Terus terang, membicarakan kondisi politik, sosial, dan pendidikan di Indonesia sering kali menguras tenaga dan pikiran. Negeri ini tidak pernah kekurangan drama dan headline–headline yang kerap membuat akal sehat berpikir keras. Bahkan, boleh jadi sahabat terbaik rakyat saat ini adalah kegeraman dan rasa muak. Pasalnya, berbagai kebobrokan dipertontontkan tanpa segan. Para elit juga sudah tidak malu lagi mempertunjukkan kecurangan, manipulasi, hingga kebohongan.
Baru beberapa pekan lalu kita membaca headline salah satu artis yang mendapat gelar bodong dari Universitas Institut of Professional Management (UIPM), kini publik kembali digegerkan dengan berita seorang menteri sekaligus elit politik yang mendapat gelar doktor dari Universitas Indonesia hanya dalam rentang 1,5 tahun saja.
Publik pun tidak hanya mempertanyakan aspek kelayakan dari si menteri yang karya ilmiah miliknya ‘sangat tidak layak’ dan penuh kritikan, tetapi kredibilitas dari Universitas Indonesia sebagai salah satu institusi bergengsi di negeri ini.
Perbedaan dari dua peristiwa ini adalah, si menteri lebih canggih karena mendapatkan promosi dari kampus bergengsi yang telah diketahui oleh publik, sedangkan artis yang dijuluki sultan itu memilih kampus abal-abal yang tak jelas record dan asal-usulnya. Terlepas dari itu semua, dua peristiwa yang saling berdekatan ini menambah daftar panjang bobroknya praktik pendidikan di Indonesia.
Sudah bukan rahasia lagi jika beberapa perguruan tinggi melakukan transaksi jual beli gelar akademik. Fakta yang terlalu terang untuk ditutup-tutupi. Sama terangnya dengan praktik perjokian yang terjadi di banyak kampus, bahkan sebagian dilakukan oleh oknum dosen dan elit kampus. Beginilah potret buram jalannya pendidikan kita.
Banyak institusi pendidikan yang telah bertransformasi menjadi tempat yang memalukan dan tidak lagi menjadi wadah akademik terhormat, tempat orang-orang digodog dengan seperangkat instrumen keilmuan agar pola pikir dan wawasannya berkembang. Semua takluk di hadapan uang dan kepentingan.
Pertanyaan berikutnya: sampai kapan kebobrokan sistemik semacam ini dipelihara? Pendidikan sebagai instrumen utama yang membina sebuah bangsa agar lebih beradab terus saja dinodai dan dijadikan sebagai kendaraan demi meraih kedudukan, kekayaan, dan popularitas semata. Ironisnya, kini kita telah sampai di era di mana siapa yang berani membayar, dia akan mendapat gelar.
Perspektif ‘membayar’ di sini tentu maknanya luas. Terlebih di awal-awal tahun pemerintahan baru. Konsep membayar tentu tidak hanya terbatas kegiatan transaksional menggunakan uang, tetapi lebih kompleks lagi. Misalnya membayar budi, membayar dengan posisi, konsensi, dan masih banyak lagi. Saya kira, bangsa kita telah mengenal semua hal yang telah saya sebutkan tadi.
Kredibilitas & Integritas Pendidikan
Merujuk pada pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, di sana disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan berlandaskan pada undang-undang di atas, mari kita coba sedikit membedah dua fenomena perhelatan gelar akademik yang terjadi belum lama ini. Pertama, mendapatkan gelar akademik dengan cara-cara kotor, instan, dan tidak sesuai regulasi apakah bisa disebut sebagai sikap orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa? Mungkinkah orang yang mengimani Tuhan akan menggunakan cara-cara menyimpang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya?
Kedua, apakah meraih gelar dengan cara mengambil jalan pintas bisa disebut sebagai individu yang berakhlak mulia? Dalam hal ini, institusi yang memberikan gelar juga perlu dipertanyakan kredibilitas dan akhlaknya.
Ketiga, pantaskah mereka yang mengambil jalan pintas disebut cakap, kreatif, dan termasuk warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab? Akal sehat dan nurani kita pasti akan mengatakan tidak.
Perilaku manipulasi untuk meraih gelar akademik telah nyata-nyata bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yang telah digagas. Upaya ini juga bisa disebut sebagai pengkhianatan terhadap idealisme keilmuan yang sudah selayaknya menjunjung tinggi kejujuran, kredibilitas, dan integritas.
Budaya Malu yang Hilang
Membenahi sistem dan institusi pendidikan sama beratnya dengan membereskan penyelenggaraan negara kita yang penuh borok. Dibutuhkan kerja keras dan dedikasi penuh agar kita mampu keluar dari carut marutnya sistem pendidikan dan penyelenggarannya yang masih bobrok ini. Jika kita cermati, dari hulu ke hilir sistem pendidikan kita masih butuh pembenahan.
Di hilir, pendidikan kita berkutat pada ketidakjelasan dalam penyelenggaraan kurikulum, pola kerja yang terlalu formalitis dan administratif, permasalahan kesejahteraan guru, hingga ketidaklayakan infrastruktur penunjang. Sementara di hulu, kita diperlihatkan akrobat para elit dalam mengejar gelar akademik secara instan untuk memuluskan kepentingan. Miris dan ironis, tetapi begitulah faktanya.
Salah satu budaya yang telah hilang dalam jati diri bangsa kita adalah rasa malu. Malu ketika berbuat salah, malu ketika berbuat curang, dan malu ketika keburukannya diketahui publik. Budaya ini tampaknya telah menjadi barang asing layaknya makhluk antah berantah. Bagaimana tidak, saat ini kita bisa dengan mudah melihat pemimpin negara mengangkangi konstitusi, anak presiden terang benderang menerima gratifikasi, bagi-bagi kursi kabinet, hingga jual beli gelar akademik. Memalukan, tetapi terlalu terang untuk disembunyikan.
Saat menulis artikel ini, saya sampai berpikir lama di meja kerja: sampai kapan bangsa kita tetap menjadi masyarakat kelas dua di mata dunia? Sampai kapan kita akan bersahabat dengan kebobrokan, berteman dengan keculasan, dan terus membiarkan ketidakadilan dan keserakahan pada kekuasaan? Kita tentu tidak bisa berharap pada keajaiban. Saat kita berharap pada pendidikan, justru keculasan dan kebobrokan yang sering ditampilkan. Ironis sekali, bukan? (*)