Entah Anda aktivis atau warga biasa, menjalani hari di negara yang sedang tidak baik-baik saja tentu bukan hal yang mudah. Zaman Indonesia Gelap tidak hanya menguji emosi dengan tingkah ngawur pejabat dan demokrasi yang pelan-pelan lengser dari tahta tertingginya saja, kewarasan kita pun ikut dipertaruhkan.
“Indonesia Gelap” adalah sebutan untuk kondisi negara saat ini: kebijakan semrawut, ekonomi redup, korupsi merajalela, dan pejabat yang kian rakus. Sebenarnya ini bukan hal baru karena memang kondisi ini sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Tiap tahun tagline baru dibuat untuk menyebut kondisi Indonesia yang tak segera mendingan. 2019: “Reformasi Dikorupsi”. 2024: “Peringatan Darurat”. Kini, “Indonesia Gelap” menyambut 2025 yang baru berusia tiga bulan.
Tagline-tagline itu lama-lama seperti seri novel tragedi: setiap judul adalah babak baru dari kisah sedih yang tak kunjung tamat. Dan tampaknya, cerita ini masih terus berlanjut. Saya, Anda, dan penguasa adalah si penulis, tokoh, dan pembacanya sekaligus. Setali tiga peran kita mainkan.
Kita terlibat dalam tiap lembar kisahnya. Di jalanan sana ada yang ikut demonstrasi. Sementara yang tak sempat, seperti saya yang harus kerja, marah-marah ketika scrolling berita-berita di media sosial.
Walau tak sedang demo, setiap hari disuguhi berita-berita buruk di negara ini bikin saya merasa nelangsa. Kadang saya menghapus Instagram sesimpel untuk mengistirahatkan pikiran sejenak dari berita buruk. Indonesia Gelap belum selesai, kita disuguhi lagi oleh korupsi pertamax oplosan yang merugikan negara sebesar Rp 980 triliun. Belum terusut tuntas kasus itu, datanglah lagi isu kasus korupsi PT Antam. Siapa yang tak merasa kewarasannya sedang diuji?
Baca juga:
Saya tidak sendirian; teman-teman saya pun sering mengeluh lelah. Apa yang teman dan saya rasakan wajar tetapi masih jarang diperhatikan.
Menurut, Hannah Proctor dalam bukunya Burnout: The Emotional Experience of Political Defeat, mengalami perjuangan politik dalam jangka waktu lama yang seringkali berakhir pada kekalahan memiliki dampak psikologis yang signifikan pada manusia. Ia setidaknya membagi dampak psikologis itu ke dalam 8 jenis emosi: melancholia, nostalgia, depression, burnout, exhaustion, bitterness, trauma, dan mourning.
Dalam karyanya, Proctor menjelaskan beban psikologis para aktivis yang disebabkan oleh kekalahan politik dan perjuangan panjang yang berat serta tak kunjung selesai. Beban ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti rasa kecewa, stres akibat intimidasi, dan kecemasan akan masa depan yang rentan. Namun, beban ini tak hanya diderita oleh aktivis saja. Siapa pun itu yang punya nurani atas gejolak politik yang tak kunjung membaik juga rentan mengalami masalah ini.
Agar Kita Tetap Waras
Melawan Indonesia Gelap tak melulu soal demonstrasi, marah-marah di X, atau memboikot Pertamina. Hal yang tak kalah penting adalah kita perlu menjaga agar diri tetap waras di negara yang sudah gila ini.
Menjaga kewarasan memang tak membikin Prabowo tiba-tiba menghentikan efisiensi anggaran dan korupsi hilang di Indonesia, tetapi kita harus tetap waras kalau ingin terus melawan. Tiada cara tunggal yang jadi panacea untuk merawat psikologi kita dan tiap orang punya cara coping masing-masing. Namun, setidaknya saya punya beberapa tips yang bisa diterapkan untuk menjaga kewarasan diri:
- Menerima Kondisi Kita Memang Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Kita tidak dapat denial kalau kondisi negara ini memang sedang tidak baik-baik saja. Tak cuma Indonesia, kondisi dunia juga tidak kalah mengkhawatirkan. Mulai dari bangkitnya politik sayap kanan, genosida di Gaza, sampai krisis iklim. Tapi, it is what it is, memang kita hidup di dunia yang sedang tidak baik-baik saja dan suka tak suka kita harus beradaptasi dengannya.
- Menghindari Overload Informasi
Tidak seperti dulu ketika melihat apa yang sedang terjadi dengan negara perlu jeda waktu agak lama. Berita kemerdekaan Indonesia memerlukan waktu beberapa bulan untuk dapat disiarkan ke seluruh pulau. Sekarang, keputusan presiden dapat langsung tersiar live lewat media sosial di gawai yang dapat dibuka kapanpun.
Arus informasi ini bukan cuma soal kecepatannya saja tetapi juga soal kuantitas informasi yang kita terima. Karena itu, tak ada salahnya untuk sewaktu-waktu kita meng-cut off arus informasi itu untuk mengistirahatkan pikiran sejenak. Hapuslah media sosial yang ter-install di gawaimu atau lihat video kucing lucu untuk melupakan sejenak fakta kalau kita tinggal di Indonesia.
