Kekerasan seksual bukan sekadar penyimpangan moral individual, melainkan manifestasi dari relasi kuasa yang terstruktur dan dilembagakan dalam kehidupan sosial. Ia mengintai di ruang akademik, institusi keagamaan, layanan kesehatan, hingga aparat penegak hukum—ruang-ruang yang seharusnya menjamin keamanan, justru menjadi arena dominasi yang meniadakan batas etis dan hukum.
Tubuh Perempuan sebagai Objek Kuasa
Kasus Edy Meiyanto, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, menunjukkan bagaimana otoritas akademik dapat digunakan untuk menciptakan relasi timpang dan membungkam suara korban. Relasi bimbingan, yang seharusnya menjadi medium pertumbuhan intelektual, berubah menjadi perangkat kontrol, di mana status sosial digunakan untuk melakukan kekerasan seksual secara berulang terhadap mahasiswa dari berbagai jenjang. Dalam perspektif Meier dan Blum (2019), kekuasaan semacam ini tidak hanya bersumber dari struktur formal, tetapi juga tumbuh dalam hubungan interpersonal yang memungkinkan manipulasi melalui janji atau ancaman.
Baca juga:
- Perempuan dalam Siklus Kekerasan Seksual
- Kekerasan Seksual: Melawan Kriminalisasi dengan Solidaritas
Nelson & Quick (dalam Rahmasari, 2016) menjelaskan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, dan hanya dapat bekerja secara efektif ketika hadir dalam suatu relasi. Relasi kuasa sendiri bisa terbentuk di berbagai ruang, termasuk yang dianggap profesional dan netral. Foucault (2002) menggambarkan relasi kekuasaan tidak bekerja melalui instruksi tunggal, melainkan hadir dalam bentuk tindakan atas tindakan lainnya—membentuk jejaring kontrol yang tersembunyi dalam relasi sosial sehari-hari. Salah satu ciri khasnya adalah sifat represif, yakni membuat seseorang tunduk pada kehendak pihak lain—baik secara sukarela atau pun karena tekanan.
Lebih lanjut Foucault (1980) menjelaskan bahwa kekuasaan dan pengetahuan tidak berdiri sendiri. Keduanya saling menopang dalam membentuk realitas sosial, menjadikan pengetahuan sebagai instrumen dominasi yang tampak netral tapi sarat kuasa. Ia hadir di setiap titik relasi sosial—bukan karena melingkupi segalanya, melainkan karena ia terus-menerus diproduksi dalam interaksi antar manusia.
Realitas ini tercermin dari data pengaduan yang diterima oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang mencatat bahwa kekerasan di ranah publik masih tergolong tinggi, yakni mencapai 1.276 kasus, dengan kekerasan seksual sebagai bentuk yang paling dominan.
Lingkungan pendidikan menjadi salah satu tempat banyak terjadi kasus kekerasan seksual. Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023 menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam jumlah kasus kekerasan di lembaga pendidikan, yakni dari 12 kasus pada tahun sebelumnya menjadi 37 kasus. Bentuk kekerasan seksual yang terdokumentasi mencakup pencabulan, percobaan pemerkosaan, pelecehan verbal, hingga kriminalisasi terhadap korban.
Fenomena serupa juga terjadi di institusi profesional dan penegakan hukum. Salah satu kasus yang kini menjadi sorotan publik adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh Priguna Anugrah Pratama, dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran, terhadap pasien perempuan di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dalam kasus ini, pelaku memegang kendali penuh atas ruang, waktu, dan tubuh korban, menciptakan relasi kuasa yang sangat asimetris. Tindakannya dilakukan dengan perencanaan matang: korban terlebih dahulu dibius sebelum diperkosa, dan pelaku sebelumnya memanipulasi proses medis dengan mengarahkan korban untuk menjalani tes darah seolah-olah itu prosedur standar rumah sakit.
Tak kalah mengkhawatirkan adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kasus Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, misalnya, menunjukkan betapa otoritas hukum dapat disalahgunakan secara brutal. Ia terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap empat korban yang berusia antara 6 hingga 20 tahun. Kejahatan ini tidak hanya mencakup pelecehan, tetapi juga perekaman, penyimpanan, pengunggahan, hingga penyebarluasan video kekerasan seksual. Dugaan penggunaan obat penenang untuk melumpuhkan korban semakin memperkuat indikasi bahwa tindakannya dilakukan secara sistematis dan terencana.
