Konon katanya sebelum manusia lahir, waktu masih berada di rahim, menjadi janin berusia empat bulan, Tuhan menawarkan perjanjian kepada calon manusia melalui perantara malaikat untuk menimbang kembali apakah ia benar-benar ingin dilahirkan. Keyakinan umum ini seringkali dijadikan dalih buat menyalahkan orang yang mengeluh terkait masalah hidupnya.
Saya pribadi pernah bertemu lawan bicara yang punya keyakinan semacam ini ketika saya mengeluhkan masalah hidup. Dengan seenak udel ia bilang, “Kalo gitu kenapa dulu lo setuju dilahirin ke dunia? Lo sendiri yang bikin hidup lo menderita!”. Sedih sekali rasanya. Sudah sakit karena kehidupan, giliran ngeluh malah di-ulti dengan kata-kata pedih. Tidak heran banyak orang yang mengakhiri hidupnya.
Dengan tidak bermaksud menjadi anak durhaka, saya berani bilang kalau orang tualah yang membuat kita—sebagai janin—ada terlebih dahulu, sebelum kita ditanya tujuh puluh tujuh kali oleh malaikat perwakilan Tuhan. Itu pun jika diandaikan perjanjian Tuhan dan manusia benar adanya. Artinya, orang tua yang bertanggung jawab atas penyebab kehadiran kita di dalam keadaan perjanjian itu. Orang tua kitalah yang menginginkannya terlebih dulu. Setelahnya baru kita berada di perjanjian antara Tuhan dan calon manusia.
Kita bisa saja menyalahkan orang tua atas dasar keinginan mereka yang membuat kita selamat sentosa sebagai janin, bisa lahir ke dunia, serta merasakan penderitaan dan pelbagai kepahitan hidup. Namun kesalahan itu tidak mutlak layak ditimpakan kepada mereka semata. Tuntutan sosial (bagaimana pun bentuknya) dan common sense yang jadi kewajaran umum dalam menjalani hidup turut memengaruhi.
Kekeliruan Naturalistik dalam Memandang Keharusan untuk Punya Anak
Melahirkan dianggap sebagai hal yang sudah semestinya dilakukan oleh perempuan yang bisa dibuahi. Begitulah yang isi kepala orang tua saya. Mereka hidup dalam sistem sosial yang mengharuskan mereka untuk memiliki anak. Ya, sebagaimana orang Indonesia pada umumnya. Umur sudah matang bereproduksi, biasanya bakal ditanya “kapan nikah?”. Saat sudah menikah, ditanya lagi “kapan punya anak?”. Seolah-olah menikah dan memiliki anak adalah kewajiban.
Perempuan yang sudah produktif secara seksual memang bisa melahirkan, tapi bukan berarti mereka diharuskan punya anak. Nilai-nilai yang terbangun di masyarakat bersifat keliru kalau mengharuskan suatu tindakan berasal dari kewajaran alamiah (bahasa gampangnya, “kodrat”). Kekeliruan dalam mencampurkan perbedaan antara “apa yang sebenarnya” (terkait kemampuan perempuan mempunyai anak) dengan “apa yang seharusnya” (keharusan perempuan mempunyai anak) merupakan kekeliruan naturalistik (naturalistic fallacy).
Kekeliruan naturalistik dibahas panjang lebar oleh G.E. Moore pada buku Principia Ethica. Konsep ini berangkat dari is-ought problem-nya David Hume yang kadang-kadang juga disebut Hume Gouillotine. Masalah itu terjadi ketika seseorang mengklaim “apa yang seharusnya terjadi” (what ought to be) berdasarkan “apa yang sebenarnya” (what is).
Kendati Moore tidak mempermasalahkan sistem moral yang bersumber dari what is, ia tetap menganggap bahwa nilai kebaikan tidak cuma berpatokan dengan apa yang terjadi di alam. Memang banyak hal yang alami itu baik, tapi tidak semua hal yang tidak alami itu tidak baik. Begitu pula sebaliknya, yang alami belum tentu baik. Kebaikan berkaitan dengan pernyataan preskriptif, sementara kebenaran berkaitan dengan pernyataan deskriptif. Kebaikan mengarah pada tujuan yang semestinya diharapkan, beda dengan kebenaran yang bersifat apa adanya. Kedua hal itu berbeda, dan mencampuradukkan keduanya secara sembarangan adalah keliru.
Ketika seseorang memiliki kemampuan melahirkan, maka berada dalam taraf what is. Masalah seseorang memilih apakah ia mau punya anak atau tidak, masuknya ke taraf what ought to be. Sayangnya perbedaan ini tidak dipahami oleh penentang childfree mainstream. Kebanyakan moral gatekeeper yang kontra childfree menyatakan bahwa tidak memiliki anak bukanlah kodrat manusia. Mereka menyimpulkan pilihan untuk tidak memiliki anak adalah salah. Pedahal, pola pikir merekalah yang keliru dengan menyamakan fakta manusia yang ‘subur’ dan keharusan manusia ‘subur’ untuk beranak-pinak.
Memilih Childfree Tidaklah Egois, Justru Ada Sistem Etika yang Membenarkannya!
“Terus, apa fungsi kesuburan kalo gak dipake buat beranak? Emang dasar lo-nya aja yang egois gak mau punya keturunan!”, tulis salah satu netizen anti Childfree yang berlagak kesal.
