi memberi keputusan terkait kampanye di lingkungan pendidikan, publik seolah berharap ada kebaruan model kampanye politik yang bergas dan menyegarkan. Sebagai ruang akademik, sudah sepatutnya kampus menjadi wadah penggodokan gagasan, ide, dan wacana bagi capres dan cawapres. Namun, apakah keputusan kampanye di kampus memiliki dampak konstruktif bagi demokrasi atau malah menjadi kejumudan baru yang dilegalkan?
Kampus dan Problematika Sosial
Wacana kampanye di lingkungan pendidikan bukanlah hal baru. Banyak negara menganggap ini sebagai hal sinergis antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan akademisi. Diskursus ini dianggap menjadi sarana untuk memperkaya ide, gagasan, dan pengetahuan masyarakat sebelum melangkah dan memantapkan pilihannya di bilik suara. Kampus sudah lama menjadi ladang alternatif dialektik kritik yang menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan.
Jelang pemilu 2020 di Amerika Serikat, para calon pemimpin melakukan debat kandidat di kampus. Hal ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Mereka merasa perlu untuk menguji daya pikir terkait roadmap mengelola negara daripada sekadar menunjukkan citra dan popularitas. Hal tersebut juga dianggap sebagai proses peningkatan daya tawar bagi calon pemimpin terhadap masyarakat agar semakin mantap menuju bilik pemilihan.
Baca juga:
Dialektika di lingkungan akademik mampu menjaga nalar kita agar tetap objektif, meski tidak bisa dipungkiri opini subjektif terkait siapa calon pemimpin esok tetap ada. Hal yang lebih besar daripada mendengarkan mereka berwacana adalah menagih komitmen capres dan cawapres terkait pengentasan kasus HAM, penggusuran, perampasan lahan, dan roadmap kesejahteraan.
Meski begitu, proses kampanye di kampus tak jarang menimbulkan kekhawatiran tersendiri, seperti misalnya mengganggu proses belajar dan ketertiban kampus. Naik tingkat lagi, kekhawatiran itu muncul sebab adanya potensi polarisasi politik sehingga menyebabkan praktik politik praktis di lingkungan pejabat kampus, mulai dari level mahasiswa hingga pejabat rektorat. Hal tersebut dipandang dapat mendegradasi posisi kampus sebagai top center of excellence untuk mengembangkan kajian dan praktik keilmuan.
Kekhawatiran tersebut beralasan, sebab kontestasi kekuasaan sering kali menimbulkan perpecahan kelompok akibat subjektivitasnya. Proses politik yang kasar dan culas menjadi tidak sedap dipandang dari segi etis keilmuan.
Jembatan Anak Muda
Wacana kampanye di kampus dianggap angin segar oleh beberapa pihak. Gen Z selama ini cenderung memiliki sifat kritis, apolitis, dan memilih untuk tidak memilih. Jumlah pemilih gen Z yang mencapai 55% pada pemilu 2024 menjadi lumbung suara tersendiri yang harus digarap oleh partai politik.
Dari situ tentu timbul pertanyaan, apakah pemilih muda dengan jumlah sebesar itu mampu menembus batas dan menerobos sisi gelap kultur demokrasi kita? Kesediaan mereka untuk terlibat dan memilih secara objektif harus dirasakan dampaknya. Mereka tak bisa menjadi penghibur belaka.
Kaum muda yang terkenal apolitis dan kritis itu tetap menggungakan nalar berpikir mereka untuk mengamati isu dan perubahan sosial yang ada. Hal ini menjadi pekerjaan besar bagi setiap peserta pemilu untuk meramu agenda dan ide segar dalam rangka mengambil simpati gen Z.
Baca juga:
Rendahnya pendidikan politik di Indonesia menyebabkan kebekuan dan stagnasi. Alih-alih berdebat wacana, gaya kampanye konsumtif dan hura-hura malah menjadi tradisi rutinan setiap pemilu. Sudah seharusnya kampus menjadi jembatan anak muda untuk mendapatkan pendidikan politik dari semua stakeholder.
Wacana kampanye di kampus mesti disertai wawasan terkait pendidikan politik. Tujuannya agar anak muda mau membuka diri dan terlibat dalam penyusunan kebijakan dan kerangka kerja partai politik. Dengan demikian, politik ide yang lebih segar dengan keterlibatan anak muda bukanlah sesuatu yang utopis. Selain itu, kampanye politik di kampus bisa menjadi sesuatu yang konstruktif dalam proses demokrasi kita.
Mekanisme dan Aturan yang jelas
Praktik kampanye di kampus mesti diimbangi dengan mekanisme penyelenggaraan dan pengawasan yang jelas. Tujuannya agar kampanye di kampus menitikberatkan objektivitas, bukan subjektivitas. KPU dan Bawaslu sudah seyogyanya membuat aturan yang mendetail terkait hal ini. Bagaimanapun juga, wacana ini menjadi angin segar untuk memberi pendidikan politik bagi anak muda.
Prinsip dan aturan yang jelas sudah semestinya dibuat untuk menjaga netralitas dan objektivitas kaum akademik agar tidak terjadi polarisasi baru gaya lama. Maksudnya, penentuan preferensi kesukaan kandidat masih berdasarkan subjektivitas, bukan objektivitas. Apabila tidak ada aturan dan kerangka yang mengawasi hal ini, bukan tidak mungkin kampus menjadi wilayah yang tercemar akibat politik praktis.
Editor: Prihandini N