Simbol Religius dan dan Kekerasan Seksual
Di ranah keagamaan, kekerasan seksual bersembunyi di balik jubah kesalehan dan otoritas moral. Kasus yang menjerat Moch Subchi Atsal Tsani (MSAT), atau Bechi, mengungkap sisi gelap bagaimana simbol-simbol religius dapat disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan atas tubuh perempuan. Bechi, putra dari kyai ternama KH Muhammad Mukhtar Mukhti, tidak hanya memanfaatkan kedudukan sosialnya, tetapi juga mengeksploitasi relasi spiritual yang timpang antara guru dan santri. Dalam struktur yang menuntut ketaatan mutlak, para santri perempuan menjadi sangat rentan: tubuh mereka diasuh secara spiritual, tetapi juga dikontrol secara kultural—dan dalam kasus ini, dilanggar secara seksual.
Baca juga:
- Pesantren Shiddiqiyyah: Kekerasan Seksual dan Lumbung Suara Politisi
- Kekerasan Seksual Pesantren Shiddiqiyyah dan Keinginan Saya untuk Bunuh Diri
Relasi kekuasaan dalam konteks ini bersifat kompleks dan nyaris kebal terhadap kritik. Otoritas keagamaan menciptakan semacam tameng simbolik bagi pelaku, sehingga upaya penegakan hukum menghadapi tantangan besar. Resistensi bukan hanya datang dari individu pelaku, tetapi juga dari institusi keagamaan dan komunitas pesantren yang mendukungnya. Fakta bahwa aparat kepolisian harus mengepung pesantren demi membawa pelaku ke pengadilan menunjukkan betapa kuatnya loyalitas terhadap figur religius, bahkan ketika ia menjadi terdakwa kasus kekerasan seksual.
Namun, kekerasan semacam ini tidak berhenti pada pelanggaran terhadap tubuh. Dampaknya menjalar hingga ke lapisan psikologis terdalam korban. Banyak perempuan penyintas pemerkosaan justru menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka alami—sebuah gejala yang oleh Campbell dkk. (2009a) disebut sebagai internalisasi budaya pemerkosaan (internalization of rape culture). Rasa bersalah tersebut tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dibentuk oleh konstruksi sosial dan hukum yang menempatkan beban kewaspadaan pada perempuan, seolah tanggung jawab untuk mencegah kekerasan seksual sepenuhnya berada di pundak mereka. Boyle (2017) mencatat bahwa bagi sebagian korban, beban terberat justru muncul setelah kejadian: dalam proses pergulatan identitas dan pertanyaan apakah mereka layak dianggap sebagai “korban” serta pantas untuk didengar.
Dalam konteks inilah, kekerasan seksual di institusi religius tidak hanya menjadi pelanggaran moral. Ia adalah gambaran tentang bagaimana sistem nilai, kepercayaan, dan hukum saling berkelindan membentuk respons sosial terhadap kekerasan. Tubuh perempuan menjadi arena pertempuran simbolik antara kesucian dan kuasa. Terlalu sering, suara korban terkubur di balik puing-puing pembelaan terhadap otoritas laki-laki.
Budaya Hukum dan Mitos Pemerkosaan
Jika menilik berbagai kasus yang telah terungkap—serta menyadari bahwa masih banyak kasus lain yang tidak pernah terlaporkan, sebuah kondisi yang dikenal sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomenon)—maka jelas bahwa kekerasan terhadap perempuan bukanlah sekadar rangkaian insiden terpisah atau kebetulan semata. Kekerasan ini merupakan bagian dari pola kekuasaan yang sistematis, berlapis, dan terus direproduksi di berbagai ruang kehidupan.
