Pria Berwajah Malaikat dan Mereka yang Dipermainkan Waktu

Aprilia Nurmala Dewi

5 min read

Peron 4 Stasiun Tokyo siang itu terlihat berbeda. Kepingan besi dan pecahan kaca berserakan. Beberapa kursi tunggu tampak terbalik. Poster-poster iklan telepon seluler di dinding sobek dan menghitam. Asap bahkan memenuhi sebagian sisi peron.

“Sesuatu pasti sudah terjadi di sini.” Seorang pria usia tigapuluhan berjalan pelan sambil merapikan rambutnya yang belah samping. Baju hangat, celana jin, dan sepatu yang dia kenakan terlihat trendi. Dia lalu mendekati seorang pria lain yang sedang duduk di salah satu kursi tunggu.

“Mereka bahkan tidak membersihkan sisa-sisa kekacauan ini.” Pria yang sedang duduk mulai mengomel. Dia masih mendesis kesal ketika sebuah surat kabar terbang dan jatuh tepat di sisi sepatu kulit buatan Eropa miliknya. Pria kedua mungkin berusia sekitar lima puluh tahun. Dari setelan yang dia pakai, jelas kalau pria itu bukan penumpang biasa.

Kedua pria tadi mulai mengobrol tentang kondisi stasiun hari itu. Tiba-tiba sebuah pertanyaan membuat perbincangan seru dua pria berjeda.

“Apa kalian juga menunggu kereta cepat menuju Nagano?” Seorang pria tua dengan kemeja kotak-kotak yang dibungkus lagi dengan jaket hitam usang sudah berdiri di hadapan kedua pria tadi. Pria ketiga itu tampak kebingungan.

“Ya. Kami sudah menunggu sejak tadi. Tapi….” Pria pertama menyingkap lengan baju hangatnya, berniat memeriksa jam di pergelangan tangan kanannya. “Ah, sial. Jam ini mati. Padahal aku baru saja membelinya.”

Pria pertama sibuk mengutak-atik jam tangannya. Pria ketiga mencoba memanggil satu dua orang yang lewat untuk menanyakan jam kedatangan kereta yang dia tunggu. Namun, tak seorang pun menghiraukannya.

“Kalian lihat jam besar di sana?” Pria kedua mengejutkan pria-pria lainnya. Dia menunjuk sebuah jam berukuran besar, mungkin sedikit lebih kecil daripada penunjuk waktu di puncak Menara Jam Sapporo. “Apakah kalian menyadari sejak kapan jarum jam itu berputar melawan arah?”

Ketiga pria yang duduk berbaris di ruang tunggu itu kini melihat ke arah jam bersama-sama. Jarum menit dan detiknya berjalan mundur dan sangat lambat.

“Benar-benar ada yang salah dengan hari ini. Sial sekali.” Pria kedua memukul pahanya kesal. “Hei, kau yang paling muda di antara kami. Coba kau tanya pria berseragam polisi di sana. Dia mungkin tahu apa yang sedang terjadi.”

Pria pertama yang merasa paling muda mencari-cari sosok yang dimaksud. “Aku tidak melihat polisi di mana pun.”

“Itu dia, dia berjalan ke arah rel. Bodoh! Dia bisa saja tertabrak kereta cepat. Kau saja yang mengejarnya, aku tidak suka berurusan dengan polisi,” kata pria kedua ketus.

Pria pertama dan pria ketiga saling memandang. Mereka tak melihat siapa pun berjalan ke arah yang ditunjuk pria kedua.

“Seharusnya aku sudah bertemu Ryoko. Kami sudah memesan sebuah penginapan dengan kolam air panas terbaik.” Pria pertama menghela napas setelah memalingkan wajah dari arah rel kereta.

“Istri? Kekasih?” Tanya pria ketiga dengan antusias. Pria tua itu kemudian memiringkan tubuh ke arah pria pertama yang duduk di sisi kirinya.

“Ke-kekasih. Ya, dia kekasihku.” Pria muda trendi itu menjawab terbata-bata. Sesungguhnya, wanita itu adalah seorang kekasih gelap yang dia sembunyikan dari istri yang sedang hamil tua. “Semua jam yang ada di sini rusak dan aku bahkan tidak tahu apakah dia memang datang terlambat atau aku tiba terlalu cepat.”

