Perjalanan Panjang Korea Selatan Melawan Militerisme

Faisal Bachri

3 min read

Korea Selatan memiliki sejarah kelam dengan militerisme lebih dari tiga dekade. Bagi negara tersebut demokrasi hanya bisa datang setelah perjuangan panjang dan berdarah. Dalam sejarahnya, ruang gerak sipil selalu terbatas pada dua tiga langkah militer yang lebih maju dan terorganisir.

Walaupun sudah berada di bawah kendali sipil, pengaruh institusi militer selalu menjadi bayang-bayang pemerintahan sipil. Tanpa perhatian penuh dari masyarakat sipil, profesionalisme militer akan menjadi masalah di masa depan. Benar saja, pada Desember 2024, presiden Korea Selatan mengumumkan darurat militer dengan justifikasi intervensi Korea Utara.

Tapi sebenarnya ketakutan utamanya adalah potensi kebangkitan rezim militeristik yang dulu pernah di jinakan oleh gerakan Pro-demokrasi Korea Selatan.

Terkadang keberanian hanyalah satu-satunya hal yang dimiliki saat berhadapan dengan moncong senjata. Persis hal tersebut yang dirasakan oleh Ahn Gwi-ryeong, mantan jurnalis yang menjadi juru bicara partai oposisi di parlemen Korea Selatan.

Baca juga:

Dia terlihat menarik moncong senjata tentara yang berupaya menduduki gedung parlemen kemudian bertanya “apa kalian tidak punya malu?”. Hal tersebut terjadi Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer pada 3 Desember 2024 lalu.

Dalam wawancaranya dengan BBC, Ahn mengaku dirinya merasa panik begitu gedung majelis nasional dipenuhi oleh tentara. “Saya tidak berpikir (panjang), saya hanya tahu harus menghentikan ini,” ucapnya dalam wawancara dengan BBC. Ketika darurat militer diumumkan aktivitas politik langsung dilarang begitupun penerbitan media.

Masyarakat Korea langsung memasang badan untuk mencegah berulangnya sejarah kelam kepemimpinan militer. Demonstrasi besar menjadi tekanan publik terhadap keputusan presiden. Sehingga baru enam jam diberlakukan, darurat militer langsung dicabut.

Bagi Ahn, terjadinya peristiwa seperti ini di abad 21 merupakan preseden buruk. Dalam wawancara dengan BBC, topik ini terkesan sangat personal dengan dirinya sebagai warga Korea Selatan. “Sangat menyayat hati dan menyedihkan hal ini terjadi di Korea abad 21” ucapnya kepada BBC.

Militer memiliki sejarah kelam dengan berlangsungnya demokrasi sejak berdirinya Korea modern pada tahun 1948. Darurat militer sendiri tereakhir diumumkan di Korea Selatan pada 1979 pada saat pembunuhan presiden Park Chung-hee.

Ketakutan terhadap pengumuman darurat militer adalah pada implikasinya. Dinawah darurat militer, aktivitas politik seperti demonstrasi dan publikasi media dilarang. Siapapun yang melanggar dapat ditahan tanpa surat penahanan.

Konteks Sejarah Militerisme Korea Selatan

Korea Utara selalu menjadi hantu yang siap dipanggil ketika pemimpin butuh justifikasi mengembalikan Otoritarian. Seperti lagu lama yang terus diputar, beberapa kali alasan ini terus dipakai. Bahkan digunakan juga oleh Presiden Yoon walaupun berakhir dengan kegagalan spektakuler.

Tidak lama setelah kemerdekaan pada tahun 1948, Korea masuk ke dalam perang Korea pada tahun 1950 sampai gencatan senjata pada Juli 1953. Sentimen ketakutan terhadap Korea Utara menjadi basis langkah-langkah otoritarian dari pemerintah. Kekuatan politiknya terkonsolidasi sehingga cenderung koruptif.

Pada Desember 1958, pemerintah mengetuk palu undang-undang keamanan nasional dengan alasan untuk menyelidiki elemen komunis di Korea Selatan. Kenyataannya undang-undang ini dipakai untuk melakukan represi terhadap kelompok oposisi dan pers.

Baca juga:

Saat berada di ujung tanduk, pemerintah menggunakan Korea Utara sebagai alasan darurat militer. Namun pada tahun 1960, alasan ini tidak lagi relevan untuk menjadi pembenaran. Akhirnya Rhee mengundurkan diri setelah demonstrasi besar pada April 1960.

Republik kedua pun lahir dengan reformasi demokrasi. Namun proyek demokrasi ini tidak lama pupus oleh kudeta militer Mayor Jenderal Park Chung-hee pada 16 Mei 1961. Namun Junta militer ini mampu mengatasi masalah legitimasinya berkat capaian ekonomi Korea Selatan.

