Kebencian dan Optimisme dalam Romansa Queer

Yoga Palwaguna

5 min read

Sebuah serial delapan episode baru saja membuat banyak queer di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, merasakan sensasi campur aduk. Perasaan bungah yang mereka alami ketika menonton rupanya disusul oleh perasaan patah hati begitu episode kedelapan tamat. Bukan, bukan karena ending-nya merana. Namun, berakhirnya serial ini membawa mereka kembali kepada realita sebagai queer yang tumbuh di tengah queerphobia yang marak serta representasi romansa queer di media yang minim. Serial itu berjudul Heartstopper

Heartstopper, tayang perdana di Netflix pada tanggal 22 April 2022, merupakan pengalihwahanaan dari komik web berjudul sama karya Alice Oseman. Sebelum diadaptasi menjadi serial Netflix, cerita ini sudah lebih dulu diterbitkan secara cetak dalam format novel grafis. Gay Times menyebutnya sebagai “the queer graphic novel we wished we had at high school” atau novel grafis queer yang kita harap bisa kita baca waktu kita masih SMA. 

Heartstopper bercerita tentang kehidupan sekelompok remaja di sebuah grammar school di Inggris. Tokoh utamanya adalah Charlie–yang pada tahun ajaran sebelumnya mendapatkan rundungan setelah orang-orang tahu bahwa dia gay–dan gebetannya yang bernama Nick, si atlet rugbi yang populer. Charlie memiliki beberapa teman yang tak kalah “dipinggirkannya”: Tao si keturunan Asia dengan selera film dan gaya rambut yang unik, Isaac si kutu buku, dan Ellie yang adalah seorang transpuan (yang untungnya sudah pindah ke sekolah khusus perempuan). 

Charlie mulai naksir Nick setelah mereka dipasangkan sebagai teman sebangku di sebuah kelas. Interaksi mereka dibangun dari saling bertukar “Hai” dan senyuman yang canggung sekaligus manis. Interaksi mereka berlanjut sampai keduanya sadar, ada sesuatu yang lebih untuk satu sama lain. Charlie yang sudah lebih dulu menjalani proses coming in sebagai seorang gay, lebih mudah menerima apa yang dia rasakan untuk Nick. Dia bahkan menikmatinya. Setelah Tao bilang padanya bahwa Nick adalah cowok paling straight yang selama ini pernah dikenalnya dan lebih baik Charlie tidak usah berharap, Charlie memberanikan diri untuk mengajak Nick main ke rumah. 

Itu berbeda dengan pengalaman Nick yang baru pertama kalinya naksir pada teman cowok. Seperti Tao, selama ini dia juga berpikir bahwa dia seorang heteroseksual. Rasa naksir pada Charlie yang terus tumbuh tanpa bisa dia cegah, bertabrakan dengan apa yang dia pahami tentang dirinya sendiri selama ini dan itu membuat Nick mengalami kebimbangan. Pengalaman ini mendorong Nick untuk mencari tahu tentang dirinya sendiri sekaligus melihat sekelilingnya dengan kacamata yang berbeda, yang lebih peka dan simpatik. Naksir pada seorang cowok gay membuat Nick lebih sadar atas rundungan yang sering dilakukan oleh orang-orang di lingkungan pertemanannya sendiri kemudian melakukan konfrontasi, memberitahu mereka bahwa itu salah.

Ada beberapa hal yang membuat serial ini istimewa. Yang pertama adalah hubungan yang sehat dan saling dukung antara Charlie dan Nick. Sebagai remaja yang sering jadi sasaran perundungan, Charlie terkondisi untuk melihat dirinya sebagai gangguan pada hidup orang lain, dia juga merasa sudah “terbiasa” jadi korban bully. Nick selalu berusaha meyakinkan bahwa Charlie tidak seharusnya merasa demikian, bahwa tidak ada seorang pun yang layak menjadi sasaran perundungan. 

