Memori Konflik Etnis dan Ketegangan yang Terwariskan

Shofiatunnisa Azizah

3 min read

Saya terlahir Dayak. Orang-orang yang pertama kali mendengar itu akan langsung bertanya, dengan keberanian yang terlalu lantang atau ragu-ragu, “Tahu kerusuhan itu?”

Jawabannya, tentu. Meski dilahirkan satu tahun setelah kejadian, kerusuhan antar etnis berbeda di tanah kelahiran sudah menjadi bagian sejarah yang dilungsurkan. Sebagai masyarakat asal, buku sejarah bahkan tidak lagi sepenuhnya berfungsi untuk mengetahui kejadian ini.

Dari mulut ke mulut, cerita-cerita soal kacaunya situasi kala itu sudah diterbangkan bersama udara dan sedikit ludah yang terciprat. Di sekolah, setidak-tidaknya satu kali pembicaraan mengenai kerusuhan akan muncul ke permukaan. Dalam rentang waktu tiga sampai enam tahun pendidikan, pandangan guru-guru yang pernah bernapas antara ketegangan dua etnis itu sesekali terlontar. Namun bagi saya, hal ini tidak pernah menjadi masalah.

Baca juga:

Entah bagaimana orang lain menangkap kesan bahwa dendam antar etnis itu masih berkesumat sampai hari ini.

Satu tahun setelah saya lahir sampai hari ini, hanya sekali saya pernah mendengar akan ada tanda-tanda konflik kembali merebak. Tapi tidak sepenuhnya benar. Saat itu ternyata hanya desas-desus yang akhirnya segera reda. 

Tidak seperti bertahun-tahun silam. 2001, tidak ada yang saling mendengar. Dan semua orang tahu, miskomunikasi yang didukung dengan tebaran informasi palsu adalah cikal-bakal api yang membakar seisi kota. 

Ujar Pendatang yang Dijarah

Orang pertama yang saya tanya mengenai kejadian ini adalah Nini. Ia berdarah Banjar. Ia datang dari Kalimantan Selatan bersama suami, serta delapan anak yang salah satunya adalah ibu saya.

Suku Banjar dikenal sebagai pedagang. Mula kedatangan mereka adalah untuk berdagang hingga kedelapan anak Nini mulai terbiasa untuk tumbuh di Kota Sampit yang bertutur dalam bahasa yang hampir sama. Di kota ini, bahasa Banjar digunakan untuk berkomunikasi.

“Kai Nini pedagang,” hanya itu yang ibu saya katakan. 

“Pedagang apa?”

“Sebuah alat,” dan jawaban ibu saya akan berhenti sampai di situ.

Entah alat apa yang diperdagangkan keduanya saat itu. Keluarga Nini tergolong masyhur sebagai pendatang. Ia mempunyai rumah yang cukup lapang untuk delapan anak dan belasan cucunya, yang terbuat dari kayu ulin; kayu yang dingin ketika direbahi dan punya harga yang terbilang tidak murah. Dengan segala yang dipunyai keluarga Nini, yang terjadi saat kerusuhan Sampit tidak mungkin tidak berimbas juga kepadanya.

“Kami mengungsi,” katanya.

Kala itu, Nini mengungkap seisi kota menjadi kacau. Situasi tidak terkendali, bahkan aparat pun tampak tidak memegang kendali. Statusnya sebagai pendatang; perantau membuat Nini dan keluarga harus meninggalkan rumah ke tempat pengungsian.

“Tidak bisa pergi. Semua dijaga,” ujar Nini yang merujuk pada akses transportasi ke luar kota. Pelabuhan yang menjadi saksi bisu sebagian besar kejadian naas dihadang oleh masyarakat lokal, sedang bandara dengan penerbangan terbatas alangkah baiknya tidak dibahas.

Namun di tengah kacau-balau kota, Nini bilang tidak ada korban yang dikenalinya. Ceritanya ini dimaksudkan pada orang-orang Banjar yang bersamanya, mereka aman. Hanya saja ketika pulang dengan nyawa yang masih di badan, harta benda di rumah telah dijarah.

Ujar Nini, satu-satunya kerugian yang dialaminya saat itu adalah penjarahan yang bisa dilakukan oleh siapapun yang ingin mengambil keuntungan. Tapi bagi Nini, keberadaan nyawa yang lebih penting membuatnya tidak mempersoalkan rumah yang memang harus ditinggalkan demi keamanan.

Saya sudah tidak bisa menanyai Nini yang sudah berpulang kurang lebih delapan tahun lalu, tapi tidak pernah dirinya menyebut kerusuhan Sampit seperti berita besar yang memenggal seisi kota yang tidak bersalah tanpa ampun. Narasi ini seolah melekatkan kekuatan magis pada hal-hal tradisional yang selalu menjadi bahan menekan ketakutan pada sebagian orang.

