Eksploitasi Kekerasan: Narasi Bias dalam Wind River

Sekar Jatiningrum

3 min read

Kekerasan terhadap perempuan pribumi di Amerika Serikat adalah masalah sistemik yang telah berlangsung selama berabad-abad. Di banyak kasus, kejahatan terhadap mereka diabaikan, baik oleh sistem hukum maupun oleh media arus utama.

Wind River (2017), sebuah film yang disutradarai oleh Taylor Sheridan, mencoba menyoroti isu ini dengan mengisahkan pembunuhan seorang perempuan pribumi di sebuah reservasi terpencil di Wyoming. Dengan latar yang dingin dan suram, film ini menampilkan realitas keras yang dihadapi komunitas pribumi, di mana kekerasan seksual dan pembunuhan sering kali tidak diusut dengan serius.

Baca juga:

Namun, di balik upaya film ini untuk mengangkat isu yang penting, Wind River justru memperlihatkan masalah lain: eksploitasi naratif terhadap penderitaan perempuan pribumi. Alih-alih memberikan suara kepada korban dan komunitasnya, film ini lebih banyak berfokus pada perspektif karakter kulit putih yang menjadi penyelamat.

Kekerasan yang dialami perempuan pribumi dipertontonkan secara eksplisit, sementara agensi mereka sebagai individu terpinggirkan dalam narasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah Wind River benar-benar bertujuan untuk mengkritik ketidakadilan, atau hanya menggunakan tragedi sebagai latar untuk membangun kisah heroisme karakter kulit putih?

Tragedi Perempuan Pribumi yang Dibisukan

Di tengah malam yang gelap dan berselimut salju, seorang perempuan berlari dengan panik. Napasnya tersengal, tubuhnya menggigil, dan tangisnya tertahan oleh ketakutan. Ia berlari tanpa alas kaki, tak memedulikan rasa sakit yang menggigit kulitnya akibat suhu ekstrem. Keesokan harinya, jasadnya ditemukan tanpa nyawa. Luka-luka di tubuhnya bukan hanya akibat hipotermia—ia mengalami cedera kepala parah, kaki yang terluka berat, dan yang paling mengerikan, darah yang meluas di sekitar area genitalnya. Ia telah diperkosa.

Perempuan itu bernama Natalie Hanson (Kelsey Chow), 18 tahun. Jasadnya ditemukan oleh Cory Lambert (Jeremy Renner), seorang pria kulit putih yang bekerja sebagai petugas perlindungan satwa liar federal di reservasi Indian Wind River, Wyoming. Cory bukan orang asing bagi komunitas pribumi di sana; mantan istrinya adalah penduduk asli Amerika, dan putrinya sendiri menjadi korban kekerasan dalam kasus yang serupa. Tubuh putrinya ditemukan 32 km dari rumahnya dalam kondisi mengenaskan, hampir tak dapat dikenali karena sebagian telah dikoyak oleh serigala. Yang lebih menyakitkan, Natalie adalah sahabat baik putrinya.

Sebagai kasus kejahatan federal, pembunuhan ini seharusnya menarik perhatian otoritas. Namun, respons aparat justru mengindikasikan ketidakpedulian mereka. Kepala polisi setempat tampak enggan menangani kasus ini, menegaskan bagaimana kejahatan terhadap perempuan pribumi sering kali diabaikan.

FBI akhirnya mengirim agen muda, Jane Banner (Elizabeth Olsen), untuk menyelidiki. Datang dengan niat baik, Jane tetaplah seorang outsider yang tidak memahami realitas di lapangan. Ketika ia tiba dengan jaket yang terlalu tipis untuk suhu ekstrem, Cory memperingatkannya bahwa ia bisa mati dalam waktu lima menit jika tetap mengenakan pakaian itu. Bahkan ketika Jane mempertanyakan kurangnya dukungan dalam penyelidikan ini, petugas keamanan setempat, Ben (Graham Greene), hanya tersenyum kecut dan berkata bahwa di tempat ini, bekerja tanpa bantuan adalah hal biasa.

Heroisme Kulit Putih dan Reduksi Peran Korban

Jane berperan sebagai representasi penonton—seseorang yang berempati dan ingin memahami ketidakadilan, tetapi tetap terbatas oleh ketidaktahuannya. Pada awalnya, ia tampak naif sekaligus sombong, bahwa sistem akan berfungsi sebagaimana mestinya. Namun, Cory, yang telah mengenal wilayah ini dan mengalami kehilangan secara pribadi, lebih memahami kenyataan pahit yang dihadapi komunitas pribumi. Dalam sistem yang gagal melindungi mereka, ia sadar bahwa hanya dirinya yang bisa melakukan sesuatu untuk mengungkap kebenaran.

