Lulusan Magister Ilmu Filsafat Universitas Indonesia. Tertarik pada metafisika Schopenhauer dan Leibniz.

Kehendak adalah Derita: Argumentasi Filosofis dan Ideologis untuk Childfree

I Ketut Sawitra Mustika

3 min read

Banyak alasan orang untuk memutuskan tak memiliki anak. Tapi tak setiap alasan berangkat dari kepentingan si calon bayi. Anti-natalisme yang berdasarkan kepentingan si calon bayi bersifat altruistis, bukan egoistis, karena fondasi utamanya adalah kasih sayang. Ia berbeda dengan penolak kelahiran karena membenci anak, atau untuk mendapatkan kebebasan lebih. Ia juga berbeda dengan yang menolak kelahiran karena alasan populasi dunia yang sudah terlampau padat atau untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Eksistensi, meski tidak niscaya, selalu menyakitkan, penuh derita. Karenanya non-eksistensi akan lebih baik ketimbang eksistensi. Non-eksistensi yang dimaksud di sini adalah tidak pernah dilahirkan, bukan ihwal apakah hidup layak dilanjutkan atau tidak. Subjek kita adalah pertanyaan mengenai apakah eksistensi itu patut dimulai atau tidak. Dan jawabannya adalah tidak!

Menurut David Benatar dalam Better Never To Have Been, prokreasi selama ini hampir tidak pernah memikirkan kepentingan bayi potensial. Alasan keberadaannya selalu berasal dari luar dirinya, entah itu orangtua, keluarga, masyarakat, negara, dan ideologi yang berkuasa. Melahirkan dan membesarkan anak dianggap kewajiban karena fitrah manusia adalah berkembang biak. Manusia dianggap belum lengkap menjalani semua tahap kehidupan bila belum punya anak (lahir, tumbuh, bersekolah, kuliah, kerja, menikah, punya anak, menua, dan mati). Orang yang tak memiliki keturunan akan menjadi bahan gunjingan, dan orang-orang tak suka dipergunjingkan. Belum lagi bila keluarga sudah menuntut seorang penerus garis keturunan. Lingkungan sangat mempengaruhi keputusan memiliki anak.

Alasan lain orang-orang memiliki keturunan adalah supaya ada yang merawat di hari tua, untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sampai, atau meneruskan dinasti. Keberadaan anak adalah alasan untuk setiap kerja keras dan upaya mencari uang sebanyak mungkin. Ia membuat hidup senantiasa bergairah. Keturunan juga memberikan kesan keabadian bagi manusia-manusia fana melalui nilai, gagasan, dan material genetik yang mereka turunkan kepada anak-anaknya, yang pada gilirannya akan melakukan hal serupa.

Negara berkepentingan dengan kelahiran karena ia membutuhkan regenerasi pembayar pajak dan pekerja. Demikian pula dengan formasi sosial di mana kapitalisme menguasai.  Dalam Ideology and Ideological State Apparatuses, Louis Althusser menjelaskan bahwa formasi sosial masyarakat kapitalis harus mereproduksi prasyarat produksinya agar bisa terus berproduksi. Ada dua hal yang perlu direproduksi: kekuataan produktif dan relasi produksi yang telah eksis. Reproduksi kekuatan produktif mencakup reproduksi sarana produksi dan tenaga kerja. Agar tenaga selalu tersedia, buruh-buruh diberi gaji secukupnya agar bisa membangun keluarga dan beranak-pinak. Anak-anak ini kemudian akan belajar berbagai keterampilan dalam sistem pendidikan kapitalis agar bisa bekerja di berbagai sektor. Di sekolah, anak-anak ini juga akan diajarkan untuk takluk pada ideologi yang berkuasa, dan menjalankan perannya sebagai kelas pekerja dengan sungguh-sungguh.

Makhluk yang Berkehendak

Alasan kenapa eksistensi selalu menyakitkan bisa dijelaskan melalui teori Schopenhauer. Dalam Parerga and Paralipomena voulme II (2015, 943), Schopenhauer menilai rasa sakit tak terhindarkan karena ia merupakan kualitas positif dalam kehidupan. Sementara kebahagiaan, keadaan sejahtera, dan rasa puas punya karakter negatif, yakni kebebasan sementara dari rasa sakit. Semenjak bahagia adalah kebebasan sejenak dari derita, maka kebahagiaan adalah ilusi.

Kehendak adalah akar dari rasa sakit dan derita. Esensi sejati manusia adalah subjek menghendaki. Segala peristiwa batin manusia adalah pengaruh dari kehendak, adukan, dan kombinasi dari menghendaki, dan tidak menghendaki. Kehendak yang terpenuhi disebut sebagai kepuasaan, kebahagiaan. Sementara rintangan yang menghalangi pemenuhan hasrat disebut penderitaan. Kebahagiaan dan penderitaan bervariasi dalam derajat dan jenis, akan tetapi semua dapat dilacak kembali pada pengaruh menghasrati dan tidak menghasrati, yakni pada kehendak yang menyadari dirinya dalam keadaan terpuaskan atau tak terpuaskan.

