“Standing armies are dangerous to liberty.” –Alexander Hamilton.
Kutipan tersebut terasa tepat untuk mendeskripsikan tindakan represif dan kekejian militer Myanmar terhadap kebebasan dan kemerdekaan hak etnis Rohingya. Diskriminasi atas mereka adalah perjalanan panjang krisis kemanusiaan yang tak kunjung menemukan akhir dan mulai dilupakan saat ini. Lebih dari 700.000 manusia terpaksa mengungsi, dan ribuan dari mereka digenosida secara brutal atas dalih keamanan nasional. Terjadi pemerkosaan, penyiksaan, dan penghancuran desa-desa yang mereka tinggali. Selain itu, status kewarganegaraan mereka tidak diakui. Kini ratusan ribu dari mereka berstatus stateless hingga kebingungan untuk mencari suaka sebagai tempat berlindung.
Hal ini jelas-jelas merupakan upaya upaya penghapusan etnis secara sistematis dan merupakan pelanggaran HAM berat. Tragedi kemanusiaan ini adalah bentuk nyata dari masih maraknya diskriminasi ras dan ketidakadilan yang dipertontonkan secara telanjang mata pada saat ini.
Sekuritisasi Isu oleh Pemerintah Myanmar
Diskriminasi terhadap etnis Rohingya sudah terjadi jauh sebelum kemerdekaan Myanmar. Walaupun mereka sudah cukup lama menduduki daerah Arakan atau negara bagian Rakhine, mereka tetap tidak dianggap sebagai entitas asli Myanmar. Mereka dianggap sebagai etnis pendatang sehingga tindakan diskriminatif kerap mereka dapatkan.
Pada tahun 1977, di bawah kepemimpinan Jenderal Ne Win, pemerintah melakukan Operasi Naga Min (Dragon King) sebagai upaya pembersihan secara paksa orang-orang asing yang ada di Myanmar. Dalam operasi ini, terjadi kekerasan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap etnis Rohingya hingga membuat 200.00 orang mengungsi.
Baca juga:
Tidak puas sampai di situ, pada tahun 1982 pemerintah Myanmar turut memproduksi undang-undang kewarganegaraan Burma yang diskriminatif dengan tidak memasukkan etnis Rohingya ke dalam daftar 135 etnis resmi yang diakui oleh pemerintah Myanmar. Walaupun pada akhirnya terdapat upaya repatriasi oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya atas desakan dunia internasional, diskriminasi terhadap mereka terus berjalan dan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Pada puncaknya, sebagai respons defensif atas diskriminasi panjang ini, terbentuklah Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army) oleh etnis Rohingya yang memiliki misi untuk membela, menyelamatkan, dan melindungi kelompoknya dari penindasan negara. Konfrontasi antara kedua belah pihak pun tak dapat terhindarkan dan menyebabkan kebijakan militer Myanmar semakin brutal, bahkan melakukan genosida terhadap ribuan orang dan kembali memaksa ratusan ribu lainnya mengungsi dari sana.
Menariknya, pemerintah Myanmar justru mengklaim hadirnya tentara Pembebasan Rohingya Arakan ini sebagai sebuah aksi terorisme. Jika kita analisis upaya ini melalui kacamata konstruktivisme dalam hubungan internasional, kita dapat melihat bahwa apa yang dilakukan pemerintah Myanmar adalah bentuk sekuritisasi terhadap isu yang terjadi.
Sekuritisasi adalah upaya objektifikasi realitas yang sebenarnya bersifat subjektif menjadi realitas yang bersifat objektif melalui medium bahasa, sehingga realita ini dapat diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kewajaran. Melalui kekuasaannya, pemerintah Myanmar membangun narasi terorisme yang disematkan kepada etnis Rohingya sehingga mereka dapat dianggap sebagai ancaman nasional yang harus disingkirkan dengan cara apa pun. Upaya sekuritisasi ini cukup efektif bagi mereka untuk melawan tudingan negara-negara lain yang mengecam bahwa Myanmar telah melakukan tindak pelanggaran HAM, sebab pada dasarnya klaim mereka selalu berputar pada usaha untuk melawan tindak terorisme dan menyelamatkan negara mereka dari ancaman sehingga pendekatan represif sekali pun dapat dilegitimasi.
Perang Kepentingan di Rakhine
Melihat berbagai upaya pengusiran dan genosida terhadap etnis Rohingya tentunya memunculkan pertanyaan di benak kita, kiranya rasionalitas apa yang ada di balik usaha ini? Apakah mungkin yang kita saksikan hanya sebatas konflik etnis dan agama? Atau ada kepentingan lain yang terselip di dalamnya?
Jika kita melihat lebih dalam, negara bagian Rakhine, yang tempat tinggal mayoritas etnis Rohingya, merupakan daerah yang sangat kaya akan sumber daya minyak dan gas alam. Bagi negara seperti Myanmar, yang sangat bergantung pada sumber daya alam sebagai salah satu komoditi utama perdagangan, dapat menguasai dan membebaskan lahan di provinsi Rakhine tentu menjadi keuntungan besar dan membuka lebih luas potensi investasi. China, misalnya, sebagai mitra strategis perdagangan bagi Myanmar turut menjalankan berbagai proyek raksasanya di sana. Salah satunya pembangunan pipa migas shwe gas melalui provinsi Rakhine untuk mendistribusikan hasil gas alam dan minyak dari laut Andaman yang dikelola oleh perusahaan Korea dan India.