“Ya, kita semua pernah menjadi tak cukup sabar menghadapi waktu dan wanita. Pun sebaliknya. Mereka, para wanita, seringkali dibuat lelah oleh waktu dan kita.”

Pria pertama mengangguk basa-basi. “Kau sendiri ingin ke Nagano untuk tujuan apa?” tanyanya kepada si pria tua.

Mata pria tua itu basah, dia buru-buru mengusap air mata. “Menemui wanita yang pernah begitu lelah menungguku di medan perang. Dia memutuskan untuk menikah dengan orang lain.”

“Kau masih bisa menangis bahkan setelah puluhan tahun?” Pria pertama tertawa kecil, sedikit mengejek.

“Aku baru tahu bahwa dia melahirkan seorang putri. Putriku.” Pria tua itu pun menatap lekat-lekat pria kedua. “Ada hal-hal yang mungkin akan kau sesali setelah puluhan tahun.”

Kalimat itu menusuk jantung pria muda yang buru-buru menghindari tatapan pria ketiga.

Pria kedua mulai jengah. Dia meletakkan surat kabar yang sedari tadi dia baca.

“Bagaimana mungkin kalian berbagi cerita cengeng di saat seperti ini. Lihat surat kabar ini!” Pria kedua melipat surat kabar seadanya, sedikit berantakan. “Aku baru kali ini melihat surat kabar yang tidak mencantumkan tanggal terbit. Aku ingin tahu kapan mereka menuliskan berita ini.”

Kini pria pertama dan ketiga segera memiringkan badan ke kanan dan melihat surat kabar yang dipegang pria kedua.

“KORUPSI KEMENTERIAN KEHAKIMAN SEGERA TERUNGKAP. PEJABAT KEMENTERIAN DITENGARAI MENIKMATI UANG PUBLIK UNTUK PERJALANAN WISATA PRIBADI KE LUAR NEGERI. BEBERAPA DI ANTARANYA DIPERKIRAKAN TELAH MENINGGALKAN TOKYO.” Pria pertama membaca dengan suara keras.

Pria kedua mengumpat. “Sial, aku berbicara tentang tanggal di kolom ini. Bukan isi beritanya.” Dia menunjuk sisi kanan atas halaman depan surat kabar tadi, dengan kasar.

“Kau bekerja untuk Kementerian Kehakiman?” Pertanyaan pria ketiga membuat pria kedua kikuk. Cepat-cepat dia menyobeki surat kabar itu dan membuangnya ke lantai kemudian menginjak-injaknya dengan geram.

“Ah, Tuan, kau mudah sekali tersinggung.” Pria pertama menarik lengan baju hangatnya hingga ke siku lalu kembali menyandarkan punggung ke kursi. Wajahnya ditengadahkan menatap langit-langit stasiun. “Kau memang paling kaya di antara kami, tapi kau bukan satu-satunya yang sedang sial.”

Pria ketiga memalingkan pandangan ke arah pria pertama. “Anak muda, rupanya kau tidak hanya tampan. Kau juga sedikit lebih bijaksana. Dulu aku berpikir usia menentukan kemampuan seseorang menggunakan akalnya.” Pria tua itu terkekeh.

“Apa maksudmu? Kau pikir karena kau veteran perang lalu kau memahami semua hal?” Pria kedua berdiri bertolak pinggang. Dia mencibir, meludah ke samping. Air liurnya tepat jatuh di atas kata KORUPSI pada judul besar di surat kabar. “Urusanku jauh lebih penting. Aku harus tiba di Nagano lebih cepat dari kalian.”

“Daripada berdebat tentang siapa yang punya urusan paling penting, sebaiknya kita memastikan kapan keretanya datang.” Pria ketiga tak mau meladeni emosi pria kedua.

Baru saja pria kedua akan membantah ucapan si pria tua, tiba-tiba seorang pria bersetelan hitam berjalan mendekati mereka.

“Kita bisa bertanya kepada pria itu. Kalian lihat? Dia berjalan ke sini,” sorak pria pertama.

Pria kedua mengerutkan kening. “Kalian melihatnya? Dia masih cukup jauh. Kalian bahkan tidak melihat polisi yang tadi berdiri di depan mata kalian.”

Pria bersetelan kian mendekat, wajahnya tersenyum ramah.

“Selamat siang, sore, entahlah. Kami bahkan tidak tahu sekarang jam berapa.” Pria tua menyapa pria bersetelan seraya tertawa kecil. Tepatnya, dia menertawakan nasibnya.

