Fenomena pulangnya asisten rumah tangga (ART)–yang mayoritas perempuan–ke kampung halaman saat Lebaran membuka ruang kritis untuk mengkaji dinamika peran, kekuasaan, dan identitas dalam rumah tangga modern di perkotaan.
Kepulangan mereka tidak hanya membawa kerepotan tersendiri bagi keluarga pemberi kerja, tetapi juga memunculkan refleksi mendalam tentang nilai dan kontribusi mereka dalam struktur sosial dan kultural. Fenomena ini menantang narasi normatif yang selama ini menganggap ART sebagai “tenaga kerja semata” dan membuka wacana baru mengenai nilai keperempuanan serta keberadaan mereka dalam ranah domestik.
Secara historis, peran ART dalam rumah tangga telah berkembang seiring perubahan struktur sosial ekonomi keluarga dan urbanisasi. Di masa lampau, pekerjaan domestik kerap dilakukan oleh anggota keluarga atau diserahkan kepada komunitas lokal. Namun, proses modernisasi dan pertumbuhan ekonomi di perkotaan telah menciptakan permintaan tinggi akan tenaga kerja domestik yang “profesional”.
ART kemudian direkrut untuk mengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan menjalankan tugas-tugas rumah lainnya, sehingga menggantikan peran tradisional yang selama ini dibagi di antara anggota keluarga. Peningkatan kebutuhan ini menyiratkan transformasi dalam konsep kerja domestik yang tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan remeh, melainkan sebagai pilar penting dalam struktur rumah tangga modern.
Baca juga:
Dari perspektif antropologis, kehadiran ART dalam rumah tangga menciptakan ruang pertemuan antara budaya dan identitas yang berbeda. ART, yang mayoritas berasal dari latar belakang pedesaan, membawa nilai-nilai kearifan lokal, tradisi, dan praktik keperempuanan yang sering kali kontras dengan nilai-nilai modernitas perkotaan. Saat Lebaran tiba, kepulangan mereka ke kampung halaman bukan sekadar ritual perpisahan, melainkan bentuk pengembalian identitas yang selama ini ditekan oleh dinamika pekerjaan di kota.
Fenomena ini mengungkapkan kontradiksi antara kebutuhan untuk mencari nafkah dan kerinduan akan asal usul yang autentik. Di sisi lain, keluarga pemberi kerja yang semula mengandalkan ART sebagai penunjang keseharian, mendapati kekosongan emosional dan praktis yang mencerminkan betapa dalamnya peran mereka dalam mengatur tatanan domestik.
Narasi Pembangunan (Manusia)
Dalam teori pembangunan yang berfokus pada manusia, ART sering kali dianggap sebagai sumber daya yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Namun, narasi pembangunan konvensional sering mengabaikan aspek manusiawi dan sosial dari pekerjaan ini.
ART bukan hanya elemen pendukung dalam proses pembangunan rumah tangga, melainkan subjek yang memiliki aspirasi, identitas, dan hak-hak yang harus diakui. Konsep holistik pembangunan manusia mengajak kita untuk memaknai ART sebagai agen perubahan yang, bila dihargai secara layak, dapat meningkatkan kualitas hidup serta membentuk tatanan sosial yang lebih adil.
Fenomena kepulangan ART saat Lebaran membuka ruang bagi kritik terhadap ketidakadilan yang kerap dialami ART. Kerepotan yang dialami keluarga pemberi kerja saat ART pulang kampung menyiratkan betapa ketergantungan sistematis terhadap tenaga kerja perempuan selama ini belum mendapatkan perhatian. ART tidak memendapatkan penghargaan yang setara atas kerja mereka.
Feminisme modern sesungguhnya terus berupaya mendekonstruksi narasi normatif yang selama ini meminggirkan peran ART. Aktivisme dan kajian kritis mengungkapkan bahwa peran mereka jauh melampaui tugas-tugas rumah tangga yang dianggap remeh. ART merupakan agen reproduksi sosial yang berkontribusi besar terhadap keseimbangan emosional, pengasuhan anak, dan bahkan keberlangsungan nilai-nilai kultural dalam keluarga.
Ketika mereka memilih pulang ke kampung halaman saat Lebaran, tindakan tersebut bisa ditafsirkan sebagai bentuk penolakan terhadap sistem yang menuntut ketaatan tanpa penghargaan. Di sisi lain, absennya ART pada periode tertentu memaksa keluarga pemberi kerja untuk menginternalisasi kembali nilai-nilai kekeluargaan dan menyadari pentingnya peran perempuan dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Dialog Kritis
Peristiwa kepulangan ART pada masa Lebaran membuka dialog kritis mengenai identitas, keberagaman, dan dinamika kekuasaan. Keberadaan mereka di ruang domestik merupakan titik temu antara dunia tradisional dan modern, di mana praktik keperempuanan tradisional beradu dengan ekspektasi modern yang serba cepat dan efisien.
Perbedaan ini menciptakan ketegangan yang, bila dikaji secara mendalam, mengungkapkan realitas bahwa pembangunan kultural tidak dapat dipisahkan dari perjuangan identitas gender. ART, sebagai pelaku utama dalam ranah ini, menuntut pengakuan atas nilai-nilai yang mereka bawa serta kontribusi yang mereka berikan dalam membentuk karakter keluarga modern.
Baca juga:
ART tidak bisa dilihat hanya sebagai tenaga kerja yang dapat digantikan, melainkan sebagai subjek yang memiliki hak, identitas, dan aspirasi. Kesadaran tentang peran mereka tidak hanya timbul ketika mereka tidak ada, tetapi harus diintegrasikan dalam setiap aspek kebijakan dan praktik sosial di lingkungan perkotaan.
Pengakuan ini menuntut perubahan paradigma dalam pembangunan rumah tangga dan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih inklusif, di mana penghargaan terhadap peran reproduktif perempuan menjadi bagian integral dari strategi pembangunan manusia yang berkelanjutan.
Hal ini menuntut dialog kritis tentang nilai-nilai keperempuanan, keberagaman identitas, dan perlunya kebijakan pembangunan yang menghargai kontribusi ART sebagai fondasi utama kehidupan domestik. Dengan memahami peran mereka secara mendalam, kita dapat merancang suatu sistem yang tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjunjung tinggi keadilan sosial dan penghargaan terhadap kerja reproduktif yang selama ini dianggap remeh.
Dengan demikian, peran ART dalam rumah tangga modern harus dilihat sebagai elemen vital yang mengintegrasikan dimensi historis, antropologis, dan kultural dalam pembangunan masyarakat urban. Kesadaran kolektif tentang nilai mereka, terutama ketika ketiadaan mereka dirasakan begitu nyata pada masa Lebaran, seharusnya menjadi titik tolak untuk perubahan paradigma yang lebih adil dan responsif terhadap dinamika sosial gender.
Editor: Prihandini N