Di sisi lain, Charlie juga bersedia memberikan waktu sebanyak yang dibutuhkan Nick untuk membereskan pergulatan internalnya sendiri. Charlie tidak memaksa Nick untuk buru-buru menerima seksualitasnya, maupun mendesak Nick untuk memberitahu orang lain bahwa mereka berkencan. Tentu saja ini juga tetap diimbangi dengan sikap Nick yang sadar bahwa ada perasaan Charlie yang juga perlu dijaga dan dipertimbangkan, bahwa ini bukan hanya tentang dirinya sendiri. Yang paling penting, kebingungan Nick tentang dirinya tidak berakar dari kebencian pada queer yang membuatnya denial.

Yang kedua adalah inklusivitas. Heartstopper menampilkan sekumpulan karakter dengan identitas gender dan orientasi seksual yang beragam. Tidak hanya ada Charlie yang gay dan Nick yang biseksual, tapi ada juga Tara dan Darcy yang lesbian, serta Elle yang transpuan. Jadi, ini bukan hanya serial tentang G, tapi semua huruf dalam LGBT juga memiliki representasinya. Ngomong-ngomong, tokoh biseksual juga masih terbilang jarang ditampilkan di media populer, tidak seperti gay dan transpuan yang lebih sering muncul. Jadi, bagaimana serial ini menampilkan seorang remaja biseksual sebagai salah satu karakter utamanya juga merupakan hal yang patut diapresiasi. 

Yang ketiga adalah hadirnya support system atau sistem dukungan yang membantu Charlie maupun Nick menjalani masa remaja mereka. Sistem dukungan ini juga yang pada akhirnya memungkinkan kisah cinta yang manis dan heartwarming antara Nick dan Charlie bisa terjadi. 

Nick dan Charlie tidak hidup di dunia utopia tempat keberagaman gender dan orientasi seksual sudah diterima oleh semua orang. Nyatanya, queer masih menerima berbagai bentuk kebencian. Selain Charlie yang menjadi sasaran homofobia siswa lainnya di sekolah, ada juga Ellie yang menjadi sasaran transfobia hingga ia bahkan enggan mencari teman di sekolah barunya karena takut akan diganjar penolakan. Ada juga Tara yang mendapatkan banyak komentar bernada merendahkan setelah dia memutuskan terbuka mengenai hubungan yang dia jalin dengan teman sekelasnya, Darcy, yang adalah sesama perempuan.

Yang jadi penting dari serial ini adalah bahwa mereka mendapatkan dukungan dari orang-orang di lingkar terdekat, seperti ayah Charlie yang siap membelanya jika ia mendapatkan perlakukan buruk dari orang lain; Tori, kakak Charlie, yang selalu mendukungnya dan terus meyakinkan Charlie bahwa dia berharga; Tao yang dengan caranya sendiri selalu berusaha ada untuk Elle dan Charlie; serta bagaimana setiap karakter berusaha menjadi teman yang baik bagi satu sama lain. Dukungan dari pihak sekolah juga diisyaratkan dengan sikap pelatih rugbi yang berusaha memastikan bahwa ketika Charlie memutuskan keluar dari tim, itu bukan karena dia mendapatkan rundungan dari anggota yang lain. 

Tanpa adanya sistem dukungan yang baik, hidup sebagai queer bisa sangat menyiksa dan dipenuhi ketakutan, sehingga mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk menjalani kehidupan sebagai remaja pada umumnya. Di lingkungan yang dipenuhi kebencian pada minoritas gender dan seksual, akan sulit untuk bisa menjalin hubungan yang sehat. 

Tanpa orang tua yang mampu menerima dan membelanya, seorang remaja gay mungkin akan harus pindah sekolah atau dikirim ke “pesantren” dan berbagai upaya korektif lainnya, alih-alih bisa naksir dan berkencan pada teman sebangku. Tanpa teman yang suportif, seorang remaja gay mungkin akan terlalu takut untuk datang ke sekolah. Boro-boro punya waktu untuk kisah cinta yang manis nan romantis, para remaja gay ini mungkin sudah terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya agar tak ketahuan. Atau jika sudah kadung ketahuan, mereka akan sibuk mencari cara supaya bisa selamat dan tak dijadikan samsak perisakan oleh lingkungannya, baik di sekolah, di rumah, maupun di ruang-ruang lainnya. 