“Kalian menunggu kereta cepat yang sama?” tanya pria bersetelan, berwajah cerah, berhidung mancung, dan bermata indah. Penampilan yang sempurna.

“Ya, kami akan ke Nagano. Apakah kau tahu apa yang menyebabkan keterlambatannya? Kami tidak bisa memperkirakan waktu karena jam itu rusak.” Pria pertama kembali menunjuk ke arah jam di dekat papan nomor peron. “Sial sekali.”

“Akan ada masa dalam dimensi kehidupan di mana Anda semua tak lagi harus dikejar dan dipermainkan waktu.”

“Wajahmu seperti malaikat, ucapanmu terdengar sedikit menakutkan.” Pria tua menatap pria bersetelan yang berdiri tepat di hadapannya. “Kau menyadari wajahmu seperti malaikat?”

Pria bersetelan dan berwajah malaikat itu tersenyum.”Bir, wanita cantik, uang untuk dihamburkan tanpa henti, serta manusia-manusia lain yang dapat dimanfaatkan, membuat manusia lupa bahwa mereka sedang berlomba dengan waktu.”

“Kalau kau tidak tahu apa-apa tentang jadwal kereta, sebaiknya kau hentikan omong kosongmu.” Pria kedua lagi-lagi tampak emosional, dia menendang kaki kursi tunggu dengan sepatu mewahnya.

“Maaf, sebaiknya aku pergi. Banyak orang memang tak suka bertemu denganku.” Pria bersetelan dan berwajah malaikat itu berpamitan.

***

Tsutomu Hanzo terbangun di sebuah ruangan berdinding putih bersih. Seorang wanita duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangannya.

“Kau sudah bangun? Kau benar-benar sudah bangun?” Wanita itu bertanya dengan bibir bergetar. Genggaman tangannya makin erat.

“Siapa kau? Aku sedang dalam perjalanan mencari putriku.” Pria tua itu tampak linglung. “Kenapa aku bisa berada di sini?”

Wanita di sisinya mengusap wajah yang basah karena air mata. “Aku akan memanggil dokter.” Wanita itu beranjak.

Pria tua itu masih tidak bisa mengingat kejadian yang dia hadapi ketika seorang pria berwajah sangat tampan terlihat berdiri di ujung kakinya.

“K-Kau.”

“Iya, ini aku. Kau ingat pernah bertemu denganku?”

“Kau pria berwajah malaikat di stasiun.”

Pria itu mengangguk pelan.

“Aku harus pergi dari sini. Aku ingin mencari putriku,” ujar pria tua itu lagi.

Pria berwajah malaikat menggeleng. “Kau tak perlu mencarinya. Dia menungguimu sejak tadi malam. Dia akan tiba sebentar lagi bersama seorang dokter. Saat mereka datang, aku harus berpamitan lagi.”

“Tunggu dulu.” Pria tua itu berusaha duduk meski tertatih. “Ke mana pria muda dan pria kaya itu?”

“Aku mengirim mereka ke tempat di mana mereka bisa berhenti menyakiti manusia lain.” Pria berwajah malaikat tersenyum. “Kau tahu? Banyak manusia yang tidak layak diberi kesempatan kedua hanya untuk mengulang kekacauan yang sama.”

Pria tua itu tertegun. Dia menggosok-gosok matanya seiring langkah pria berwajah malaikat yang makin menjauh. “Kau … apakah aku pernah mengatakan ucapanmu menakutkan? Siapa kau?”

“Aku harus berpamitan, kali ini untuk yang terakhir,” ucap pria berwajah malaikat tanpa menoleh kepada Tsutomu.

“Jawab aku, siapa kau sesungguhnya?”

Pria berwajah malaikat akhirnya menolehkan kepalanya sedikit, mengirim sorot mata tajam dari balik bahunya. “Seperti yang kau katakan, aku hanya seorang pria berwajah malaikat.”

***

Sebuah ledakan terjadi di Peron 4 Stasiun Tokyo kemarin siang. Belasan orang tewas dan puluhan orang terluka parah. Kepolisian Metropolitan Tokyo belum dapat memastikan penyebab ledakan. Namun, saat ini lokasi kejadian telah ditutup untuk sementara.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Aprilia Nurmala Dewi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email