Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing. Trigatra Bangun Bahasa yang dijadikan semboyan oleh Badan Bahasa itu saya kira sudah cukup bijak sebagai misi kebahasaan di tanah air, demi terwujudnya interaksi sosial yang harmonis, pun kehidupan berbudaya yang dinamis. Sayangnya, misi tersebut tidak berbanding lurus dengan apa yang diterapkan oleh para pengguna bahasa itu sendiri.
Pola pikir manusia terus bergulir seiring perkembangan zaman. Termasuk bagaimana seharusnya kita berbahasa atau cara kita memperlakukan bahasa. Maka terjadilah simpang siur ragam jenis bahasa yang tampak “ugal-ugalan”, sehingga patut dipertanyakan ulang kedudukannya dalam realitas sehari-hari, manakah jenis bahasa yang memang sepantasnya diutamakan, dilestarikan, dan dikuasai.
Namun, kita kurang memperhatikan itu. Atau bisa jadi tidak mau peduli. Satu hal yang terpenting bagi kita adalah tidak boleh ketinggalan tren, dari segi apa pun. Sebab itulah barangkali, sebagai alat komunikasi, bahasa yang mereka gunakan juga harus tampak lebih keren. Tetapi mereka lupa bahwa bahasa bukan semata alat komunikasi, melainkan juga produk budaya yang menunjukkan identitas suatu bangsa atau daerah.
Penguasaan kita terhadap bahasa daerah belum maksimal, tapi kita mulai membiasakan berbahasa Indonesia dengan orang yang satu suku dengan kita. Bahkan kita mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak kita sejak dini, sejak balita.
Di Madura misalnya, tak jarang saya dapati anak kecil memanggil “papa-mama” atau “ayah-bunda” kepada orangtuanya, alih-alih panggilan eppa’-emma’ sebagai bahasa Madura tulen. Jika generasi muda sudah terbiasa berbahasa Indonesia tanpa diimbangi pembelajaran bahasa daerah secara intens, bukan tidak mungkin bahasa daerah benar-benar tertinggal sebelum akhirnya punah.
Dalam esainya yang bertajuk Madura, Pulau yang Tak Lagi Asin, A. Dardiri Zubairi menyayangkan papan nama dan penunjuk jalan di Madura yang sama sekali tidak menawarkan simbol-simbol kebudayaan Madura. Ia merasa asing di daerahnya sendiri. Ia berharap—di samping menggunakan bahasa Indonesia—bahasa daerah juga dicantumkan di papan nama dan penunjuk jalan agar orang luar dapat mengenal bahasa Madura sebagai pintu masuk memahami kebudayaan Madura (Politik Agraria Madura, halaman 76-77). Dalam hal ini Jogja dapat dijadikan contoh. Aksara caraka sebagai warisan budaya lokal turut disertakan dalam penulisan nama-nama jalan di kota itu.
Jika kasus yang berskala kecil semacam itu sudah jadi persoalan serius bagi seorang budayawan seperti A. Dardiri Zubairi, apalagi penggunaan bahasa Inggris yang kian digilai oleh sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan dijunjung tinggi oleh mereka yang mendaku penggiat literasi. Faktanya dapat kita lihat pada nama acara-acara pertemuan antar penulis di Indonesia. Padahal, para pesertanya adalah warga Nusantara sendiri. Apa pun alasannya, kata Holy Adib, penyelenggaranya telah melecehkan bahasa Indonesia dan membangkang undang-undang (Pendekar Bahasa, halaman 111).
Kalaupun ada acara yang mendatangkan peserta dari luar negeri, dan memang dirancang untuk bertaraf internasional, tidak lantas menjadi suatu kewajiban agar menamai acara itu dengan bahasa Inggris.
