Bisakah anak-anak Indonesia diajarkan untuk menghargai proses belajar, bukan sekadar dituntut mendapatkan hasil akhir terbaik tanpa menyadari betul tahap demi tahapan yang mereka lalui?
Dua puluh tahun lalu, ketika saya duduk di bangku sekolah dasar, saya masih ingat benar bagaimana rasanya ketika hari ambil rapot tiba. Rasa cemas membuat badan panas dingin ketika menunggu nilai dan ranking keluar. Saya pernah merasa patah hati ketika di kelas enam SD terlempar dari lima besar. Walaupun selama satu semester itu banyak sekali pengetahuan dan pengalaman yang saya serap di sekolah, ketika melihat nama saya tidak ada di urutan lima besar, saya merasa gagal.
Padahal kegagalan itu juga dipengaruhi karena saya sakit cacar saat ulangan akhir caturwulan diadakan. Namun, saya tetap merasa sedih karena saya begitu terobesesi dengan nilai rapot dan ranking. Obsesi seperti ini bukan hanya ada dalam pikiran saya, tetapi juga teman-teman saya. Akibatnya mencontek menjadi hal yang biasa dan sulit diberantas karena murid akan melakukan apa saja demi nilai bagus. Setiap satu metode mencontek berhasil ditemukan guru, murid akan semakin kreatif untuk menemukan cara curang yang lain.
Hingga akhirnya saya naik ke kelas tiga SMA dan harus bertemu dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang menjadi momok bagi murid, orang tua, dan sekolah. Untuk persiapan menghadapi UAN, hampir setiap anak ikut bimbingan belajar di luar sekolah, belum lagi di rumah masih diminta orang tua mengerjakan kumpulan soal UAN yang banyak dijual di toko buku. Di sekolah pun murid masih dijejali dengan kumpulan soal tipe UAN. Di televisi sudah banyak kabar anak-anak yang stres karena takut tidak lulus, sebab kalau tidak lulus murid harus ujian perbaikan atau mengulang belajar di kelas tiga. Anak-anak yang tidak bisa lulus itu dicap sebagai anak yang gagal. Sedemikian berat tekanan yang didapatkan siswa dalam menghadapi UAN. Sayangnya dalam perjalanannya di banyak sekolah, evaluasi nasional ini malah meniadakan banyak nilai penting.
Baca juga:
Hampir setiap tahun, di media televisi dan koran, selalu ada laporan kecurangan di banyak sekolah yang sayangnya malah dirancang oleh tenaga pendidik. Demi semua anak lulus dan mendapat nilai bagus, banyak sekolah menjadi panitia dalam aksi mencontek masal. Hilang sudah esensi dari yang sudah dienyam murid selama bertahun-tahun. Tak perlu lagi kita kaget dengan angka korupsi yang kian tahun kian meningkat karena bibit korupsi sudah ditanamkan sejak bangku sekolah.
UN tidak saja menyebabkan aksi mencontek massal, tetapi juga mengancam kesehatan fisik dan mental anak. Banyak anak yang tidak lulus memutuskan bunuh diri. Karena apa? Karena perjuangan dalam proses belajar murid yang dilakukan selama bertahun-tahun tak masuk dalam penilaian akhir yang menentukan kelulusan. Kelulusan hanya ditentukan oleh satu nilai akhir tanpa melihat nilai-nilai lain yang didapatkan anak selama tahapan sekolah sebelumnya.
Sudahkah Dunia Pendidikan Lebih Baik?
Sudah hampir dua puluh tahun berlalu, rasa cemas yang sama kembali dalam hati saya walau dalam peran yang berbeda. Kali ini saya hadir dalam kegiatan rapotan sebagai orang tua yang mengambil rapot anaknya. Saya dan anak saya sama-sama bersekolah di sekolah swasta yang menggunakan kurikulum nasional.
