Hampir setiap saat kita mendapatkan masalah. Dari yang kecil hingga yang besar dan dari yang biasa hingga luar biasa. Seolah-olah setiap bangun tidur dan siap untuk beraktivitas, kita langsung disergap oleh masalah. Gaji yang tak layak, harga kebutuhan pokok yang semakin meroket, tagihan SPP anak, jalanan yang macet, adalah masalah yang sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah-masalah tersebut tentu saja membikin kita pusing, bingung dan stres. Tak mengherankan apabila banyak dari kita diterjang rasa putus asa, takut, khawatir dan trauma dalam menghadapi hidup ini. Bahkan ada anekdot yang mengatakan bahwa kita sekarang hidup di zaman edan. Nah, bagaimana kita menjaga kewarasan di zaman yang konon sudah tak waras ini?
Di sinilah letak krusialnya buku Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini. Buku yang ditulis oleh Henry Manampiring ini mengangkat filsafat stoa, filsafat kuno yang berkembang pada tahun 3 SM hingga 3 M, untuk membantu kita menghadapi zaman yang konon sudah tak waras ini.
Di dalam buku ini Henry Manampiring menerangkan dan menunjukkan bagaimana ajaran-ajaran filsafat kuno tersebut sangat relevan apabila diterapkan dalam konteks sekarang.
Filsafat Stoa
Filsafat stoa atau juga kerap disebut dengan stoikisme bukanlah filsafat yang mengajarkan tentang ide-ide besar atau abstrak, melainkan filsafat yang berusaha untuk membantu manusia menuju kebahagiaan hidup dengan menghilangkan emosi-emosi negatif, seperti penyesalan, takut, iri hati, juga senang yang berlebih.
Menurut kaum stoik, bahagia adalah ataraxia (ketiadaan gangguan). Orang dapat dikatakan bahagia apabila tidak lagi terganggu oleh emosi-emosi negatif. Kaum stoik juga menyebut kebahagiaan sebagai apatheia (ketiadaan sesuatu yang mengenai diri seseorang). Kata ini bermaksud bahwa orang bahagia adalah orang yang sudah terbebas dengan emosi-emosi negatif.
Untuk itu, manusia mesti menjalani latihan (askesis) yang ditempuh dengan cara menyelaraskan diri dengan alam semesta. Laiknya alam semesta yang sangat teratur dan tertata karena dikendalikan oleh logos (rasio), begitupun manusia harus menggunakan rasio bila ingin menjadi teratur. Rasio merupakan elemen penting yang mesti digunakan oleh manusia dalam keadaan apa pun.
Dari krusialnya peran rasio tersebut akan muncul ajaran mengenai dikotomi kendali: “apa yang tergantung pada kita” dan “apa yang tak tergantung pada kita”.
Apa yang tergantung pada kita adalah sesuatu yang berada dalam diri kita sendiri, seperti pemikiran, penilaian, persepsi dst. Sedangkan, apa yang tak tergantung pada kita adalah sesuatu yang berada di luar diri kita, seperti kekayaan, kehormatan, kecantikan, kesehatan dst.
Singkatnya kita tidak boleh menggantungkan diri pada apa yang tak tergantung pada kita apabila ingin bahagia, karena kebahagiaan itu sifatnya fana dan tak kekal. Sehingga, ia bisa lenyap seiring berjalannya waktu.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kaum stoik melihat peristiwa sebagai sesuatu yang indifferent (netral). Sehingga, peristiwa yang telah terjadi di dunia ini bukanlah sesuatu yang baik maupun buruk. Sebab, semua tergantung pada value judgement kita dalam melihat peristiwa itu.
Barangkali orang akan memprotes bahwa kehormatan, kekayaan, kesehatan dan semacamnya adalah sesuatu yang ada di dalam diri kita karena kita bisa memperjuangkannya. Bagaimanapun, kita bisa mengubah nasib kita: dari terhina menjadi terhormat, dari miskin menjadi kaya dan dari sakit menjadi sehat. Kita tidak boleh menyerah pada nasib dan beranggapan bahwa Sang Logos sudah menetapkan narasi hidup kita dari kelahiran hingga kematian.
Ajaran itulah yang sering kali dijadikan senjata oleh banyak orang untuk menyerang kaum stoik karena telah membunuh kebebasan berkehendak. Padahal, kaum stoik tidak bermaksud demikian. Kaum stoik tidak pernah berpikiran bahwa manusia harus menerima nasibnya dan tak melakukan apa pun untuk mengubahnya.
Justru kaum stoik menuntut manusia untuk aktif bertindak, namun bukan pada hasil yang telah dicapai (outcome), melainkan pada tujuan yang hendak dicapai (internal goal).
Tentu kita ingin senantiasa sehat. Sebab itu, kita menjaga kesehatan dengan mengatur pola makan, pola tidur dan menghindari kebiasaan yang dapat mengundang penyakit. Namun, apabila sewaktu-waktu kita tertimpa musibah yang kemudian mengakibatkan kelumpuhan, kebutaan, patah tulang dst; kita tidak boleh menyesalinya karena akibat tersebut berada di luar kendali kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah fokus pada cara agar tetap menjadi sehat. Kita hanya bisa memprediksi, sehingga tak tahu secara hampir pasti bagaimana hasilnya nanti.
