Heartbreak Motel dalam Dua Ekspresi Kreatif

Mina Megawati

3 min read

Film Heartbreak Motel (2024) karya duet sutradara Angga Dwimas Sasongko dan penulis novel Ika Natassa sedang jadi perbincangan hangat di kalangan penikmat sineas dalam negeri. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama ini menggambarkan kompleksitas hidup manusia dalam labirin percintaan, karier, dan keluarga.

Ulasan ini saya tulis dari perspektif pembaca novel dan penonton film. Bukan untuk membandingkan, melainkan untuk mengeksplorasi penceritaan dan spektrum cerita yang mencakup berbagai aspek.

Sebagai seseorang yang telah membaca novel dan menonton filmnya, saya melihat karya ini dari dua sudut pandang berbeda. Pendapat saya mungkin berbeda dengan orang lain meskipun mereka juga membaca novel dan menonton filmnya. Bagi saya, cara kita menikmati dan meresapi karya seni tergantung pada apa fokus perhatian kita pada saat itu.

Baca juga:

Dalam Semesta Novel

Di novel ini, Ika Natassa membangun semesta cerita tentang Ava Alessandra (Laura Basuki), berkarier sebagai seorang aktris yang baru genap berusia tiga puluh tahun. Tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah, Ava kerap mempertanyakan banyak hal, termasuk mengapa ayahnya tidak pernah pulang—sebuah pertanyaan yang tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak mau, dijawab oleh ibunya secara jelas.

Ava tumbuh menjadi perempuan yang tampak kuat di luar, namun rapuh di dalam. Dia sangat sensitif terhadap isu jati diri, pengendalian emosi, dan keinginan kuat untuk merasa dicintai. Muatan masalah itu hadir berkat trauma pengasuhan sejak kecil dan hubungan toksik dengan kekasihnya.

Bagi saya, momen paling sentimentil adalah ritual rutinnya—menyepi di sebuah hotel selama beberapa pekan untuk melepaskan diri dari peran atau karakter yang ia mainkan dalam film. Sebuah tempat yang kemudian disebut Heartbreak Motel.

Salut atas cara Ika meramu sudut pandang cerita yang membuat saya benar-benar terbenam dalam alur cerita, seolah-olah saya sedang menyaksikan Ava berjibaku dengan dirinya sendiri di dalam kamar hotel, menangis, meringkuk di bawah air yang mengalir, merasa asing saat menatap cermin, dan tidur dalam waktu lama. Semua itu untuk satu tujuan: agar dia kembali ke dirinya sendiri, kembali ke Ava yang utuh. Dari situ terlihat Ika Natassa memiliki pemahaman mendalam tentang bagaimana hiruk-pikuk hidup seorang aktris, bagaimana upayanya bisa tetap waras setelah memainkan berbagai peran yang sangat berbeda atau bahkan keluar dari dirinya sendiri.

Mengutip kata Christine Hakim, seorang aktris senior yang telah berkarir lebih dari 50 tahun, “Actress has to be smart, kalau nggak, dia bisa sinting. Jadi diri sendiri aja susah, apalagi mesti berperan jadi orang lain.” Kecerdasan aktris terlihat jelas dalam kemampuannya menyelami peran, menghidupkan karakter demi kebutuhan cerita, lalu kembali menjadi dirinya sendiri setelah kisah tersebut selesai.

Dengan kemampuan storytelling-nya yang luwes, Ika Natassa membawa pembaca menyelami filosofi hidup dengan cara yang ringan dan menyenangkan tanpa terbebani oleh teori-teori rumit. Novel ini adalah pilihan tepat bagi mereka yang mencari kekuatan untuk keluar dari situasi dilematis demi mencapai keseimbangan dalam hidup.

Dalam Layar

Di film ini, Angga Sasongko dan Alim Sudio sebagai penulis skenario memfokuskan cerita pada kompleksitas hidup perempuan yang terjebak dalam luka masa kecil dan hubungan toksik. Di sana digambarkan bagaimana Ava berjuang di antara trauma pengabaian masa lalu dan hubungan kompetitif serta pamrih dengan kekasihnya. Memiliki pasangan yang suka bersaing kadang bisa menguntungkan, tetapi juga bisa menjadi bumerang.

Kata Henry Manampiring dalam bukunya, The Alpha Girl’s Guide, perempuan Alpha lebih memilih hubungan yang setara—sebuah hubungan yang sehat tanpa kekerasan fisik atau verbal. Bagi Om Piring, seorang Alpha Girl harus mampu bertindak ketika berada dalam hubungan beracun. Ava mungkin termasuk perempuan Alpha, namun ada sebagian dari dirinya masih terbelenggu trauma.

Sayangnya, tidak semua perempuan berani bersuara dan berusaha keluar dari hubungan toksik. Contohnya, Dini Sera Afrianti, seorang TikToker, yang harus kehilangan nyawanya akibat dianiaya kekasihnya.

Angga Sasongko konsisten memvisualisasikan bagaimana Ava kesulitannya meregulasi emosi dan panic attack-nya setiap kali ada scene yang menghadirkan trauma masa lalunya. Satu kondisi itu masih diperjuangkan Ava meskipun dia sudah berusaha berobat ke terapis. Nyatanya, menyadari inner child, menerima, lalu memaafkan diri sendiri perlu waktu yang panjang atau mungkin jadi perjalanan seumur hidup.

Di film berdurasi 115 menit dengan sinematografi mutakhir ini, Angga Dwimas tampaknya ingin menyampaikan pesan bahwa meskipun kita memiliki masa lalu yang penuh trauma dan tidak dapat diubah, tapi kita tetap memiliki pilihan untuk tidak terjebak dalam keadaan itu dalam kurun waktu lebih lama dan melakukan upaya-upaya untuk keluar dari situasi yang merugikan.

Baca juga:

Pertemuan di Muara Cerita

Dalam setiap novel yang diadaptasi ke layar lebar, saya belajar banyak hal tentang kekayaan sudut pandang penceritaan sebuah karya seni. Bagaimana seorang pembaca menafsirkan suatu cerita saja bisa kompleks dan berbeda, apalagi ketika sebuah karya beralih media dan bentuk dari tulisan ke audiovisual.

Pembaca novel harus berani membuka diri. Adaptasi film bisa menambah sudut pandang baru atau menyoroti aspek tertentu dari cerita yang tidak terlalu diperhatikan dalam novel, juga memberikan wawasan baru tentang cerita atau karakter. Kadang-kadang, film perlu melakukan perubahan pada plot untuk mengadaptasi struktur novel yang lebih panjang menjadi waktu tayang yang lebih singkat. Ini bisa menciptakan twist baru atau menghilangkan elemen yang kurang penting.

Seperti kata sutradara muda Kamila Andini dalam satu sesi obrolan, novel dan film memiliki perjalanan uniknya masing-masing. Mereka bukan untuk dibandingkan, tetapi untuk dihargai sebagai ekspresi kreatif yang berbeda.

Jadi, mari kita sambut proses adaptasi dengan pikiran terbuka. Sebab, dalam setiap perubahan media, terdapat peluang untuk menemukan perspektif baru dan menambah kekayaan pemahaman kita tentang sebuah karya.

 

Editor: Emma Amelia

Mina Megawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email