- Kemenangan itu Masih Ada, tapi Bukan Berarti Semuanya Berakhir Bahagia
Masih ingat demonstrasi Peringatan Darurat? Karena demo itu hukum gagal diotak-atik agar Kaesang bisa ikut pilkada, tidak seperti Gibran, kakaknya yang kini jadi wakil presiden karena revisi kilat hukum yang mengatur ambang batas umur pencalonan presiden dan wakil presiden. Keberhasilan itu menunjukkan kemenangan masih ada dan kita patut memperjuangkannya. Perlawanan tak pernah sia-sia karena kemungkinan untuk menang selalu ada karena perjuangan yang selalu kita usahakan.
Tapi tidak semua cerita berakhir bahagia seperti di film Hollywood. Seringkali kita harus menerima kekalahan, sebagaimana Omnibus Law dilegalisir terlepas demonstrasi berjilid-jilid yang telah kita lakukan. Walau kalah, bukan berarti perjuangan jadi sia-sia. Kita harus menerima kekalahan politik itu mungkin terjadi, dan kondisi belum tentu menjadi baik. Namun, perjuangan harus terus membakar massa rakyat karena ada kemenangan yang mungkin bisa kita jemput, sebagaimana pengalaman yang telah saya sebutkan di awal artikel ini.
- Bangun Ruang Aman dan Jejaring Solidaritas
Stres bukan masalah yang harus ditanggung sendiri. Ruang aman dan solidaritas dapat menjadi ruang berbagi untuk saling menguatkan di situasi sulit. Ia dapat dibangun sesimpel dengan bercurah pada seorang kawan sampai membuka sesi berbagi bersama komunitas.
Menang atau Kalah, Hanya Ada Satu Kata: Lawan!
Mengalami gejolak politik yang panjang bukan hal yang mudah. Kelelahan dan keputusasaan seringkali menjumpai di tengah jalan. Kemenangan belum tentu ada di depan mata dan kekalahan menjadi hal yang tak jarang terjadi.
Tapi ini bukan soal menang dan kalah. Dalam bagian akhir bukunya, Proctor merefleksikan kekuatan apa yang menguatkan para aktivis untuk terus berjuang walau kekalahan dan keputusasaan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka.
Baca juga:
Daripada fokus memahami konsekuensi emosi negatif akibat kekalahan politik, Proctor mencoba memahami emosi positif yang dapat muncul terlepas dari kekalahan yang kita alami. Ia menemukan orang-orang yang pernah terlibat dalam aksi politik merasakan pengalaman transformatif pada diri mereka. Perkembangan karakter yang mereka alami menjadi kekuatan dan inspirasi bagi aksi-aksi politik di masa depan.
Proctor juga menekankan pendirian penting untuk melawan tanpa harus bergantung pada harapan (hope). Harapan memang penting tetapi kenyataannya harapan sering terlihat begitu kecil, bahkan sama sekali tidak ada. Memang, harapan menjadi sesuatu yang berarti dalam momentum-momentum tertentu yang memungkinkan perubahan nyata terjadi, Reformasi 1998 misalnya. Namun, mendapatkan momentum seperti Reformasi tidak mudah sebab ia berakar dari kombinasi sebab yang kompleks dan berada di luar kontrol kita, seperti Krisis Moneter Asia 1997 yang meningkatkan ketidakpuasan rakyat terhadap Soeharto.
Walaupun begitu, bukan berarti kejatuhan Soeharto itu terjadi sepenuhnya karena faktor eksternal belaka. Momentum dan aksi politik yang lahir dari radikalisasi ketidakpuasan mahasiswa dan rakyat yang telah lama terpupuk menjadi kunci keberhasilan Reformasi. Sementara krisis ekonomi menjadi katalis yang menyebabkan ketidakpuasaan itu yang menyeruak ke permukaan, dari jalanan sampai gedung parlemen. Melalui pengalaman itu, perlawanan harus dilakukan terlepas adanya harapan atau tanpa harapan: bahwa kemenangan hanya akan diraih dari aksi politik yang dibangun sejak lama tanpa jaminan ia akan berhasil–dengan berhasil atau tidaknya tak lepas dari faktor eksternal.
Tanpa harapan bukan berarti sebuah upaya menjadi tak layak diperjuangkan. Dalam novel The Plague, Albert Camus dengan indah menceritakan Dr. Rieux yang terus mengobati pasien wabah walau ia tahu pasien-pasiennya pada akhirnya akan meninggal. Fakta bahwa ketiadaan kepastian harapan pasien Dr. Rieux akan selamat tidak menghentikan asa sang dokter untuk melakukan upaya terbaik untuk menyembuhkan pasiennya. Bagi Dr. Rieux, yang paling bermakna adalah usaha yang ia curahkan sebaik-baiknya untuk menyelamatkan si pasien daripada menyerah tanpa perjuangan apapun. Itulah mengapa, baik dengan harapan atau tidak, perjuangan kita menjadi bermakna.
Spirit itu menggema dalam penutup buku Proctor yang mengutip ungkapan menarik dari Mike Davis: “Fight with hope, fight without hope, but fight absolutely.” Atau dengan sedikit memodifikasi penutup puisi Widji Thukul: “Menang atau kalah, hanya ada satu kata: lawan!” (*)
Editor: Kukuh Basuki