Maka, bagi siapapun yang gagal dan tak memperoleh hasil atas apa yang telah diperjuangkan, kaum stoik tidak saja menganjurkan untuk menerimanya, melainkan juga mencintainya. Seperti yang pernah diujarkan oleh Nietzsche:
“Amor Fati, Fatum Brutum: Cintailah Takdir, Walaupun itu Kejam.”
Artinya, orang harus berupaya untuk mencintai nasib hidupnya, betapapun itu menyakitkan. Dengan ini, segala macam emosi negatif akan hilang.
Premeditatio Malorum
Melalui ajaran dikotomi kendali tersebut, kita tahu bahwa segala sesuatu yang tak ada hubungannya dengan rasio adalah sesuatu yang eksternal dari diri kita. Ia tak bisa dikendalikan dan kita tidak boleh kecewa bila ia tak sesuai dengan harapan kita.
Di sinilah pentingnya kita mengenal Premeditatio Malorum, suatu teknik memperkuat mental dengan cara mengimajinasikan peristiwa yang mungkin terjadi dalam di hidup kita hari ini dan yang akan datang. Ia berbeda dengan khawatir tanpa alasan karena ia mensyarakatkan sikap rasional dan berusaha untuk mengenali peristiwa di luar diri kita. Dengan begitu, ia adalah persiapan yang dilaksanakan sedini mungkin sebelum melakukan ekseskusi. Mirip dengan peribahasa “Sedia Payung Sebelum Hujan.”
Misalnya, ketika akan bepergian jauh dengan kendaraan pribadi, orang yang menerapkan Premeditatio Malorum akan membayangkan bagaimana bila di tengah perjalanan bannya bocor, bensinnya habis, pengguna kendaraan yang sembrono, kecelakaan dsb. Oleh sebab itu, ia akan mewanti-wanti dan mempersiapkan hal tersebut sebelum berangkat.
Dengan begitu, ia menjadi tenang ketika melakukan perjalanan. Dan apabila di tengah perjalanan sesuatu yang dibayangkan sebelumnya terjadi, ia tidak akan terkejut dan segera bergerak mencari solusi.
Stop-Think & Assess-Respond
Lalu, bagaimana bila kita terkena musibah secara mendadak? Dengan menerapkan ajaran dikotomi kendali, Henry Manampiring menawarkan skema STAR (Stop-Think & Assess-Respond).
Umumnya, ketika mendadak tertimpa musibah, manusia akan kaget dan kemudian memunculkan emosi berupa marah, sedih atau rasa sesal. Tak masalah, itu adalah hal yang wajar dan manusiawi. Hampir semua manusia melakukan hal demikian.
Namun, alih-alih kita terus terlelap dalam emosi negatif itu, alangkah baiknya kita mengimplementasikan skema STAR. Jadi, ketika emosi negatif itu muncul, kita harus berusaha untuk menghentikannya. Setelah itu, kita mesti melakukan Think & Assess (berpikir dan menilai) terhadap musibah itu. Kita mesti membedakan antara realita yang terjadi dengan persepsi yang kita bangun. Terakhir, langkah yang dilakukan adalah Respond (memberikan respon). Dalam hal ini, kita menindak apa yang tergantung atau berada dalam kendali kita.
Melalui skema ini, kita bisa menyelesaikan musibah secara rasional dengan langsung mencari akar persoalan dan menemukan solusi.
Mengendalikan Emosi Negatif
Buku yang ditulis oleh Henry Manampiring ini tidak saja merupakan pintu awal untuk memahami filsafat stoa, melainkan juga mengkontekstualisasikan cara yang dilakukan oleh kaum stoik untuk mengendalikan emosi-emosi negatif. Hal ini dilakukan karena setelah melakukan survei kecil-kecilan, banyak orang Indonesia yang rupanya sering stres dan cemas dalam menghadapai masalah. Oleh karena itu, ia memberikan langkah-langkah jitu dalam mengobati stres dengan bertopang pada ajaran filsafat stoa. Ia pun menyajikan wawancara-wawancara dengan para psikolog sebagai bentuk justifikasinya.
Ia menuliskan semua itu dengan bahasa yang gaul dan mudah dipahami oleh orang awam sekalipun. Inilah keunikan dan keberhasilan buku ini, sekalipun penulisnya bukanlah pelajar atau lulusan filsafat.
Namun, menurut saya, semua itu dilakukan oleh Henry semata-mata untuk mengamalkan perkataan seorang stoik bernama Epiktetus:
“Jangan suka menyebut diri anda sendiri sebagai filsuf, jangan banyak bicara di depan orang awam tentang teori-teori filsafat. Tidak penting itu semua, karena yang pokok adalah bagaimana Anda hidup sesuai dengan apa yang Anda pelajari.”
***
Editor: Ghufroni An’ars