Aku adalah seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang. Sudah jadi kebiasaan bagiku untuk menghabiskan waktu di berbagai kafe sekitar kota ini—bukan sekadar mencari kafein, tapi juga ruang untuk berpikir. Duduk diam sambil menatap kosong ke arah pepohonan, sawah atau bahkan jalanan, aku sering membiarkan pikiranku mengembara pada hiruk pikuk realitas sosial di negeri ini. Tentang kekuasaan, ketimpangan, dan bagaimana semuanya seperti terus berulang dalam siklus yang menjenuhkan.
Sore itu aku sudah lebih dulu nongkrong di kafe bersama seorang teman dekat. Kami ngobrol santai, membahas hal-hal ringan, kadang serius, seperti biasanya. Hingga sebuah telepon masuk dari senior organisasi. Katanya ingin ngobrol, jadi aku tak berpikir macam-macam.
Baca juga:
Dalam bayangku setibanya di lokasi berharap hanya ingin menyesap kopi sembari tertawa ringan bersama senior yang sudah lama tak kutemui. Tapi sesampainya di sana, ternyata tujuannya bukan sekadar mengobrol. Kami dipanggil untuk ikut meramaikan tempat, karena seorang politisi—anak presiden, tepatnya—akan datang malam itu. “Kita ramein tempat dulu, ya. Katanya Kaesang mau datang,” bisik senior itu, setengah bangga, setengah berbisik seperti menyampaikan sesuatu yang suci. Seolah kehadiran Kaesang itu adalah anugerah. Seolah dengan datangnya dia, kami semua mendapat kehormatan untuk menjadi latar belakang dari postingan Instagramnya nanti.
Di malam itu suasana mendadak berubah. Tempat yang biasa dipenuhi obrolan santai, kini menjadi semacam panggung politik informal. Tak ada baliho, tapi ada kamera. Tak ada janji kampanye, tapi ada senyum basa-basi yang seolah berkata, “Lihat aku, aku seperti kalian.”
Padahal tidak.
Kaesang bukan seperti kami. Dia lahir dari nama besar. Dari privilese. Dari mesin politik yang sudah terbangun sejak sebelum dia punya mimpi sendiri. Dan malam itu, kami—mahasiswa dan pengunjung kafe—seakan hanya ada untuk meyakinkan dunia bahwa politik dinasti bukan masalah, bahwa semua bisa cair, asik, dan santai. Aku melihat wajah-wajah yang berubah. Teman-teman yang biasanya kritis, kini ikut menyambut, menyapa, bahkan memuji. Aku tak menyalahkan mereka. Siapa yang tidak silau dengan kuasa yang turun langsung tanpa pengawalan berlebihan?
Kaesang bukan sekadar politisi. Dia adalah simbol. Simbol dari segala hal yang membuatku muak belakangan ini. Tanganku gemetar, bukan karena hembusan angin malam Kota Malang. Tapi karena sesuatu yang ingin kulontarkan—kata-kata? Gelas? Bangku? Atau mungkin sekadar pandangan dingin yang tak berani disuarakan.
Aku duduk di sudut, membiarkan asap rokok dari meja sebelah menyusup ke ruang pikiranku yang sesak. Di depanku, cangkir kopi sudah mulai dingin. Suara tawa makin ramai, dan kilatan kamera mulai memenuhi ruangan seperti sedang menyambut pahlawan perang yang baru pulang. Padahal, yang datang hanyalah seorang pewaris. Tak lebih, tak kurang.
Aku mengamati dia dari kejauhan. Senyumnya lebar, bajunya rapi, gesturnya penuh percaya diri. Dia tak terlihat sombong. Tapi justru di situlah letak kecemasanku. Betapa mudahnya kekuasaan membaur, menyamar menjadi keramahan. Ada dorongan dalam diriku, sesuatu yang liar dan belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku ingin berdiri, berjalan ke arahnya, dan mengatakan sesuatu—apa saja. Tentang ayahnya. Tentang negeri ini. Tentang bagaimana kekuasaan diwariskan seolah ia pusaka, bukan amanah. Tapi aku tahu, aku hanya akan menjadi bahan tertawaan atau mungkin malah diamankan, lalu keadaan dinetralisir dengan narasi.
Baca juga:
Tanganku merogoh saku. Sebatang rokok kugenggam, nyaris kupantik. Tapi tak jadi. Entah kenapa, aku merasa tak pantas menyalakannya saat itu. Seperti ada kesia-siaan dalam membakar sesuatu, sementara yang benar-benar terbakar adalah harga diriku sendiri. Teman-temanku mulai ikut menyapa dia, berfoto, bahkan ada yang menawarkan kopi gratis. Aku tetap di tempatku, menonton, membisu dan hanya kurekam semuanya di dalam kepala.
Aku pulang lebih awal malam itu. Tanpa pamit. Tanpa menyentuh kopiku yang tinggal setengah. Tapi dengan kepala yang masih sesak dengan berbagai pertanyaan.
Aku berjalan keluar tanpa menoleh. Langkah-langkahku terasa berat, bukan karena tubuh, tapi oleh kenyataan bahwa realitas kadang lebih fiktif dari kisah fiksi. Dunia di dalam kafe itu tak ubahnya panggung sandiwara, dan kita—aku, teman-temanku, bahkan mungkin si politisi itu sendiri—tak lebih dari aktor yang lupa sedang bermain peran.
Dan di luar sana, kehidupan berjalan seperti biasa. Tukang parkir masih teriak-teriak, ojol masih menatap layar HP mencari pesanan selanjutnya, dan mahasiswa-mahasiswa lain mungkin masih tertawa di kafe lain, tak tahu atau tak peduli apa yang terjadi beberapa blok dari tempat mereka duduk. Aku sampai di kamar kos dengan perasaan aneh. Ada kemarahan, ada kecewa, tapi juga… hampa. Seperti sudah terlalu sering merasa marah sampai rasanya jadi biasa. Aku rebahan, menatap langit-langit yang retaknya seperti sistem negara yang tak pernah diperbaiki.
Editor: Prihandini N