Ingin Jadi Penyair
di toko itu
ia memesan seperangkat kemiskinan
–
Meredup
saat waktu memadamkanku
kau menjelma laut yang memeluk
dengan jutaan kata rindu dan
doa yang redup di ujung hidup
–
Jiwa Kecil dan Matahari
jiwa kecil itu
memeluk matahari dengan
dua tangannya yang mungil.
aku merindukanmu, katanya.
ah, bunga kecilku, begitupun aku.
dia tidak takut
sebab tahu dirinya juga cahaya
yang berasal dari matahari
yang Cinta itu.
–
Bimbingan Konseling
kenapa yang jahat menang
dan yang bodoh beruntung?
kenapa manusia lebih pandai
menilai wajah daripada hati?
kenapa kita membohongi diri
dan percaya hidup ini adil?
kenapa uang jauh lebih berharga
dari nyawa manusia?
bu, apa makna hidup ini?
tolong jangan beri klise
“hanya kamu yang tahu!”
dengar! aku sudah letih berjuang
tak mampu lagi bertahan
bukankah ini terlalu berat?
jawablah, apakah langit
memang biru adanya?
kenapa ada yang tertawa
di atas kemalangan yang lain?
kenapa ada yang tega
melenyapkan yang tak sepikir?
kenapa ada yang bisa
membutakan mata sesamanya?
kenapa ada luka
yang mustahil disembuhkan air mata?
bu, apa makna hidup ini?
tolong jangan beri klise,
“semua punya pendapat sendiri!”
dengar! aku sudah tak tahu lagi
apa yang benar-benar berarti
haruskah aku memutuskan pergi
dan tak kembali lagi?
kenapa hujan membuat hati
yang dingin menjadi hangat?
kenapa pepohonan tak menangis
saat angin menggugurkan daunnya?
kenapa matahari masih bersinar
meski tak ada yang peduli?
kenapa awan yang tinggi
terasa dekat sekaligus jauh sekali?
sungguh aku ingin
memandang langit
dan menangis sepuas-puasnya.
–
Sepasang Lengan
sebab cinta adalah sesendok sup yang kausuapkan untuk anak kita yang sakit, telunjuk yang menghapus air mata, setangkup doa yang kita hapal sejak lama, aku ingin menjadi sepasang lengan yang pandai memeluk dan memaafkan, tangan berbau bumbu dapur dan bukan bubuk mesiu. aku tak mau jadi negara yang tak punya lengan tapi begitu pandai memuntahkan peluru.
–
Selamat Ulang Tahun
selamat ulang tahun
kami ucapkan
seperti apa kesepian itu, Tuhanku?
lebih heningkah dari maut?
lebih misteri dari laut?
telingaku geming semata
gagal menangkap suara.
aku lelap di dalam,
tanpa bisik satu pun.
membayangkan kata aku tak mampu,
apalagi nada
lidahku kelu
menafik bicara.
selamat panjang umur
kita ‘kan doakan
ketika menatap mata
yang sabar menanggung beban
—anakmu, ibu, kalah
oleh hidup yang berat;
hidup yang tak kunjung sepi cobaan—
aku menyadari tak selamanya
matanya melindungiku,
di tanah merah—daerahku y.a.d.
jauh di bawah taburan
kembang ziarah,
mata siapa dapat kukenang?
gelap semata.
kelam semata.
hanya doamu ‘kubawa serta.
selamat sejahtera
sehat sentosa
umur memudar
menjadi kilas samar
angin berembus
mengiris subuh.
gerimis memukul-mukul jendela.
hujan menderas.
aku mendaras doa
menebas tidur dan lelap
tapi kenapa hanya air mata
merembes hangat di pipi?
selamat panjang umur
dan bahagia
Tuhan, maafkan aku tak kunjung
menjadikan-Mu jawaban.
maafkan aku yang terus-menerus
memaksa-Mu jadi persoalan.
*****
Editor: Moch Aldy MA