Membongkar Mitos Kebebasan Pekerja Freelance Digital

Yustika Wulan Rahmadiyanti

2 min read

Fleksibilitas kerja di era ekonomi digital tanpa disadari justru membuat pekerja menjadi rentan dan dirugikan. Meski menawarkan kebebasan dan kemandirian pekerja, fleksibilitas yang sering dijanjikan industri digital ini juga seringkali memunculkan berbagai bentuk ketidakpastian kerja seperti tidak adanya kontrak kerja yang jelas, pendapatan yang tidak stabil, perubahan kebijakan secara sepihak, serta absennya jaminan sosial dan perlindungan hukum dari pemberi kerja dan negara. 

Tidak seperti pegawai tetap, pekerja freelance di Indonesia pada umumnya masih tidak memiliki kontrak kerja. Kontrak kerja seringkali dilakukan secara lisan tanpa ada klausul perjanjian yang jelas antara pemberi dan penerima kerja. Tidak adanya kontrak kerja yang jelas ini, membuat pekerja freelance digital lebih rawan terhadap berbagai bentuk eksploitasi kerja.

Para freelancer digital, mulai dari desainer grafis, penulis, editor, hingga pekerja lepas lain di platform daring kerap menganggap diri mereka sebagai individu yang beruntung karena tidak terikat waktu dan tempat untuk bekerja serta memiliki kebebasan untuk memilih proyek untuk dikerjakan. Namun di balik itu, mereka harus menghadapi beban kerja yang tinggi dan berlebih, tenggat waktu yang ketat, serta tekanan untuk terus bersaing dengan pekerja lain demi mendapatkan proyek dengan upah yang seringkali tidak sepadan. Ketidakadilan juga sering dialami oleh pekerja freelance digital dalam bentuk ketidaksesuaian waktu tenggat pekerjaan dan keterlambatan pemberian upah yang telah ditentukan bersama sebelumnya.

Baca juga:

Survei dari SINDIKASI tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat 57% dari 1.645 pekerja freelance digital bekerja sebanyak lebih dari 40 jam perminggu. Hal tersebut terjadi karena orientasi dalam budaya kerja para freelance digital selalu terkait dengan target atau hasil pekerjaan, bukan pada proses yang dilewatinya. Oleh karenanya, pekerja digital cenderung bekerja dengan jam kerja yang panjang dan menormalisasi hal tersebut sebagai bentuk dedikasi dan passion mereka dalam bekerja. Kondisi ini juga membuat pekerja freelance digital tidak memiliki batasan-batasan kerja seperti waktu istirahat, jatah libur atau cuti yang dapat membuat pekerja lebih rentan dalam hal kesehatan dan keselamatan kerja.

Baca juga:

Selain beban kerja yang berat, pekerja freelance digital juga menghadapi tekanan ekonomi yang besar dengan tidak adanya upah minimum dan jaminan kerja yang membuat mereka semakin rentan terhadap fluktuasi pasar. Pendapatan per bulan yang tidak menentu, ditambah dengan biaya hidup yang terus meningkat, membuat mereka terus berada dalam persaingan kerja yang tiada akhir. Untuk memiliki daya tawar, pekerja freelance digital khususnya para pemula cenderung akan menurunkan tarif pekerjaan mereka agar mendapat perhatian dari penyedia kerja sebagai jalan meningkatkan portofolio mereka. 

Dalam lingkungan pekerja lepas, juga terdapat hierarki di antara pekerja digital. Pekerja dengan kualifikasi dan reputasi baik memiliki peluang lebih besar mendapatkan proyek dari perusahaan atau mereka yang membutuhkan jasa mereka. Oleh karena permintaan pasar yang tinggi dan keterbatasan sumber daya yang ada, pekerja freelance digital seringkali terpaksa membagi beberapa proyek kepada pekerja lain dengan upah yang lebih rendah. Sehingga para pekerja ini pada akhirnya terfragmentasi dan tereksploitasi dari sesama pekerja freelance digital itu sendiri.

Dalam kondisi rentan eksploitasi seperti ini, serikat kerja menjadi solusi utama. Dengan berserikat, pekerja freelance digital dapat memperjuangkan kebijakan yang lebih adil, seperti standar upah minimum, regulasi yang mengatur kontrak kerja yang tegas, serta jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Selain itu, serikat kerja juga dapat berfungsi sebagai wadah advokasi yang memberikan pendampingan hukum ketika terjadi sengketa antara pekerja dan pemberi kerja. 

Namun, membangun kesadaran untuk berserikat di kalangan pekerja freelance bukanlah hal yang mudah. Banyak dari mereka yang masih terjebak dalam pola pikir individualistik dan persaingan, sehingga sulit menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki kepentingan yang sama. Oleh karena itu, perlu adanya edukasi dan kampanye secara berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran kelas di kalangan pekerja digital agar mereka memahami bahwa serikat kerja bukan hanya untuk pekerja industri konvensional saja, melainkan juga bagi mereka yang bekerja dalam sistem ekonomi digital yang bebas. 

Negara semestinya memiliki peran penting dalam menciptakan regulasi yang melindungi hak-hak para pekerja digital. Namun, kebijakan ketenagakerjaan saat ini masih belum dapat mengakomodasi realitas dan kebutuhan para pekerja digital. Regulasi diperlukan untuk menentukan status hukum para pekerja freelance, sistem perpajakan yang lebih adil, serta akses terhadap jaminan sosial harus menjadi prioritas agar pekerja digital tidak terus-menerus berada dalam ketidakpastian.

Pada akhirnya, serikat kerja bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah kebutuhan bagi pekerja. Tanpa solidaritas dan organisasi yang kuat, pekerja freelance digital akan terus berada dalam posisi lemah dan tidak memiliki kendali penuh atas kondisi kerja mereka. Membangun serikat kerja bukan hanya tentang melawan eksploitasi, tetapi juga tentang menciptakan masa depan kerja digital yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua pekerja. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Yustika Wulan Rahmadiyanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email