Namun, di balik kisah investigasi ini, Wind River menyajikan permasalahan yang lebih dalam: bagaimana kekerasan terhadap perempuan pribumi justru diceritakan dari sudut pandang individu kulit putih. Kematian Natalie tidak hanya menjadi alat naratif untuk menggerakkan karakter Cory dan Jane, tetapi juga mencerminkan bagaimana penderitaan perempuan pribumi sering dieksploitasi demi mendukung protagonis kulit putih.

Sejak awal hingga akhir, Wind River tidak benar-benar memberi ruang bagi komunitas pribumi untuk menceritakan pengalaman mereka sendiri. Mereka hanya menjadi latar dalam kisah yang didominasi oleh karakter kulit putih. Bahkan dalam momen-momen paling emosional, kesedihan yang ditonjolkan lebih berpusat pada Cory dan Jane daripada pada keluarga Natalie. Ketika Jane menangis di rumah sakit setelah mengetahui bahwa Natalie berlari sejauh 9 km di atas salju pada tengah malam, film ini lebih menyoroti ketangguhan korban sebagai elemen tragis daripada memberi ruang bagi keluarga Natalie untuk mengungkapkan kesedihan dan kehilangan mereka.

Lebih jauh, film ini juga secara tidak langsung menyalahkan korban dan keluarganya. Ketika Jane bertanya, “Jadi, mengapa kau biarkan putrimu bersama pria yang tak pernah kau temui dan tak tahu namanya?”

Pertanyaan itu tidak hanya mencerminkan ketidaktahuannya, tetapi juga mengandung nada penghakiman—seolah tragedi ini bisa dicegah jika keluarga Natalie lebih berhati-hati. Padahal, film juga menunjukkan bagaimana ibu Natalie tenggelam dalam kesedihan mendalam, hingga melukai dirinya sendiri sebagai bentuk ekspresi rasa sakit yang tak tertahankan. Meskipun ingin mengangkat isu kekerasan seksual di komunitas terpencil, cara Wind River memperlakukan karakter pribumi tetap terasa eksploitatif dan reduktif.

Eksploitasi Visual dan Ketidakpekaan terhadap Kekerasan Seksual

Salah satu aspek paling bermasalah dalam Wind River adalah penggambaran eksplisit pemerkosaan Natalie. Adegan ini ditampilkan secara brutal, sadis, dan traumatis—seolah-olah penonton dipaksa menyaksikan penderitaan korban dalam detail mengerikan agar memahami tingkat kekejaman yang terjadi. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah adegan seperti ini benar-benar diperlukan, ataukah hanya bentuk lain dari eksploitasi?

Selain itu, karakter perempuan dalam film ini direduksi hanya menjadi korban dan figur yang menderita. Mantan istri Cory, yang juga kehilangan putrinya, hanya ditampilkan sekilas sebagai seseorang yang larut dalam kesedihan. Sementara itu, Natalie dan ibunya tidak diberikan kedalaman karakter di luar pengalaman mereka sebagai korban kekerasan dan trauma. Mereka tidak diizinkan menjadi individu yang utuh, melainkan sekadar alat naratif untuk menggerakkan cerita Cory dan Jane.

Pada akhirnya, Wind River berupaya mengkritik sistem yang gagal melindungi perempuan pribumi, tetapi dalam prosesnya, ia justru mereproduksi eksploitasi itu sendiri. Tubuh perempuan pribumi diperlihatkan bukan sebagai subjek yang menuntut keadilan, melainkan sebagai objek penderitaan yang memperdalam karakter protagonis kulit putih. Kematian mereka tidak menjadi titik refleksi terhadap sistem yang harus berubah, melainkan sekadar elemen dramatis untuk membangun kepahlawanan karakter dari luar komunitas tersebut.

Baca juga:

Film ini memang menunjukkan bagaimana kekerasan terhadap perempuan pribumi sering kali diabaikan oleh sistem hukum. Namun, ironisnya, ia juga mengabaikan suara mereka dalam penceritaannya sendiri. Alih-alih memberikan ruang bagi komunitas yang menjadi korban, Wind River justru menempatkan mereka dalam kesunyian—sebuah penghapusan yang tak jauh berbeda dengan realitas yang coba dikritiknya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Sekar Jatiningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email