Bermain-main transdisiplin.

Burung Pipit dan Tuan Perwira

Amos Ursia

4 min read

Tuanku entah pergi ke mana. Sejak pagi tadi, ia pergi mengendap-endap. Anehnya, ia pergi lewat pintu belakang. Biasanya ia dengan seragam besinya beranjak gagah dari pintu utama rumah ini. Meski samar-samar, tapi mata kananku bisa melihatnya pergi pagi tadi. Memang sial, sebab hampir setiap detik kedua mataku hanya dapat melihat gelap.

Aku telah diperiksa para tabib terbaik dari seluruh desa di Galilea, tapi aku tetap pesakitan yang terkutuk. Aku tetap lelaki kurus yang makin mengecil karena diintai siluman besar bertaring besi, bertubuh babi, dan bermuka papan kayu. Bentuknya selalu berubah-ubah setiap hari. Intaian itu adalah sumber pesakitanku.

Aku selalu kesulitan untuk sekadar mengangkat kepala dari alas lembap. Entah sudah berapa bulan keringat ini menumpuk bersama debu, ampas ramuan, dan sisa makanan yang membusuk. Tapi, apa yang bisa kulakukan?

Jubah putih ini telah berubah menjadi abu-abu, dengan bercak kuning, dan sedikit bercak merah darahku sendiri. Jubah hanya jadi wadah keringat, serat-seratnya menyerap seluruh cairan busuk tubuhku, seperti tanah di lembah Hermon menelan tetes hujan.

Semoga telinga ini masih sanggup mendengar amarah dan kutukan dari mulutku sendiri. Elohim, ya, Elohim. Seribu tragedi dalam gulungan Taurat bahkan tak bisa menggambarkan rasanya dicabik-cabik kutukan.

Aku hanya bisa bicara dengan diri sendiri seperti ini. Tapi ini semua tak bisa aku lakukan ketika siluman itu datang. Saat datang kilat cahaya itu, tiba-tiba kepalaku ingin meledak. Aroma tubuhku jadi sebusuk bangkai manusia yang disambar burung-burung biadab itu. Dentuman hebat dalam kepala ini rasanya membuat rambutku terbakar pelan-pelan.

Tiap malam, air mata mengalir deras menjadi darah. Seribu kutukan yang menimpa Mesir bahkan tak mengimbangi ledakan ini. Aku dibakar hidup-hidup oleh tubuhku sendiri!

Siluman yang entah bagaimana cara kerjanya, roh, dewa, setan, aku tak tahu siapa dia. Yang jelas setiap malam ia selalu meledakkan kepalaku.

Setiap subuh biasanya ia pergi sebentar, beberapa kali mengintaiku lewat celah sempit di dinding lapuk itu. Pagi hingga siang hari ia kadang datang. Tetapi yang pasti malam hari adalah waktu-waktu yang selalu aku benci.

Dalam intaian siluman itu, tak peduli malam, pagi, subuh. Detik dan seluruh waktu adalah sadis.

***

Tuanku seorang perwira tersohor di Kapernaum ini. Perkasa seluruh otot lengannya dibalut zirah besi. Gagah kepalanya menopang perunggu yang aku bersihkan tiap pagi.

Puluhan anak buahnya selalu mematung pada posisi siaga, bahkan hanya dengan mendengar bunyi renceng-renceng besi dari baju zirahnya. Wajah tuanku selalu dingin. Ia tak pernah tertawa atau sekadar senyum saat berpapasan dengan wajah lain.

Tapi, kegagahan itu hancur ketika ia mendengar jerit pesakitanku. Lengannya selalu bergetar, wajahnya muram, dan punggungnya dipenuhi keringat dingin. Dalam teriak dan jerit pesakitan ini, tuanku yang gagah lebih terlihat seperti tikus kelaparan.

Belakangan ia berubah menjadi sosok yang aneh. Hampir setiap malam ia sangat gelisah dan mondar-mandir seperti orang bingung.