Kabar baiknya, sistem pendidikan pada zaman anak saya sekolah sudah banyak berubah. Sekolah sudah menyesuaikan perkembangan zaman, tetapi masih banyak hal filosofis yang jalan di tempat. Perkembangan baik yang saya rasakan adalah ketika sistem ranking dihapus. Di dalam rapot juga tidak hanya ada angka, tetapi juga penjelasan tentang kemampuan anak dalam setiap bidang studi.
Tentu saja perkembangan ini patut diapreasiasi, walaupun sepenglihatan saya, angka dalam rapot tetap lebih penting daripada penjelasan panjang lebar tentang pengetahuan anak. Fokus pada angka ini membuat penjelasan yang ada di sebelahnya menjadi tidak begitu penting baik bagi guru dan orang tuanya dalam menjabarkan kemajuan anak. Nilai anak bisa sama, tetapi prosesnya bisa berbeda-beda, penghargaan terhadap proses ini belum terlalu ditekankan.
Realita yang ada sekarang, kebanyakan anak belajar untuk mengantisipasi soal-soal yang ada di kertas. Anak jadi tak punya keinginan untuk mengeksplorasi ilmu yang lebih luas dan dalam karena lebih fokus pada soal ulangan dan nilai akhirnya.
Di banyak kota besar seperti Jakarta, bimbingan belajar juga menjadi penyongkong sistem pembelajaran yang kebanyakan menjadi bank soal. Di dalam bimbingan belajar itu anak-anak dipacu untuk mengerjakan soal yang biasa dikeluarkan oleh sekolah mereka. Bahkan ada beberapa anak yang pada akhirnya hanya menghafal dari soal-soal tanpa memahami koteks dan konsep besarnya.
Dengan tujuan belajar yang demikian, jika pada akhirnya anak belajar materi yang tak keluar di ulangan, ia akan merasa apa yang ia pelajari sia-sia. Padahal, apakah ada pengetahuan yang diserap menjadi kesia-siaan? Lalu semua pengetahuan yang ia dapatkan hanya demi mengerjakan soal ujian itu hilang beberapa saat kemudian, tergantikan dengan materi ujian berikutnya karena rasa penasarannya tidak tersentuh oleh pengetahuan yang ia serap. Tak ada waktu untuk mendalami rasa penasaran karena masih banyak soal yang harus dikerjakan.
Perlunya Evaluasi
Evaluasi harus tetap ada. Saya tidak setuju dengan keputusan Mentri Pendidikan, Nadiem Makarin yang menghapuskan Ujian Nasional (UN). Peniadaan UN hanyalah jalan pintas untuk keluar dari masalah yang ditimbulkan saat itu. Padahal UN adalah puncak evaluasi nasional yang sangat baik untuk pemetaan kondisi belajar anak dari Sabang sampai Merauke.
Baca juga:
Dari hasil UN, pemerintah bisa melihat, sekolah dan daerah mana yang harusnya bisa menjadi titik perhatian serta menjadi percontohan untuk sekolah lain yang masih tertinggal. Melalui hasil UN, pemerintah juga bisa melihat kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan kita secara keseluruhan.
Hal yang harus dibenahi adalah model evaluasi. Pemerintah harus bisa membuat sistem penilaian yang lebih komprehensif sehingga anak bisa dinilai dengan lebih utuh dan adil. Ketika anak menimba ilmu di sekolah, sebenarnya ia bukan saja mempelajari kata-kata dan soal-soal yang ada di buku ajar. Ia juga belajar menyelesaikan masalah, belajar berjuang, mandiri, dan bersosialisasi. Kemampuan-kemampuan tersebut sama pentingnya dengan pengetahuan yang ada di buku ajar. Semua potensi anak harusnya terevaluasi dengan baik sehingga ia bisa tahu kelebihan dan kekurangannya secara penuh untuk bekalnya menjadi manusia dewasa.
Sekolah harus jujur dan adil melakukan penilaian ini sehingga sekolah bisa benar-benar menelurkan anak yang sudah siap terjun ke masyarakat. Dengan metode evaluasi yang menyeluruh dan sistem pembelajaran yang mengedepankan proses yang tepat, anak-anak yang lulus adalah mereka yang sudah siap memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Editor: Prihandini N