Institusi-institusi yang semestinya menjadi tempat perlindungan justru sering gagal menjalankan tanggung jawab dasarnya. Di lingkungan pendidikan, misalnya, keselamatan peserta didik kerap dikorbankan demi menjaga citra institusi. Di rumah sakit, relasi antara tenaga medis dan pasien, yang seharusnya dibangun di atas kepercayaan, dalam sejumlah kasus justru menempatkan pasien—terutama perempuan—dalam posisi yang sangat rentan. Ranah keagamaan pun tidak bebas dari persoalan ini: otoritas moral yang melekat pada tokoh agama sering kali menjadi tameng bagi pelaku kekerasan, sementara kritik terhadap mereka mudah dianggap sebagai bentuk penodaan terhadap iman. Ketika perkara kekerasan akhirnya sampai ke tangan aparat hukum, harapan akan keadilan kerap memudar. Penegakan hukum kerap mereproduksi ketimpangan kekuasaan, menunjukkan pola tumpul ke atas dan tajam ke bawah: permisif terhadap pelaku berkuasa, namun represif terhadap kelompok rentan yang tidak memiliki perlindungan struktural.
Salah satu mekanisme paling halus dari normalisasi kekerasan ini adalah keraguan yang terus-menerus diarahkan pada korban, khususnya dalam kasus pemerkosaan. Tidak seperti korban kejahatan lain, perempuan yang mengalami pemerkosaan tidak serta-merta dipandang sebagai korban. Sebaliknya, mereka harus membuktikan bahwa mereka memang “layak” disebut sebagai korban, beban yang sangat berat dan menyakitkan (Bryden & Lengnick, 1997).
Mitos-mitos pemerkosaan (rape myths) masih membayangi jalannya hukum dan menyelinap dalam setiap tahap prosesnya. Polisi sering meragukan laporan korban ketika pelaku adalah orang yang dikenal atau ketika korban dianggap memiliki “reputasi buruk” secara seksual (Edwards et al., 2011). Di ruang pengadilan, beban pembuktian sering kali lebih banyak ditanggung oleh korban, dengan kesaksian korban seringkali menjadi satu-satunya dasar untuk penilaian (Jordan, 2004).
Namun, tantangan tidak berhenti hanya di ruang pengadilan. Bahkan dalam ruang-ruang paling pribadi sekalipun—seperti di antara teman, pasangan, atau keluarga—pengakuan atas pengalaman pemerkosaan masih dibayangi oleh stigma dan keraguan. Banyak korban bukan hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya. Pemerkosaan oleh kenalan atau teman kencan, misalnya, sering dipandang sebagai kesalahpahaman, bukan kekerasan. Korban pun dianggap turut bertanggung jawab atas apa yang terjadi (Bell et al., 1994). Sementara itu, pemerkosaan dalam pernikahan masih kerap diabaikan, bahkan dianggap tidak mungkin terjadi (Simonson & Mezydlo Subich, 1999).
Narasi “tidak ada ruang aman” bukan sekadar seruan emosional. Ia adalah deskripsi faktual tentang struktur sosial yang membiarkan kekerasan dipelihara, diam-diam, sistematis, dan berulang. Kekerasan seksual tidak terjadi di ruang hampa; ia dilegitimasi oleh hukum yang timpang, diperkuat oleh budaya patriarkal, dan direproduksi oleh institusi yang gagal melindungi.
Membayangkan dan Merintis Ruang Aman
Kesadaran bahwa tak ada ruang aman harus menjadi panggilan untuk menciptakannya. Kita perlu membayangkan dan membangun ruang-ruang alternatif yang berpihak pada korban, bukan hanya di level komunitas, tetapi juga dalam reformasi hukum dan institusi.
Pertama, hukum harus lebih progresif dalam membuktikan kekerasan berbasis relasi kuasa, bukan hanya fokus pada kekerasan fisik atau paksaan eksplisit. Kedua, institusi pendidikan dan keagamaan harus menciptakan sistem pelaporan dan pendampingan yang independen dari hirarki internal. Ketiga, pendekatan hukum feminis dan interseksional, sebagaimana dikembangkan oleh Crenshaw (1991) dan MacKinnon (1989), menegaskan bahwa kekerasan seksual tidak bisa dilepaskan dari persilangan kuasa antara gender, status sosial, dan struktur institusional. Kekerasan bukan hanya soal tubuh, tetapi juga tentang siapa yang dipercaya dan siapa yang dibungkam.
Selama kekerasan dipahami sebagai persoalan individu, bukan struktural, maka keadilan akan terus menjadi ilusi. Tetapi dengan membongkar lapisan-lapisan kekuasaan yang menyelimuti tubuh perempuan—kita mulai merintis jalan menuju ruang yang benar-benar aman, bukan sekadar tempat yang senyap. (*)
Editor: Kukuh Basuki