Basis dari semua kehendak adalah kebutuhan dan rasa kurang. Ketika kita merasa kurang, secara otomatis kita mencari sesuatu yang bisa membuat kita merasa cukup, puas, dan tidak kekurangan lagi. Ketidakpuasan dan rasa kurang ini harus diisi – bila ingin berbahagia – melalui upaya pemenuhan hasrat. Selama pemenuhannya tak kunjung tiba, selama itu pula kita akan merana.

Karena itulah kegagalan, dalam berbagai bentuknya, selalu menyakitkan. Benar bahwa tidak semua ketidakpuasan mengimplikasikan derita.  Namun poin yang ingin Schopenhuaer sampaikan adalah dalam setiap episode menghendaki selalu terdapat ketidakpuasan dan rasa kurang yang menyakitkan. Penderitaan baru menghujam ketika muncul frustasi berkepanjangan atas kegagalan memenuhi kehendak demi tercapainya hidup yang nyaman, sejahtera, dan sehat.

Hewan juga menderita karena mereka adalah mahkluk menghendaki, tapi rasa sakit manusia jauh lebih beragam karena kita memiliki apa yang disebut Leibniz sebagai apperception, yakni gabungan antara kesadaran-diri dan akal. Apperception memungkinkan kita tetap merasakan sakit dari peristiwa lampau, cemas akan masa depan, dan malu akan suatu hal. Ia juga membuat manusia merasa harus menjadi hebat, sukses, rupawan, dihormati; pendeknya hal-hal tambahan yang membuat hidup terasa begitu menekan. Akibatnya, manusia dapat merasakan derita karena perang, penindasan, kehilangan, dan kemiskinan yang pahit. Pada binatang penderitaan semacam ini absen sama sekali.

“Dari semua yang bernapas dan merangkak melintasi dunia tak ada yang hidup lebih menderita daripada manusia,” kata Zeus dalam Iliad (1990, 892).

Dengan berbagai macam rasa sakit dan derita yang menanti manusia, bagaimana mungkin kita tetap tega melahirkan anak-anak ke dunia? Tidakkan kita terlalu mengutamakan kepentingan pribadi saat membawa mereka menuju eksistensi? Kehendak kita memang terpuaskan dengan melahirkan anak, tapi tidakkah menggunakan orang lain sebagai pemuas kehendak adalah tindakan keji di saat begitu banyak ancaman yang menantinya dalam eksistensi?

Bayi-bayi potensial yang menjadi aktual dalam eksistensinya akan mengalami berbagai rasa sakit. Misal, menjadi korban pemerkosaaan (dan perceraian orang tuanya) seperti yang menimpa tiga anak di Luwu Timur.  Jelas tak semua anak akan menjadi korban pelecehan, tapi sebagian anak sangat mungkin akan hidup melarat seumur hidup, sebagian lagi tumbuh dalam perang yang berkecamuk, atau kehilangan orang tua di usia dini, atau menjadi korban perundungan, atau mengalami kecacatan, atau mengidap penyakit yang merepotkan. Bila ada anak yang beruntung terhindar dari kemalangan-kemalangan tersebut, mereka akan mengalami satu atau dua atau bahkan lebih penderitaan itu saat tumbuh.

Kalau pun ternyata tidak, akan selalu ada rasa sakit menunggu: tidak percaya diri dengan fisik yang dimiliki, rendah diri melihat pencapaian orang lain, terasing, merasa iri, dikhianati, dihina, depresi, gairah hidup yang menurun drastis, kerja keras yang tiada habisnya, harapan-harapan yang berujung kecewa, impian-impian yang berkarat, cinta yang tak sampai, dan patah hati. Anak-anak potensial yang tidak pernah menjadi aktual adalah yang bernasib paling baik karena tidak perlu merasakan itu semua.

Jadi bila kita memikirkan kepentingan bayi-bayi potensial, tidak membawanya ke dunia adalah pilihan paling tepat. Mereka tak perlu menjalani hidup yang penuh derita dan rasa sakit ini. Mereka  tak akan rugi apa pun bila tidak pernah menikmati indahnya dunia. Toh derita yang kita alami tak memiliki tujuan pamungkas apa pun. Para anak potensial tak perlu merasakan apa yang kita rasakan. Mereka tak perlu terlahir dan menderita hanya demi memuaskan kehendak kita. Penciptaan kehidupan baru adalah tindakan egoistis, tanpa empati, di saat rasa sakit dan derita tak terhindarkan dalam eksistensi. Bayi-bayi potensial tidak memiliki kesalahan apa pun sehingga layak dihukum untuk menjalani kehidupan. Mengutip apa yang dikatakan Rustin Cohle dalam serial True Detective, “dari dosa menjadi ayah (dan ibu).”

I Ketut Sawitra Mustika
I Ketut Sawitra Mustika Lulusan Magister Ilmu Filsafat Universitas Indonesia. Tertarik pada metafisika Schopenhauer dan Leibniz.

0 Replies to “Kehendak adalah Derita: Argumentasi Filosofis dan Ideologis untuk Childfree”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email