Tuduhan Kebencian pada Yang Bukan Lokal

Yang lebih parah dari pasca kerusuhan bertahun-tahun silam ini, omong kosong Dayak yang membenci Madura masih melekat. Setiap ada seseorang berdarah Madura di dekat saya, sangat tidak menyenangkan ketika diworo-woro untuk menjaga perdamaian. Rasa-rasanya kedamaian adalah milik mereka yang bisa mengerti kapan sesuatu harus selesai, dan sejarah itu sudah selesai jauh di belakang.

Baca juga:

Iyan, nama saudara dari ibunya ayah, mengungkap kalau kami; warga Dayak tidak punya kebencian seperti yang hampir menjadi bahan olok-olok di tengah masyarakat. Bahkan saat kerusuhan berlangsung, ia menyembunyikan seorang warga Madura yang dekat dengan keluarga.

Kai itu di belakang pick up ditutup terpal. Mobil jalan pelan-pelan karena setiap pos ada yang jaga pegang mandau,” katanya kepada saya.

Kai, yang dimaksud adalah tetangga di kampung. Seseorang seusianya, yang sudah kakek-kakek bagi saya (saya memanggilnya kai; kakek).

Meski bukan saudara satu etnis apalagi kandung, aksi sembunyi-sembunyi ini benar-benar terjadi. Katanya, sebagai sesama manusia harus melindungi meskipun pergerakan ini sebisa mungkin tidak terendus oleh orang-orang yang bertugas menjaga pos.

Sekadar mendengar ceritanya sebagai warga lokal yang mengalami langsung kejadian itu, saya yakin empati antar etnis hari itu tidak benar-benar pupus. Masih ada kepedulian yang bisa diendus andai saja api kesalahpahaman belum menyala.

Seperti yang dilaporkan Tempo, sumber masalah sebenarnya adalah miskomunikasi. Bertolak dari satu sama lain yang tidak mau saling peduli untuk mendengarkan, kerusuhan pecah memakan banyak nyawa yang turun atas nama etnisnya masing-masing.

Hati-Hati dengan “Yang Magis”

Majalah Tempo (2001) mengungkap penyerangan dimulai oleh warga lokal sebelum warga Madura melakukan tindakan balas dendam pada pagi harinya.  Serangan ini berbalas lebih besar. Berdasarkan laporan Kai Iyan, ada kesalahpahaman dari rumah ke rumah yang menjadi masalah sebenarnya saat itu.

Masalah yang kemudian membesar tersebut tidak hanya muncul dari ketukan pintu yang menentang satu rumah warga Dayak. Boleh dikatakan, kondisi sosial ekonomi yang sulit menjadi faktor pendukung utama konflik itu. Padahal dalam hal ini, masyarakat etnis mana pun tidak bisa disalahkan. Sebab pemerintah yang punya andil besar dalam keterbatasan ekonomi warganya.

Kondisi warga yang bersaing dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari merupakan suatu persoalan, tetapi kegagalan pemerintah adalah isu utama.

Namun alih-alih menyoroti masalah utama yang menyiramkan minyak pada api kala itu, warga Dayak justru dilekatkan dengan hal-hal yang magis atas kerusuhan yang terjadi. Senjata tradisional mandau menjadi populer dan ditakuti. Kabar bahwa mandau punya kemampuan untuk terbang tanpa sayap, tanpa seseorang untuk memegangnya, dan memenggal kepala yang dianggap musuh sudah menjadi perbincangan umum.

Kemampuan mandau ujarnya dapat bekerja untuk menggugurkan musuh yang dirasanya tidak berasal dari etnis sama dengan empunya, Dayak. Mandau bisa mencium bau anyir dari darah yang berbeda. Tapi sejujurnya, saya belum pernah memastikan ataupun melihat senjata ini benar-benar terbang sampai hari ini.

Bila mandau benar-benar terbang dan memenggal, setiap senjata tradisional tampaknya dapat dikatakan sama-sama bekerja dengan magis. Jadi kemampuan satu senjata tradisional ini tidak seharusnya ditakuti sampai mewanti-wanti diri untuk was-was dengan keberadaan warga Dayak di sekitar. Tidak lumrah bepergian membawa senjata hari ini.

Justru yang perlu ditakuti adalah menyinggung perselisihan tercatat sejarah dengan nada bermuatan diskriminasi. Meski Dayak terkesan tegas, merendahkan etnis lain hanya karena ada riwayat miskomunikasi pada masa silam bukan warisan dari leluhur. Sayangnya kacamata umum seolah melihat celah untuk menitipkan ‘tekanan tertentu’ kepada yang sudah memilih untuk menutup episode kegelapan terdahulu. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Shofiatunnisa Azizah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email