Mungkin sumber gelisahnya adalah omongan tabib itu. Kemarin malam seorang tabib tua memeriksa tubuhku yang semakin payah. Ia membisik pada tuanku, katanya ada seorang tukang kayu dari Nazaret yang lebih sakti dari seluruh tabib. Orang pincang disembuhkan dan orang buta celik matanya! Bahkan, ada mayat yang dibangkitkannya!

Aku hanya sekilas mendengar bisikan tabib tua itu, tapi jelas bahwa kisah itu tak mungkin ada. Apa si tabib mengarang cerita bodoh itu? Atau, ia sekadar ingin membuat tuanku berpengharapan? Entahlah. Yang jelas kisah mukjizat ajaib itu hanya pernah kudengar dari gulungan Taurat atau legenda para dewa di negeri seberang. Dalam tubuh yang hampir mati ini, keajaiban adalah hal terbodoh untuk kupercayai.

Tetapi tuanku punya cara berpikir yang lain. Mungkin, ia gelisah karena ingin mencari informasi soal keajaiban si tukang kayu dari Nazaret. Selain lelah dengan jerit pesakitanku, ia juga ingin diriku sembuh. Ia sangat mencintaiku, kelembutannya itu berbicara lantang lebih dari kata-kata. Tanpa harus tahu seberapa besar ia mencintaiku, aku telah merasakannya.

Aku si budak lelakinya ini memang diperlakukan seperti boneka kesayangannya. Ia lebih memilih menyendokkan roti dan mengusap kepalaku, ketimbang melatih anak buahnya untuk memanah atau menggunakan pedang. Aku telah berbulan-bulan dirawatnya. Memang tak pernah ada budak laki-laki di seluruh Kapernaum ini yang dirawat tuannya sendiri ketika sedang sakit.

Rambutku yang telah menggumpal disisir oleh lengannya. Tubuhku yang mengeluarkan aroma bangkai dibersihkannya. Saat jerit pesakitanku menggaung, ia selalu berlari menghampiri dan memeluk. Saat tangis darahku mengalir, ia ikut menangis bersamaku.

Memang berbeda dengan para budak lain. Aku sejak dulu diperlakukan begitu. Seumur hidup memang aku tak pernah diperlakukan seperti ini. Bahkan kasih sayang kedua orang tuaku saja tak sedalam ini.

Tapi sebagai budak yang dibeli secara tunai dengan dinarnya, aku wajib patuh. Lagipula apalagi fungsi seorang budak selain patuh?

Budak tetaplah budak. Aku tak bisa melupakan cerita Yoir, temanku yang juga seorang budak Tuan Perwira. Yoir asalnya dari Bethsaida, ayahnya adalah seorang pekerja di ladang gandum seperti ayahku. Ketika berumur 17 tahun, Yoir digiring paksa ke barak tentara Romawi. Meski ia tidak tahu alasan mengapa ia ditangkap.

Ternyata ayah Yoir dituduh tergabung dalam rencana pemberontakan Zelot. Mereka dituduh menggiring para petani, nelayan, dan seluruh rakyat Galilea untuk melawan Kaisar. Mereka dituduh menyebar ajaran untuk berhenti membayar pajak dan membangkang pada para penguasa di istana.

Akibat tuduhan ini, seluruh keluarga Yoir ditangkap dan dijadikan tahanan. Yoir dituduh sebagai mata-mata. Ia beserta ayahnya ditangkap dan dijadikan budak. Sementara ibu dan adik-adiknya entah dibawa ke mana. Mereka mungkin bernasib jadi budak seperti Yoir.

Oleh para tentara itu Yoir disiksa berhari-hari. Ia ditinju, ditendang, dikencingi dan diremukkan tulang pinggangnya. Itulah mengapa Yoir sampai sekarang berjalan dengan pincang.

Tapi, ada satu kejadian yang membuat Yoir sering menangis hingga matanya sudah tak bisa mengeluarkan air mata lagi. Yoir melihat perut ayahnya sendiri ditusuk dengan belati seorang perwira. Yoir memang tak bisa mengingat siapa perwira itu, tetapi ia yakin bahwa tuan kami adalah perwira yang membunuh ayahnya.

