Melalui Film, Korsel Berdamai dengan Sejarah Kelam

Nadia H

4 min read

Perjalanan Korea Selatan menuju kebebasan dan demokrasi merupakan jalan panjang yang kelam dan penuh pergolakan politik. Setelah merdeka, Korea Selatan beberapa kali dipimpin oleh diktator.

Presiden pertama Korea Selatan adalah Syngman Rhee  menjabat selama 12 tahun, tahun 1948-1960. Sejak rezim itu dimulailah gerakan anti komunis di Korea Selatan. Setelah dikudeta militer Syngman Rhee  digantikan oleh Park Chung Hee yang menjabat tahun 1963-1979 . Park Chung Hee lalu ditumbangkan oleh Kepala BIN Korea saat itu, Kim Jae Gyu , karena dinilai terlalu otoriter.

Dalam periode ketidakpastian setelah pembunuhan Park, kepemimimpinan Korea Selatan dilanjutkan Chun Doo Hwan. Pemerintahan Chun Doo Hwan menuai banyak protes dari mahasiswa dan masyarakat yang sudah jengah berada dibawah pemerintahan yang otoriter.

Baca juga Drama Televisi dan Harapan tentang Polisi yang Mengayomi

Potret mengenai kehidupan masyarakat Korea Selatan pada masa rezim Chun Doo Hwan dan juga besarnya gerakan protes anti militer yang menuntut demokrasi digambarkan dalam beberapa film yang mengambil latar belakang kejadian pada masa sekitar tahun 1980 – 1987 ketika masyarakat Korea Selatan berjuang untuk melepaskan pemerintahan dari rezim militer dan mewujudkan demokrasi di Korea Selatan.

Berikut ini ulasan tiga film yang mengangkat sejarah politik dan gerakan perlawanan di Korea Selatan.

  1. 1987 (When The Day Come)

1987: When the Day Comes diangkat dari kisah nyata kematian aktivis mahasiswa pro-demokrasi Park Jong Chul yang ditangkap karena terlibat demonstrasi menentang rezim Presiden Chun Doo Hwan. Adegan pembuka di film ini menampilkan kepanikan polisi ketika salah satu mahasiswa yang diintrerograsi tewas akibat dipukuli dan kehabisan nafas karena dicelupkan ke dalam bak mandi.

Polisi dan pemerintah berusaha menutupi tragedi yang menimpa Jong Chul dan meminta agar mayat Jong Chul segera dikremasi. Namun Jaksa yang bertugas saat itu , Jaksa Choi Hwan menolak hal tersebut dan meminta autopsi. Berita kematian mahasiswa ini terdengar oleh jurnalis dan diberitakan meski kantor berita mereka dibredel oleh polisi dari Divisi Anti Komunis.

Kematian dari mahasiswa itu menyebabkan gejolak politik terbesar sepanjang sejarah Korea Selatan yang sudah muak dengan kediktatoran Chun Doo-hwan saat itu. Tokoh yang ada dalam film ini cukup banyak dan merepresentasikan beberapa pihak, seperti mahasiswa, jurnalis, dokter, jaksa, penjaga penjara dan terakhir para pekerja kantoran. Mereka mengambil perannya masing masing untuk memperjuangkan demokrasi.

Sekilas cerita ini mengingatkan tentang apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 silam. Ketika mahasiwa hingga seluruh masyarakat sipil turun ke jalan menuntut lengsernya presiden Soeharto. Meskipun dari segi plot cerita 1987 agak rumit, tapi dialog dan emosi yang ditampilkan cukup membuat penonton merasakan depresi dan rasa sedih yang mendalam, terlebih ketika potongan rekaman dari kejadian nyata ditampilkan dalam film ini.

Film ini berbicara dengan jujur dan menampilkan fakta tentang kekejaman rezim di masa itu sebagai pengingat bahwa kebebasan berdemokrasi yang didapat rakyat korea di masa ini adalah berkat darah, keringat dan perjuangan masyarakat yang berani turun ke jalan menuntut perubahan.

  1. The Attorney

The Attorney yang dirilis pada bulan Desember tahun 2013 terinspirasi dari pengalaman pribadi mantan Presiden Korea Selatan, Roh Moo-Hyun, dan juga terinspirasi dari kasus Burim 1981. Saat dirilis, film ini memicu perdebatan sengit antara kelompok konservatif Korea Selatan dan kelompok liberal. Hal ini mengisyaratkan bagaimana trauma otoritarianisme belum sepenuhnya mereda dalam masyarakat Korea.  Meski demikian, film ini juga memiliki dampak di dunia nyata. Tak lama setelah film The Attorney dirilis, mulai bermunculan informasi informasi baru terkait kasus Burim 1981.