Itulah yang terjadi pada sebagian banyak individu queer di dunia nyata. Keadaan mungkin sudah lebih baik bagi komunitas queer di Eropa atau Amerika yang tingkat penerimaan masyarakatnya terhadap keberagaman gender dan seksualitas terus membaik dari generasi ke generasi, setidaknya dari apa yang terlihat dari Indonesia sini, sehingga apa yang digambarkan dalam serial Heartstopper bukan sekadar angan-angan, tapi benar-benar bisa diwujudkan. Di tempat seperti Indonesia, kisah Nick dan Charlie masih terasa seperti dongeng pengantar tidur. Sebagian penonton di Indonesia bahkan mungkin harus menonton serial ini diam-diam di bawah selimut agar tak ketahuan orang rumah.

Yang jelas, pengalaman itu tampaknya lebih universal dirasakan oleh komunitas queer pada generasi yang lebih tua. Ketika mereka seumuran Nick dan Charlie dulu, kebencian terhadap minoritas gender dan seksualitas masih sangat kentara. Di ranah fiksi pun, masih jarang ditemukan representasi queer yang memadai. Kalaupun ada, kebanyakan cerita-cerita itu biasanya berisi kemalangan-kemalangan dengan akhir yang tragis. Sebut saja Brokeback Mountain atau bahkan Call Me By Your Name yang beberapa tahun lalu menuai banyak pujian sekaligus kritik. Media bahkan tidak membantu komunitas queer untuk bisa membayangkan kisah cinta yang sehat dan bahagia bagi mereka.  

Karena itulah sebagian penonton Heartstopper yang sudah masuk usia dewasa memiliki perasaan yang campur aduk setelah menonton serial ini. Mereka merasa bahagia bahwa serial ini dibuat dengan berkualitas, dengan cerita yang indah dan manis, serta merepresentasikan pengalaman queer remaja dengan baik. Namun, di sisi lain mereka juga merasa sedih karena tak sempat mengalami apa yang dirasakan Nick dan Charlie ketika mereka remaja dulu. Queerphobia membuat mereka menjalani masa remaja yang penuh represi. Jangankan untuk menemukan dan menjalin cinta yang indah, untuk menerima diri sendiri pun teramat sulit karena menjadi queer masih dianggap sebagai sesuatu yang salah.

Meski penting untuk menampilkan realitas kehidupan queer yang masih jauh dari kata ideal, kita juga perlu lebih banyak serial yang optimistis seperti Heartstopper untuk melatih imajinasi kita tentang kebahagiaan yang mungkin didapatkan oleh komunitas queer. Walau sedikit, di dunia nyata kisah bahagia itu ada dan merupakan upaya penting untuk membuat semakin banyak orang percaya bahwa mereka juga bisa saja mendapatkannya. Bahwa setelah kita mampu membayangkannya, yang optimistis dan sekilas nampak utopis itu pun bisa ditempuh meski jauh. 

Serial TV, film, dan berbagai karya lainnya bisa membantu menyebarkan optimisme itu. Imajinasi yang dituangkan dalam berbagai media, ketika sampai pada orang-orang yang masih berjuang dengan identitasnya, bisa membantu meyakinkan bahwa mereka tak perlu berkecil hati atau merasa lebih rendah dari yang lain, bahwa mereka tak perlu memilih untuk settle for less, bahwa hubungan yang sehat itu mungkin dan mereka layak untuk mencintai dengan sepenuhnya tanpa harus berkompromi dengan rasa takut. 

Cukuplah kita merampas kisah cinta yang indah dari para remaja queer generasi yang lalu. Sekarang, sudah saatnya kita memberi ruang bagi remaja queer generasi masa kini dan masa depan untuk menemukan dan membangun kisah cinta seindah apa pun yang mampu mereka bayangkan.  

Yoga Palwaguna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email