Dikira punya anak segampang memelihara kambing, kali? Kalau bisa memilih bayangan kehidupan yang ideal, serta menghindari potensi yang belum bisa dipilih (karena masalah tanggung jawab, misalnya), mengapa tidak memilih menghindar?
Manusia tidak seperti binatang non-Homo Sapiens yang aktivitasnya lebih sederhana dan takluk begitu saja dengan yang “natural”. Manusia tidak hanya sekadar makan, tidur, dan melahirkan, tapi juga membangun peradaban yang sedemikian kompleksnya melalui suka dan duka. Kita bisa menentukan bagaimana masa depan yang baik bagi kita sendiri. Kita bisa mengubah dan merekayasa alam demi tujuan yang seideal mungkin, bukannya malah takhluk sama kodrat yang sebenarnya bisa dicegah.
Ketika terjadi pemaksaan pada individu untuk memiliki anak, pedahal ia sendiri belum bisa bertanggung jawab sepenuhnya, maka tidak usah heran kalau nanti ia tidak bisa membesarkan anaknya dengan rasa tanggung jawab. Jangankan yang belum bisa tanggung jawab, yang sudah siap dan mampu saja tidak dapat menjamin ia akan terus tanggung jawab ke depannya. Contohnya orang yang sebatas mengandalkan keyakinan positif pada Tuhan tanpa pertimbangan rasional dalam bertindak. Tiba-tiba anaknya kekurangan gizi, kurang kasih sayang, terlantar, dan depresi akibat ortunya tidak bertanggung jawab secara rasional. Lantas, mau menenangkan diri dan anaknya dengan berkata kalau itu cobaan Tuhan?
Terlepas dari pertimbangan serasional mungkin, atau semapan keluarga Gen Halilintar dan Raffi Ahmad, bagaimanapun penderitaan seorang anak niscaya ada. Suatu saat si anak akan merasakan penderitaan. Lebih jauh lagi, bisa saja ia merasa lebih baik tidak dilahirkan dan malah menyalahkan orang tua yang telah melahirkannya. Jelas, ia bisa menyalahkan orang tuanya karena ia dilahirkan secara sepihak, bukan melalui konsennya.
David Benatar melalui Better Never to Have Been ingin bilang kepada kita: secara etis lebih baik tidak melahirkan dibanding melahirkan. Bagaimana mungkin tidak melahirkan justru lebih bermoral?
Benatar menyusun konsep antinatalismenya melalui bentuk argumen asimetri (asymetry between good and bad things). Argumennya sebagai berikut:
Skenario A, pro-kelahiran (seseorang eksis):
- Kehadiran rasa sakit = buruk
- Kehadiran rasa senang = baik
Seknario B, anti-kelahiran (seseorang tidak eksis):
- Ketidakhadiran rasa sakit = baik
- Ketidakhadiran rasa senang = tidak buruk
Dari argumen tersebut dapat disimpulkan bahwa skenario A (seseorang dilahirkan) menghasilkan hal baik dan buruk, sementara skenario B (seseorang tidak dilahirkan) menghasilkan hal baik dan tidak ada hal buruk. Jadi pilihan untuk tidak melahirkan lebih etis karena ketiadaan hal buruk.
Bahkan Prokreasi adalah Kejahatan!
Kalau dipikir-pikir lagi hasil konstruksi dari argumen asimetri sederhana, yaitu mengantisipasi potensi penderitaan lebih baik ketimbang menciptakan potensi kebahagiaan, mirip utilitarianisme negatif. Dengan hasil konstruksi ini seharusnya kita tidak memiliki kewajiban moral untuk mempunyai anak. Sebaliknya, kita memiliki kewajiban moral untuk tidak melahirkan seseorang yang nantinya akan menderita.
Melahirkan anak dengan maksud agar ia bahagia bukanlah alasan moral yang tepat untuk melahirkannya. Sebaliknya, dengan berpikir untuk tidak melahirkannya, justru terdengar lebih bermoral.
Prokreasi atau tindakan yang terlibat dalam kelahiran merupakan tindakan yang sepihak dan tanpa kesepakatan. Dengan terlibat dalam kelahiran, seseorang secara otomatis bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami orang yang dilahirkan. Perlu dicatat pula bahwa pihak yang terlibat dalam kelahiran bukan cuma orang tua biologis si anak saja, tapi siapa pun yang mengintervensi kemungkinan si anak untuk lahir.
Praktisi prokreasi menganggap kelahiran berpotensi menciptakan kebahagiaan bagi orang yang dilahirkan. Meskipun tidak selamanya penderitaan itu menghinggapi kehidupan seseorang dan ia dapat merasakan kebahagiaan, tapi orang yang lahir bisa saja tumbuh sampai ke tahap “terminalitas keberadaan” (terminality of being) kalau mengacu ke Julio Cabrera.
Terminalitas keberadaan adalah kondisi ketika seseorang sudah tidak tahan lagi dengan perjuangan menjadi manusia. Ia bisa menjadi manusia agresif, mengidap gangguan mental, dan konsekuensi terburuknya bunuh diri. Dengan demikian, menempatkan seseorang yang dilahirkan pada keadaan yang berpotensi ke arah terminalitas keberadaan (melebihi penderitaan), tanpa persetujuan orang itu, maka itu artinya melakukan kejahatan.
*****
Editor: Moch Aldy MA