The Attorney bercerita tentang seorang pengacara bernama Song Woo Seok yang hanya lulusan SMA tapi dengan kerja kerasnya mampu menjadi pengacara sukses. Song Woo Seok membangun bisnis dari real estate registration sampai masalah perpajakan hingga statusnya sebagai pengacara pajak sangat terkenal di kota Busan. Dari pekerjaannya ini Song Woo Seok mampu mengumpulkan banyak uang dan memiliki kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Di masa sulitnya meniti karir, Song Woo Seok pernah berhutang makan di rumah makan milik Bibi Choi Soon Ae , sehingga ketika dia sudah sukses dia kembali lagi mengunjungi rumah makan tempat ia pernah berutang makan dulu ketika masih hidup susah dan menjadi langganan di sana.

Pada suatu hari putra satu-satunya Soon Ae yang bernama Park Jin Woo hilang dan ternyata dia ditangkap polisi karena Jin Woo dan teman temannya mengadakan pembahasan buku yang dilarang oleh negara dan dianggap mau membelot. Di masa pemerintahannya saat itu, Chun Doo-hwan menggunakan Undang-Undang Keamanan Nasional untuk melanggar hak asasi manusia dengan memenjarakan siapa pun yang dicurigai memiliki pandangan kiri atau pro-utara. Korban dari implementasi

Undang-Undang Keamanan Nasional yang melanggar HAM ini salah satunya adalah yang terjadi pada Kasus Burim yang terkenal. Sebanyak 19 mahasiswa dan pekerja kantor ditangkap dan diadili karena pelanggaran Undang-Undang Keamanan Nasional atas partisipasi mereka dalam sebuah klub buku yang mempelajari buku-buku ilmu sosial.  Jin Woo ditahan dan disiksa karena dituduh sebagai seorang komunis. Tanpa berpikir panjang, Woo Seok mempertaruhkan karier pengacaranya yang sedang naik daun dengan membela Jin Woo.

Kasus ini merupakan titik balik bagi Song Woo Seok untuk beralih menjadi pengacara HAM, karena bagi Song Woo Seok tugas sejati seorang  pengacara adalah maju dan memimpin rakyat dalam masa ketidakadilan dan tanpa hukum. Di kehidupan nyatanya Roh Moo-Hyun akhirnya memimpin korea sebagai presiden sejak 25 Februari 2003 hingga 24 Februari 2008. Meski hidupnya berakhir tragis karena bunuh diri setelah diduga menerima suap ketika menjabat sebagai presiden.

  1. A Taxi Driver

Satu lagi film yang diangkat dari kisah nyata yang terjadi di kota Gwangju tahun 1980. A Taxi Driver menceritakan tentang seorang reporter Jerman Jurgen Hinzpeter yang mendapat informasi dari rekannya bahwa terjadi sesuatu di Gwangju. Karena penasaran, Peter pun berangkat menuju Gwangju dengan diantar oleh supir taxi bernama Kim Man Seob. Kim Man Seob bersedia mengantar peter ke Gwangju karena membutuhkan uang untuk membayar tagihan rumahnya.

Namun akses menuju kota Gwangju saat itu ditutup , terlebih untuk media. Dengan segala cara akhirnya mereka bisa masuk ke kota Gwangju dan ternyata kondisi di kota Gwangju sangat mengerikan.  Saat itu tengah terjadi Pemberontakan Gwangju yang dimulai dari tanggal 18 sampai 27 Mei 1980. Setelah Park Chung-hee, Presiden Korea Selatan selama 18 tahun, tewas dibunuh dan Jenderal militer Chun Doo-hwan mengambil alih kekuasaan terjadi aksi protes penolakan di Korea Selatan khususnya di Gwangju.

Awalnya hanya mahasiwa yang turun ke jalan melalukan aksi protes, namun karena militer mengerahkan senjata bahkan tank, akhirnya semua masyarakat Gwangju turun ke jalan bahu-membahu menolong para mahasiswa, terutama para supir taksi yang siap sedia membawa mahasiswa yang terluka ke rumah sakit.

Informasi mengenai apa yang terjadi di Gwangju tidak tersampaikan kepada publik, karena media diambil alih oleh penguasa, bahkan kota Gwangju diblokade oleh militer, sehingga berita tidak bisa sampai ke luar kota Gwangju. Bahkan bagi Peter untuk bisa keluar dari kota Gwangju pun bukan hal yang mudah. Tekanan penguasa terhadap media yang terang-terangan ditunjukkan dalam film ini, mulai dari melarang peliputan, menggunakan media untuk menyebarkan kabar palsu, hingga akhirnya menghilangkan media itu sendiri.

Film ini menceritakan penggalan sejarah dari kacamata seorang sopir taksi yang dikemas dengan sederhana dan jujur menguraikan fakta yang terjadi di Gwangju saat itu.

Film yang dirilis tahun 2017 ini memenangkan beberapa penghargaan dan termasuk salah satu film yang dikirim ke ajang Academy Award di tahun 2018 mewakili Korea Selatan.

Dengan mengirimkan A Taxi Driver ke ajang internasional menunjukan bahwa Korea Selatan sudah berdamai dengan kenyataan masa lalu dan menerima fakta bahwa mereka mencatat ada sejarah kelam yang harus dilalui sebelum mencapai kebebasan demokrasi yang mereka rasakan saat ini.

Lanjut baca Diplomasi Budaya: Dari Korea Selatan Kita Belajar

Nadia H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email