Potensi besar ini turut membuat negara lainnya ikut melirik, seperti Amerika, Qatar, Inggris, Arab Saudi, Italia, dan Australia untuk memenuhi kebutuhan energi dan melanggengkan kepentingan kapital mereka di sana. Terlebih lagi pemerintah Myanmar melalui pembaharuan undang-undangnya terus mempermudah akses investasi asing untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi di negara mereka. Masuknya banyak investasi asing tentu berimplikasi pada semakin tingginya kebutuhan lahan. Pada titik inilah upaya pengusiran etnis Rohingya menemukan relevansi dan rasionalitasnya.
Tak heran juga kemudian hal ini membuat banyak negara gagap terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar, sebab intervensi secara langsung akan memicu tensi negara lain yang memiliki kepentingan di sana meningkat. Alhasil, pada saat ini kita hanya dipertontonkan dengan betapa impotennya langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan isu pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Nilai kemanusiaan mungkin penting bagi mereka, tetapi pada akhirnya selalu dikalahkan ketika bertabrakan dengan nilai-nilai kapital. Saya berakhir pada konklusi bahwa Konflik ini tidak akan pernah benar-benar berakhir selama masih ada kepentingan lain yang terselip di dalamnya.
Kebuntuan Solusi Institusi Internasional
Tidak dapat kita pungkiri bahwa situasi yang dialami etnis Rohingya saat ini menunjukkan kebuntuan solusi bagi institusi internasional. Cukup sulit mengangkat isu ini ke Mahkamah Internasional, sebab posisi Myanmar yang cukup cerdik dengan tidak meratifikasi banyak konvensi pokok HAM internasional. Di sisi lain, PBB sebagai institusi internasional terbesar yang hampir mengakomodasi seluruh negara di dunia pun masih terhalang oleh supremasi negara-negara adidaya yang ingin melanggengkan kekuasaannya di sana.
Berbagai upaya intervensi pun telah coba dilakukan, salah satunya melalui penyusunan draft resolution konflik Rohingya oleh PBB. Walaupun telah disetujui oleh mayoritas negara dan memenuhi kuorum dalam sidang, Rusia dan China selalu menggunakan hak vetonya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan untuk membatalkan draft resolution tersebut. Alhasil resolusi konflik ini tidak menemukan jawaban yang jelas hingga saat ini. Mereka berdalih bahwa intervensi secara langsung adalah bentuk pelanggaran terhadap kedaulatan yang dimiliki Myanmar.
Baca juga:
Adanya intervensi pihak lain dalam konflik suatu negara juga diyakini hanya akan menciptakan international disorder, dan justru memperburuk keadaan di Myanmar. Oleh karena itu, bagi mereka cara terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah memberikan ruang seluas-luasnya bagi pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan konflik ini secara internal. Kebuntuan solusi ini pun turut dilengkapi dengan peran organisasi regional seperti ASEAN yang masih terjebak dalam prinsip nonintervensi terhadap setiap anggotanya. Akibatnya peran ASEAN menjadi sangat terbatas. Usaha mereka cenderung berfokus pada langkah-langkah kuratif terhadap dampak apa yang dihasilkan dari konflik ketimbang penyelesaian konflik itu sendiri.
Walaupun ada usaha pengakhiran konflik, langkah yang diambil hanya berputar pada kecaman, himbauan, atau pendekatan diplomatik ala ASEAN yang dapat kita simpulkan sendiri keefektifitasannya dengan melihat keadaan etnis Rohingya pada saat ini. Kebuntuan solusi inilah yang kemudian terus melanggengkan kekerasan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya.
Konflik Rohingya Bukan Hanya Milik Myanmar
Perlu kita akui bahwa saat ini masyarakat dunia masih terjebak oleh sekat-sekat yang disebut negara atau apa yang yang disebut oleh Andrew Linklater dengan pemikiran kontraktarianisme. Artinya, kewajiban moral seseorang masih terbatas hanya pada sesama warga negara saja, sebab secara sosial dan politik mereka terikat dalam negara di mana ia berada. Oleh karena itu, selama mereka tidak mengikat kontrak dengan seseorang dari negara lain, maka tidak ada kewajiban internasional yang harus dipenuhi.
Dominasi pemikiran seperti ini menciptakan pandangan ketidakpedulian antarnegara karena mereka hanya merasa harus bertanggung jawab dengan apa yang ada di dalam batas teritorialnya. Masih terdapat garis demarkasi dan dikotomi antara kewajiban sebagai warga negara dan kewajiban sebagai manusia.
Kehadiran Gambia di Mahkamah Hukum Internasional untuk memperjuangkan hak etnis Rohingya yang telah dilanggar adalah tamparan keras bagi negara-negara lain, terutama bagi negara yang selalu menggaungkan nilai kemerdekaan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Diperlukan satu gerakan solidaritas antarnegara untuk dapat melampaui sekat-sekat yang menghalangi penegakan nilai kemanusiaan ini.
Negara-negara harus secara kolektif memberikan sanksi tegas bagi Myanmar jika masih melanjutkan tindakan kejinya. Peran institusi internasional pun sangat penting untuk mengambil keputusan-keputusan tegas, terutama mereka yang menaungi Myanmar sebagai anggotanya. Selain itu, perjuangan melalui hukum internasional juga harus terus dilanjutkan dan didukung hingga tuntas oleh setiap negara, bukan atas dasar kepentingan tetapi atas nilai universal kemanusiaan yang harus ditegakkan.
Walaupun pada status quo saat ini penyelesaian konflik Rohingya masih belum menunjukkan titik terang, bukan berarti hal ini menutup kesempatan dan harapan kita untuk melihat etnis Rohingya dapat hidup dan merasakan hak yang sama seperti manusia lainnya.
Editor: Prihandini N