Saat saya kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan beberapa tahun lalu, tidak ada satu pun dosen atau guru besar yang memperkenalkan ajaran-ajaran Paulo Freire pada kami, mahasiswa keguruan. Bagi dosen dan guru besar pendidikan, sepertinya ajaran-ajaran Paulo Freire dianggap berbahaya.
Ajaran intelektual organik asal Brazil ini seolah-olah menjadi momok seram yang harus ditutup-tutupi atau bahkan dihilangkan. Seolah-olah akan ada revolusi berdarah di Bumi Pertiwi jika ada dosen yang mengajarkan pikiran-pikiran Paulo Freire
Namun, apakah benar asumsi demikian? Apakah Freire seorang radikal yang mengajarkan pemberontakan? Apakah dengan menekuni pikiran-pikirannya akan menimbulkan gejolak sosial? Mari kita buktikan seberapa relevan dugaan-dugaan tersebut.
Baca juga:
Berlatar Kiri dan Kritis
Disadari atau tidak, ajaran-ajaran Freire didasarkan pada paradigma kiri yang kritis dan antikemapanan. Kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh latar belakang Freire yang memilukan. Walaupun ia berasal dari kalangan menengah Brazil, Freire muda hidup dalam keprihatinan.
Ia pernah merasakan perihnya hidup miskin. Saat depresi ekonomi melanda dunia pada tahun 1929, perekonomian keluarga Freire ikut terkena dampak. Keluarga Freire terlunta-lunta dalam kelaparan dan kemiskinan. Terlebih, ayahnya juga meninggal saat Freire baru berusia 10 tahun.
Kemiskinan dan kelaparan yang dialami Freire kecil, berbalik menjadi motivasi besarnya untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Ia curiga ideologi kapitalisme bukan saja mampu membuat resesi ekonomi secara berulang, tetapi juga menjadi sumber kehancuran dunia.
Kecurigaan yang diwarnai kecaman ini tertuang dalam buku berjudul Sekolah Kapitalisme yang Licik terbitan IRCiSoD (1998). Dalam pembukaan buku ini bertaburan kutipan-kutipan kritis Freire yang secara tegas bersitegang dengan Kapitalisme. Freire Menulis:
“Saya teringat tahun 1960. Kala itu, di seluruh dunia anak-anak muda memberontak tanpa mengorganisasikan diri. Saya juga teringat, ketika itu komunikasi antaruniversitas di dunia tidak ada, sehingga kelompok-kelompok dominan sangat mudah menekan gerakan-gerakan di seantero dunia.”
Latar belakang ideologi kiri sekaligus kritis itu jelas bertentangan dengan paradigma mapan pemerintah dan lembaga tinggi pendidikan. Apalagi kita juga pernah punya trauma sejarah tentang ideologi kiri. Hasilnya sudah bisa ditebak, ajaran-ajaran Freire tentang falsafah pendidikan yang membebaskan dihilangkan atau minimal dikerdilkan dan dimanipulasi.
Penghilangan ruh dan manipulasi ajaran-ajaran Freire ini bisa dilihat dalam beberapa kasus nyata. Saat mantan aktivis yang terkenal kritis kembali ke kampus sebagai dosen, ia hanya mau mengajarkan sisi-sisi teknis dari pikiran-pikiran Freire.
Konsep pendidikan gaya bank yang menjadi salah satu pokok pikiran Freire di buku Pendidikan Kaum Tertindas (1985) direduksi hanya sebatas kritik pada metode mengajar guru. Guru tidak boleh menceramahi siswa. Guru juga tidak boleh menjadi pusat pembelajaran. Alasannya sangat teknis. Siswa bukan kertas kosong yang hanya menerima informasi. Siswa sudah dianugerahi bakat-bakat bawaan yang harus dikembangkan dan dioptimalkan.
Di sisi lain, sifat otoritarianisme pendidikan sengaja diabaikan. Relasi kuasa antara sistem pendidikan dan pemerintah juga ditutup-tutupi. Seolah-olah ideologi pendidikan yang diajarkan Freire bersifat netral. Seolah-olah pendidikan hanya diberi mandat mencerdaskan tanpa adanya motif terukur untuk melanggengkan kekuasaan.
Baca juga:
Penyelewengan ajaran Freire ini konyol sekaligus mencengangkan. Freire yang ingin menjadikan pendidikan sebagai bagian dari gerakan emansipatoris dipaksa berubah untuk memenuhi ambisi kekuasaan. Freire yang progresif juga direduksi menjadi tokoh konservatif yang menjadi bagian dari upaya pelanggengan kekuasaan.
Paradigma Kesadaran
Gagasan-gagasan kiri progresif yang menjadi titik tolak falsafah pendidikan Freire membuatnya berpikiran radikal. Menurutnya, tujuan dasar pendidikan bukan hanya mencerdaskan siswa, tapi juga merangsang tumbuhnya kesadaran mereka. Siswa harus sadar adanya relasi tersembunyi antara struktur ekonomi, struktur politik, dan kenyataan hidup sehari-hari.
Kesadaran ini akan sangat berpengaruh pada sifat, karakter, serta mentalitas siswa secara pribadi maupun kelompok. Sekelompok siswa di kelas yang telah sadar adanya penindasan memiliki dua pilihan. Pertama, mereka bisa memilih pasrah pada nasib, menganggap pendindasan sebagai bagian dari takdir dan hukum alam. Kedua, mereka memilih berjuang dan membebaskan diri dari penindasan.
Pilihan ini terasa sulit bahkan pahit. Namun kesadaran kritis mereka pada kenyataan membuat mereka bertindak transformatif. Penindasan yang ada bukan diterima sebagai takdir, tapi dijadikan acuan untuk mengubah nasib. Dengan begitu nasib diperjuangkan secara aktif bukan disyukuri secara pasif.
Sistem kekuasaan yang menindas harus dihancurkan. Bukan untuk melahirkan penguasa baru dari kalangan tertindas, tetapi untuk memberikan jaminan kebebasan pada semuanya. Sisi humanis Freire ini membedakannya dari para ideolog-ideolog pendidikan kiri lain yang lebih radikal.
Paradigma liberal dari ideologi pendidikan kapitalis Indonesia telah membuat Freire menjadi tokoh yang dianggap berbahaya. Ajaran-ajaran Freire bukan hanya menyajikan kesadaran bersifat sosialistis, tapi juga berbahaya bagi langgengnya kekuasaan status quo. Untuk itulah ajaran Freire pantas dihilangkan, direduksi, atau dikerdilkan.
Editor: Prihandini N