Menulis dan menyunting bahasa, berdomisili di Jakarta.

Membicarakan Kesempatan Kedua

Yudhistira

2 min read

Konsep kesempatan kedua begitu melekat dalam kehidupan kita. Sederet film memanfaatkan konsep ini untuk mengembangkan karakter tokoh yang ada di dalamnya demi nilai cerita. Sebutlah Harry Osborn (James Franco) dalam Spider-Man 3 (2007) di bawah payung Sony Pictures. Di ujung cerita, young Green Goblin menebus kesalahpahamannya terhadap Peter Parker (Tobey Maguire) dengan turba menghadapi Sandman (Thomas Haden Church) dan Venom (Topher Grace), kendati niat baik itu sama dengan embusan napas terakhirnya.

Dalam semesta pahlawan super, Iron Man (Robert Downey Jr.) pun membayar kedengkian kita, setelah berselisih dengan Captain America (Chris Evans) dan memicu perpecahan dalam satuan Avengers, lewat jentikan yang menyelamatkan dunia. Osborn dan Stark mengakhiri cerita dengan penyucian diri, kesempatan kedua bagi mereka untuk menjadi figur favorit penonton.

Tokoh lain yang tidak bisa saya lewatkan tentulah Jaime Lannister (Nikolaj Coster-Waldau) dalam serial Game of Thrones (2011–2019). The Golden Lion membuktikan dirinya sebagai Man of Honor yang berjuang demi the living, ‘mereka yang hidup’. Pengembangan karakter Jaime Lannister adalah juga representasi kesempatan kedua: dari buruk menjadi baik; dari tokoh yang dibenci menjadi tokoh yang dicintai.

Baca juga:

Di dalam kehidupan, kita bersinggungan atau bahkan mengalami langsung yang namanya kisah pertobatan dalam narasi keagamaan, cerita-cerita mati suri, konflik perselingkuhan yang bertemu pintu maaf, dan sebagainya. Dalam payung hukum pun, kesempatan kedua menjadi berkah tersendiri—meskipun tidak jarang banyak yang menyalahgunakannya. Kita diberikan, memberikan, serta mengizinkan kesempatan kedua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk hidup dengan sebaik-baiknya.

Apakah Kesempatan Kedua Benar Adanya?

Hal ini membuat saya berpikir tentang nasihat “kesempatan tidak datang dua kali”. Benarkah demikian? Dalam bahasa Inggris, ada idiom “lightning never strikes (the same place) twice”. Merriam-Webster memaknai idiom tersebut sebagai ungkapan yang biasa diutarakan ketika suatu kejadian yang tidak biasa, mencakup hal yang baik maupun buruk, tidak akan terjadi lagi. Di lain sisi, ada pula ungkapan “second bite of the cherry” yang artinya berkisar pada kesempatan tambahan, bahwa peluang untuk kembali mencoba bukanlah ihwal yang mustahil.

Maka dari itu, saya kira ucapan motivasional “kesempatan tidak datang dua kali” perlu kita sorot dengan kacamata yang kritis. Jika kesempatan tidak datang dua kali, mengapa ada kesempatan kedua? Bagi saya, tidak semua kesempatan akan datang untuk kedua kalinya. Menikmati masa muda, misalnya, ya tidak akan bisa diulang lagi karena momen tersebut hanyalah sekali. Namun, menikmati es krim di tengah hari yang pengap adalah kesempatan berkali-kali, selama hidup masih berjalan. Kesempatan bisa datang dua kali, bahkan lebih, sejauh kita memaknainya sebagai proses pembelajaran yang tidak mungkin luput dari kegagalan.

Kesempatan Kedua dan Privilese

Kita juga perlu meninjau “second bite of the cherry”. Dalam ruang lingkup yang ideal, kesempatan tidak akan datang sama sekali atau hanya muncul untuk satu kali. Kita tahu, tidak semua ujian bisa diulang demi mendapatkan nilai yang lebih baik. Terlebih, tidak semua orang punya akses yang setara dalam menerima kesempatan.

Seperti yang pernah ditulis oleh profesor sosiologi bernama David M. Newman. Ia mengatakan bahwa kesempatan kedua adalah dua sisi mata koin tentang hak dan privilese.

But while presented rhetorically in everyday life as a universal right, the second chance experience is actually an earned privilege enjoyed only by those deemed to have the requisite ‘qualifications’ to render them sufficiently deserving.”

Lalu, apakah kesempatan kedua merupakan hak untuk semua orang yang berbuat kesalahan atau mengalami kegagalan? Atau jangan-jangan, kesempatan kedua adalah gejala sistemis; bahwa orang-orang kecil sering kali dinomorsekiankan untuk mendapatkannya?

Baca juga:

Konsekuensi

Terlepas dari semua itu, kesempatan kedua memuat makna idiomatis, terutama pada keterangan numeralnya. “Kedua” hanyalah amsal untuk jumlah yang lebih dari satu. Lalu, hal yang saya rasa sering kali dilupakan ketika membicarakan kesempatan kedua adalah konsekuensi. Kalau kesempatan bisa datang berkali-kali, konsekuensinya pun berpotensi berlipat berkali-kali. Ketika memberikan kesempatan kedua untuk pasangan hidup yang pernah berselingkuh, kita mungkin butuh proses yang lama untuk kembali memupuk kepercayaan. Hubungan dapat dibangun ulang dengan kecemasan berlebih sebagai potensi konsekuensinya.

Seiring perjalanannya, pertanyaan seputar “apakah saya bodoh karena telah memberi kesempatan kedua?” barangkali senantiasa menghantui. Pada lain sisi, ketika diberikan kesempatan kedua untuk membuktikan kesetiaan, ganjarannya adalah upaya berlebih yang menguras tenaga—yang bukan tidak mungkin bakal memicu konflik baru. Tidak jarang, seperti Iron Man, Harry Osborn, dan Jaime Lannister, kesempatan kedua mesti dibayar dengan nyawa.

 

Editor: Prihandini N

Yudhistira
Yudhistira Menulis dan menyunting bahasa, berdomisili di Jakarta.

One Reply to “Membicarakan Kesempatan Kedua”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email