Konflik agraria di Indonesia selama rezim Jokowi terkait akses dalam hak atas akses masyarakat lokal dan adat terhadap tanah, telah menjadi isu yang kompleks dan berkepanjangan. Di berbagai daerah, masyarakat yang memiliki hubungan historis dengan tanah sering kali terpinggirkan oleh kepentingan industri dan pengembangan ekonomi.
Dalam konteks ini, tanah bukan hanya sekadar sumber daya, tetapi juga merupakan identitas, budaya, dan sumber kehidupan bagi masyarakat adat. Pengakuan dari negara selama ini hanya sekedar pencitraan. Negara tidak berpihak kepada masyarakat adat ataupun petani. Banyaknya permasalahan-permasalahan yang ditinggalkan presiden Jokowi terkait konflik agraria. Hingga ahkir periodenya banyaknya kepentingan-kepentingan elite yang di prioritaskan dibandingkan dengan kepentingan rakyat.
Akhir kepemimpinan Presiden Jokowi menyisakan banyaknya rakyat makin sengsara dengan hilangnya tanah atas nama pembangunan daerah tersebut. Rakyat sering menjadi korban penggusuran dan kriminalisasi.
Konflik Tanah Adat
Masyarakat adat di Indonesia, termasuk di wilayah seperti Tanah Batak, memiliki sistem pengelolaan tanah yang telah diwariskan secara turun-temurun. Dalam banyak budaya adat, tanah dianggap sakral dan memiliki nilai spiritual. Hubungan ini menandakan bahwa tanah bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga tempat berinteraksi dengan leluhur dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Ironisnya, dengan semakin meningkatnya kebutuhan untuk pengembangan infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam, tanah adat sering diabaikan. Proses legalitas yang menguntungkan pihak perusahaan seperti izin usaha perkebunan atau pertambangan, sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Masyarakat adat yang telah mengelola tanah tersebut selama berabad-abad tiba-tiba harus berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka.
Baca juga:
- 78 Tahun Indonesia Merdeka, Masyarakat Adat Dapat Apa?
- Suku Mapur: Punahnya Orisinalitas Budaya di Tanah Bangka
- 23 Tahun Perjuangan Masyarakat Adat Nusantara
Beberapa faktor utama menyebabkan terjadinya konflik agraria yang saat ini masih timpang tindah terkait adanya kepetingan dari elite-elite yang berkuasa saat ini antara lain:
- Kepemilikan tanah yang tidak jelas. Banyaknya masyarakat adat tidak memiliki dokumen resmi yang mengakui kepemilikan tanah mereka. Hal itu membuat mereka rentan terhadap klaim dari pihak lain terutama perusahaan besar.
- Pengabaian hukum adat dalam banyak kasus. Hukum negara tidak mengakui hukum adat yang berlaku di masyarakat. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat ketika berhadapan dengan perusahaan atau pemerintah.
- Kepentingan ekonomi dengan meningkatnya permintaan akan sumber daya alam. Perusahaan sering kali mengeksploitasi tanah tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal. Proyek-proyek besar seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur lebih diutamakan, sementara masyarakat yang terkena dampak tidak diberdayakan.
- Kriminalisasi pejuang tanah adat. Ketika masyarakat adat, petani, buruh dan nelayan berusaha mempertahankan hak-haknya, mereka sering kali dihadapkan pada intimidasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan. Hal ini menciptakan suasana ketakutan dan merusak solidaritas di antara mereka.
Salah satu contoh nyata konflik agraria dapat dilihat dalam kasus masyarakat adat di Sumatera Utara, tempat PT Toba Pulp Lestari (TPL) beroperasi. Masyarakat adat di wilayah tersebut telah berjuang untuk mempertahankan tanah mereka dari penguasaan perusahaan yang mengklaim hak atas tanah tanpa pengakuan dari masyarakat lokal. Warga yang menolak menjual tanah mereka di hadapkan pada ancaman hukum atau kekerasan dari pihak perusahaan.
Saat ini masyarakat adat dan lokal sering menghadapi ancaman-ancaman yang dilakukan oleh perusahaan. Intimidasi dilakukan melalui polisi, preman dan orang-orang yang berpengaruh di wilayah tersebut. Hal itu membuat masyarakat adat dan lokal ketakutan. Dalam hal ini pemerintah hanya memprioritaskan keuntungan perusahaan daripada kepentingan masyarakat di wilayah tersebut. Padahal dalam Undang-Undang Dasar sudah di jelaskan hak dari masyarakat sekitar harus dilindungi dan mereka mempunyai hak-hak atas tanahnya sendiri.
Keberpihakan pemerintah pada perusahaan membuat kondisi ekonomi masyarakat adat menurun secara drastis. Masyarakat menjadi takut masuk tombak (hutan) untuk mengambil kemenyan. Padahal kemenyan merupakan sumber utama dalam kehidupan masyarakat adat dalam membiayai kehidupan sehari-hari hingga sekolah anak-anaknya diluar daerah.
Kondisi ini memicu aksi protes dan kampanye dari masyarakat adat dan organisasi non-pemerintah. Mereka berusaha menggugah kesadaran publik tentang ketidakadilan yang dialami masyarakat adat. Masyarakat adat yang sebelumnya tidak terorganisir kini mulai bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Langkah Pembenahan
Untuk mengatasi konflik agraria, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Negara harus mengakui dan melindungi hak masyarakat adat atas tanah mereka melalui kebijakan yang jelas dan adil. Ini termasuk mengakui hukum adat dan memfasilitasi proses legalisasi tanah.
Dialog antara masyarakat adat, pemerintah, dan perusahaan sangat penting untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dan menemukan solusi yang konstruktif. Masyarakat lokal harus dididik dan dilatih untuk mengenali hak-hak mereka, pengelolaan sumber daya, dan cara bernegosiasi dengan pihak luar. Kesadaran akan hak-hak ini dapat meningkatkan posisi tawar mereka.
Keterlibatan dari pemuda adat dan tetua adat sangant penting untuk penyelesaian konflik-konflik yang ada di daerah. Aktivis organisasi non-pemerintah dan aktivis dapat berperan penting dalam mendukung masyarakat adat, memberikan advokasi, serta memfasilitasi akses informasi.
Baca juga:
Hak-hak masyarakat adat bukan hanya soal kepemilikan tanah, tetapi juga terkait dengan identitas, kebudayaan, dan cara hidup yang berkelanjutan. Tanah bagi masyarakat adat adalah sumber kehidupan yang harus dijaga, tidak hanya untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, pendekatan yang inklusif dalam menyelesaikan konflik agraria ini sangat penting. Pemerintah, perusahaan, dan pihak terkait lainnya perlu menghormati dan memahami perspektif masyarakat adat. Perlindungan hukum dan kebijakan yang berpihak kepada mereka harus diimplementasikan dengan tegas.
Selain itu, penyelesaian konflik agraria juga harus memperhatikan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Masyarakat adat memiliki cara pengelolaan tanah yang lebih ramah lingkungan. Mereka menghormati siklus alam dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Jika pendekatan yang adil, inklusif, dan menghormati hak-hak adat diterapkan, ada harapan bahwa konflik agraria dapat diselesaikan dengan baik. Masyarakat adat pun dapat kembali mengelola tanah mereka, tidak hanya untuk kelangsungan hidup, tetapi juga untuk menjaga warisan budaya dan lingkungan yang lestari. (*)
Editor: Kukuh Basuki