Yoir tak bisa melupakan bunyi teriakan ayahnya sebelum meninggal. Suara itu adalah suara terakhir yang ia dengar sebelum tubuh Yoir sendiri jatuh dan pingsan. Ayahnya mati dengan sangat tragis dalam tuduhan sembarangan yang tak mendasar.

Yoir sendiri tak hanya menyaksikan kebiadaban. Tubuhnya sendiri adalah korban dari kebiadaban para tentara Romawi. Seorang perwira yang pangkatnya lebih tinggi memerintahkan prajurit rendahan memperkosa Yoir, tepat setelah ayahnya dieksekusi dengan belati. Aku sendiri bahkan tak mampu menggambarkan betapa sadisnya kekejaman itu.

Memang, aku tak pernah mengalami apa yang mereka lakukan pada Yoir, Gadias, Salo, dan budak-budak Tuan Perwira lainnya. Ya, aku memang diperlakukan sangat berbeda. Aku diperlakukan seperti boneka kesayangannya! Perlakuan yang manis dan penuh kelembutan ini justru sangat aku benci. Bagaimana aku dapat menikmati ini semua? Apalagi aku selalu dikelilingi kisah-kisah tragis saudaraku sendiri, seperti Yoir.

Semua kelembutan untukku dari perwira biadab itu tetap terasa pedih. Sebesar apa pun kelembutannya, ia tetap terasa seperti tusukan tombak. Sebanyak apa pun usapan jarinya di punggungku, ia tetap terasa seperti cambukan yang merobek-robek kulitku.

Aku harus jujur. Memang, sempat beberapa kali aku juga merasa sedang benar-benar mengasihinya. Aku memang bisa melihatnya dengan cara yang berbeda. Bukan sebagai perwira gagah, bukan sebagai jagoan dengan baju zirah, tetapi sebagai penyayang.

Tapi perasaan itu selalu hancur ketika aku ingat bahwa aku tetap seorang budaknya. Aku tetap menjadi manusia setengah hewan ternak. Aku selalu patuh pada perintahnya, tetapi tubuhku menolak patuh pada kasih sayangnya. Jelas, aku tak bisa menerima seluruh cintanya. Kelembutan itu adalah hantaman dan rajaman paling menyakitkan pada tubuhku.

Siang ini Tuan Perwira masih belum pulang. Aku masih tak bisa beranjak dari alas tidur. Namun, rupanya mataku belum ditutup gelap sempurna. Aku masih bisa menatap. Aku masih saja menatap langit-langit rumah ini. Kata jenuh bahkan tidak akurat untuk menggambarkan perasaanku sekarang.

Rutinitasku hanyalah menatap pantulan cahaya dari lubang di dinding rumah. Cahaya itu memantul pada langit-langit rumah ini. Ya, matahari itu datang dan pergi sesukanya. Sama saja seperti angin yang kadang masuk dan keluar lubang itu tanpa aba-aba.

Tapi kali ini ada bayang lain yang ikut terpantul. Ia merangkak masuk ke lubang kecil di dinding. Dari pantulannya, aku bisa tahu bahwa itu adalah burung pipit. Entah ia sedang mencari tempat bersarang atau sekadar singgah. Pipit itu diam sejenak, lalu kembali terbang entah ke mana.

Pipit itu pergi dengan bebas, sayap dan tubuhnya bergerak tanpa komando. Sial, pipit kecil itu membuatku menangis. Sebab tubuhku dikerangkeng dua hal, yang pertama adalah penyakit, lalu yang kedua adalah Tuan Perwira.

Aku tak pernah bisa terbang. Tubuhku tak mampu bergerak sebebas pipit kecil itu. Tapi jika harus memilih, aku lebih ingin bebas dari kekangan kasih sayang tuanku. Lagipula, aku tak tahu apakah harus menanggung kutuk penyakit ini hingga mati.

Yang pasti, cita-citaku sederhana sekali. Aku hanya ingin menjadi burung pipit yang mengepak sayapnya entah sampai di mana. Tubuhku hanya ingin terbang.

***

Editor: Ghufroni An’ars

 

Amos Ursia
Amos Ursia Bermain-main transdisiplin.

One Reply to “Burung Pipit dan Tuan Perwira”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email