Park bisa memanfaatkan masalah keamanan di Semenanjung Korea dan berhasil meyakinkan rakyat untuk menerima rezim otokratik. Masyarakat harus membayar harga mahal dengan hilangnya kebebasan sipil. Pada 1972, Park mengubah konstitusi baru yang menempatkannya sebagai diktator tanpa batas waktu kekuasaan setelah sebelumnya terpilih menjadi presiden secara demokratis.

Tidak ada yang menyangka bahwa pemerintah Park akan berakhir di tangan orang kepercayaannya sendiri. Pada 26 Oktober 1979, Direktur Badan Intelijen Korea Selatan, Kim Jae-gyu, menembak Presiden Park Chung-hee di Seoul. Tentu saja kematian satu diktator membuka potensi demokratisasi di masyarakat.

Tapi harapan itu seketika menguap ketika kudeta militer kembali terjadi pada 12 Desember 1979 oleh Mayor Jenderal Chun Doo-hwan. Dalam jangka waktu ini salah satu insiden pro-demokrasi di Gwangju terjadi pada Mei 1980. Rezim militer ini dinilai menjadi pelaksanaan pemerintah otoritarian paling keras sepanjang sejarah Korea Selatan.

Sama seperti pendahulunya, Chun menggunakan ketakutan terhadap ancaman Korea Utara sebagai ancaman keamanan nasional. Gerakan Gwangju pun dinilai sebagai bentuk perwujudan ketakutan tersebut.

Demokrasi Korea baru kembali pada tahun 1987 setelah gerakan besar bernama Perjuangan Juni terjadi. Katalisnya adalah pembunuhan mahasiswa bernama Park Jong-chul yang meninggal saat disiksa oleh polisi dan Lee Han-yeol yang meninggal karena terkena serpihan peluru gas air mata.

Beruntungnya Korea menjadi tuan rumah Olimpiade 1988, sehingga pemerintah cenderung enggan untuk melakukan tindak represi terhadap demonstran. Calon presiden Roh Tae-woo pun sebagai calon dari rezim sudah dipastikan memenangkan pemilu. Pemerintah akhirnya menerima tuntutan dari gerakan pro-demokrasi.

Refleksi untuk Indonesia

Gerakan demonstrasi masif pada 1987 mendorong transisi demokrasi dan pembentukan republik keenam (1987- sekarang) setelah lebih dari tiga dekade sipil berada dibawah militer.

Meski berada dibawah kendali sipil, militer tetap menjadi institusi terkuat di Korea Selatan. Pada tahun 1987, waktu transisi demokrasi, Roh Tae-woo, tetap menang pemilihan kendati merupakan calon dari militer. Sampai saat ini, berkat ancaman dari Korea Utara, militer selalu mendapat alokasi anggaran yang besar.

Menurut Cherry Hitkari, Republik keenam turut mewarisi kelemahan rezim-rezim sebelumnya. Salah satunya adalah Sifat Presiden seperti kaisar atau Imperial Presidency. Presiden bisa dan sering mengendalikan majelis nasional lewat sistem partai yang otoriter.

Di samping itu, independensi lembaga peradilan juga bisa dipertanyakan karena ditunjuk oleh presiden, termasuk kejaksaan dan badan audit. Perdana menteri yang harusnya bisa mengimbangi kekuasaan presiden pun ditunjuk oleh presiden.

Selain itu sentimen anti-komunisme merupakan nilai politik yang menyetir Korea Selatan bahkan jauh setelah kediktatoran berakhir. Ketakutan terhadap Korea Utara dipakai untuk menekan kritik terhadap pemerintah.

Warisan lainnya adalah Undang-undang keamanan nasional yang tetap berlaku dan digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi. Pemerintah dibawah presiden Roh Myuu-hyun pernah berupaya merevisi namun Mahkamah Konstitusi menolak pada tahun 1990 dengan alasan mempertahankan demokrasi.

Kendati demikian, Korea Selatan masih dinilai sebagai negara yang demokratis. Salah satunya Freedom House memberikan nilai 81 untuk Korea Selatan pada tahun 2025.

Jauh melintasi Samudra Pasifik, Indonesia yang memiliki kesamaan sejarah terkait bayang-bayang militerisme. Freedom house memberikan nilai nlai 56 untuk Indonesia atau sebagian bebas (partly free).

Seperti Korea Selatan, bayang-bayang militerisme selalu menghantui dan berupaya untuk bangkit kembali. Pengesahan UU TNI pada 20 Maret 2025 yang memungkinkan prajurit aktif menempati posisi 14 kementerian dan lembaga membangkitkan kecemasan terhadap hantu dwi fungsi TNI. Selain itu, sama juga seperti Korea Selatan, hanya keberanian dan kegigihan masyarakat sipil yang bisa menghentikan dominasi junta militer dan mengembalikan negara dalam rel demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Faisal Bachri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email