Hemat saya, tetaplah memakai dan membanggakan bahasa nasional kita sendiri di hadapan para tamu asing. Biarlah mereka yang mencoba memahaminya dan menghargai sikap kita sebagai tuan rumah. Itu jauh lebih bermartabat ketimbang bersikeras memakai bahasa Inggris, apalagi sampai mengagungkannya. Karena jika tetap mau mengotot, kesan yang paling gamblang adalah, seolah-olah kitalah tamunya. Kerdil dan asing.
Implementasi narsisisme bahasa Inggris juga mudah kita temukan dalam ruang gerak kita sehari-hari. Terutama di kalangan masyarakat urban yang selalu menempati garis terdepan dalam menerima sekaligus mengalami kemajuan. Lantaran apa-apa sudah serba maju, bahasa pun harus tampil spektakuler. Mereka gemar mengoplos bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris saat berbicara, lebih-lebih di forum resmi. Alih-alih disebut kemajuan berbahasa sebagai bagian dari kecakapan intelektual, justru mereka membuat bahasa Indonesia berjalan mundur. Atau, merekalah yang ingin mengundurkan diri darinya?
Sementara menurut Iqbal Aji Daryono, tidak ada budaya yang benar-benar asli dan steril dari pengaruh budaya lain. Demikian pula bahasa, terlebih lagi bahasa Indonesia. Sebagaimana judul esainya, Buat Apa Takut Imperialisme Bahasa?
Sikap Iqbal di sini agaknya tenang-tenang saja menghadapi oplosan bahasa. Akan tetapi, masalahnya bukan hanya soal saling memengaruhi atau serap-menyerap kosa kata. Melainkan mengarah pada penguasaan bahasa Inggris terhadap (jati diri) kita. Toh di paragraf yang lain, Iqbal melontarkan pertanyaan retorik, kenapa tidak memilih takut saja kepada penjajahan bahasa?
Nah, jika kebiasaan berbahasa Inggris terus dilancarkan tanpa kendali, sedangkan kecintaan pada bahasa Indonesia makin memudar, bukankah “penjajahan bahasa” sudah dimulai?
Di kota kecil pun seperti Sumenep, ekspresi bahasa Inggris kian ditajamkan. Saban hari, mau tak mau warga harus dihadapkan dengan bahasa Inggris, baik secara audio maupun tekstual. Bukti yang paling kentara bisa ditemui di depan Taman Bunga Sumenep serta di depan kantor Pemkab Sumenep. Di sana moto Kota Sumenep dipancangkan: The Soul of Madura. Selain itu, di sebuah pulau kecil yang ada di Sumenep, di depan kantor Kecamatan Talango juga terpancang moto berbahasa Inggris: The Pearl of Sumenep.
Tentu kita sepakat, moto sebuah kota/kecamatan dengan tulisan besar dan estetik, merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi seluruh penduduknya karena mencerminkan ciri khas yang dimiliki kota/kecamatan itu. Tapi kenapa harus bahasa asing yang dipakai?
Melihat fenomena itu, saya terus bertanya-tanya, sedemikian bangganya masyarakat lokal kepada bahasa Inggris? Apakah mereka akan merasa minder jika lebih mengunggulkan bahasa Indonesia ataupun bahasa ibu yang sebenarnya sangat baik untuk dipamerkan?
Mestinya, bahasa Inggris sebagai bahasa dunia, dimaknai sebagai sesuatu yang sifatnya mengglobal sehingga tidak bisa diwakili oleh bahasa kita sendiri. Dengan kata lain, penggunaannya memang sangat dibutuhkan sesuai kondisi dan tepat sasaran. Bukan karena gengsi-gengsian atau sekadar ingin diakui sebagai pribadi yang genius. Oleh karenanya kita harus sadar diri dan rajin mengontrol pola pikir kita. Supaya kita (lebih) bijak dalam memilih dan menggunakan bahasa demi kemaslahatan bersama, juga demi memperkokoh karakter bangsa. Bukan malah ikut-ikutan menjajahnya.
***
Editor: Ghufroni An’ars