Persoalan tubuh adalah persoalan yang sangat seksi. Ini bukan soal seksi dalam arti sempit yang dapat merangsang gairah seksual seseorang. Tubuh adalah persoalan yang sangat seksi karena ia selalu berkelindan dengan kepentingan-kepentingan kebudayaan. Ia diatur sedemikian rupa agar tetap dalam koridor kewajaran yang selama ini dikonstruksikan melalui medium kebudayaan.
Akibatnya, tubuh tidak lagi berhenti sebatas tubuh biologis, melainkan melampauinya menjadi tubuh yang politis dan bertindak sebagai agen dalam relasi sosial. Tubuh menjelma menjadi arena kontestasi yang diperebutkan tafsirnya oleh macam-macam arus kebudayaan. Pertarungan wacana dalam isu ketubuhan menjadi satu pergulatan yang sangat seksi dan mengundang syahwat perdebatan di antara para pelakunya.
Pertarungan wacana ketubuhan ini tidak hanya terjadi pada kelompok heteroseksual, tetapi juga terjadi pada kelompok homoseksual untuk memperebutkan makna dan fantasi ideal seorang laki-laki. Dalam budaya patriarki, laki-laki ditetapkan gendernya melalui kode-kode tertentu yang dipertontonkan melalui medium-medium kebudayaan, baik melalui majalah, film, lagu, maupun cara berpakaian. Seolah-olah, identitas kelaki-lakian menjadi satu hal yang rigid sehingga mereka yang keluar dari aturan pakem tersebut dianggap kekurangan nilai maskulin dan, karenanya, menyimpang.
Hal itulah yang menimpa laki-laki dengan orientasi homoseksual. Mereka dianggap menyimpang dari aturan-aturan tersebut dan keluar dari wacana kewajaran. Akibatnya, seorang laki-laki homoseksual tak jarang mendapatkan represi dan opresi dari masyarakat karena orientasi seksual mereka yang berbeda. Maskulinitas mereka sebagai seorang laki-laki dipertanyakan, bahkan cenderung dimarjinalkan. Praktik-praktik represi dan opresi ini membuat laki-laki homoseksual dipaksa masuk ke maskulinitas subordinat sebagai sanksi atas penyimpangan dari pakem maskulinitas dominan.
Tukar Tambah Nilai
Komunitas laki-laki homoseksual sering kali pecah kongsi dalam menghadapi represi dan opresi dari maskulinitas dominan. Beberapa orang “tak mempermasalahkan” hal tersebut, bahkan berani untuk menyubversi apa yang dianggap pakem. Jalan berisiko ini mereka ambil sebagai bagian dari kedaulatan atas dirinya sendiri. Mereka tak mau masuk dalam fantasi ideal seorang laki-laki yang merupakan konstruksi yang terus-menerus direproduksi dan dipaksakan terhadap subjek seperti dirinya.
Mereka yang berani menyubversi dan menolak pendisiplinan maskulinitas tersebut memahami bahwa dirinya adalah subjek yang aktif dalam membentuk identitas diri melalui apa yang dimaksud Judith Butler sebagai “performativitas”. Mudahnya—meminjam istilah Simone de Beauvoir—subjek tidak dilahirkan sebagai seorang subjek, melainkan berproses menjadi seorang subjek. Proses kemenjadian ini yang menjadi titik tolak kesadaran mereka dalam menolak wacana kewajaran maskulinitas dominan.
Namun, sialnya, norma-norma maskulinitas dominan ini kerap membuat laki-laki homoseksual terjebak—jika tak boleh dibilang bersikap hipokrit—terhadap apa yang disebut maskulinitas dominan tadi. Mereka melakukan kompromi antara seksualitas pilihannya dan aturan ketubuhan yang dilanggengkan Ada semacam tukar-tambah nilai melalui praktik-praktik sosial yang menampilkan tipe-tipe ideal bentuk tubuh seorang laki-laki yang secara vulgar tercermin dalam pembentukan otot, postur tubuh, sampai cara berpakaian.
Perlu ditekankan kembali, dalam budaya patriarki tadi, laki-laki homoseksual adalah laki-laki yang kekurangan nilai maskulin. Subjek akhirnya mengamini bahwa tubuh menjadi semacam display atas ke-macho-an seorang laki-laki. Alhasil, tempat-tempat gym dan fitness melampaui fungsinya—subjek ke sana tidak hanya untuk mencapai kebugaran jasmaniah, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam melanggengkan wacana tubuh di bawah asuhan maskulinitas dominan.
Secara nyata, mudah sekali mencium dan melacak fenomena ini di media sosial, terutama di Twitter. Orang pergi ke pusat kebugaran tidak berhenti untuk menyehatkan tubuh, tapi melampauinya dengan mengunggah foto atau video untuk menunjukkan kode-kode maskulin seperti massa otot ke platform tersebut.
Friksi di Tubuh Komunitas
Fenomena hipokrit itu membuat laki-laki homoseksual dengan identitas feminin mengalami represi dua kali lebih banyak, baik oleh maskulinitas dominan maupun maskulinitas subordinat itu sendiri—jujur saja, saya belum menemukan istilah yang cocok untuk hal ini. Tubuh mereka yang jauh dari kode laki-laki maskulin, sikap mereka yang feminin, dan cara berpakaian mereka yang menyerupai perempuan membuat mereka menjadi sasaran represi, bahkan oleh sesama laki-laki homoseksual.
Pola keterbelahan ini muncul karena masih ada—mengubah istilah Pram—sikap tidak adil dalam pikiran subjek. Laki-laki homoseksual yang ngondek atau femboy mengalami peminggiran yang dilakukan oleh kelompoknya sendiri. Akhirnya, kelompok homoseksual menjadi eksklusif. Alih-alih saling mendukung untuk menyubversi gagasan seksualitas dan gender dalam isu ketubuhan yang dikonstruksi sebagai pakem, mereka malah terjerembab pada wacana kewajaran yang sebenarnya mereka tolak sedari awal.
Awalnya, orang akan mengira bahwa praktik tersebut hanya akan berhenti di sana. Tragisnya, tidak. Praktik represi dan opresi tadi tidak berhenti dilakukan oleh para pelaku insertif (top), tapi juga dilakukan oleh sesama pelaku desertif (bottom).
Beberapa waktu lalu, muncul sebuah opini sempalan di kalangan pelaku desertif untuk tetap mempertahankan sikap kelaki-lakian mereka di tengah gempuran sikap feminin para pelaku desertif. Subjek feminin secara sengaja dikeluarkan dari hitungan. Mereka dianggap sebagai anomali. Itu artinya, laki-laki feminin sebagai pelaku desertif mengalami represi tiga kali lebih banyak—oleh subjek cishet, oleh subjek yang melakukan pertukaran nilai, baik dari pelaku insertif maupun sesama pelaku desertif itu sendiri. Padahal, gerakan LGBTQIA+ tidak akan menemukan bentuknya seperti sekarang tanpa keikutsertaan mereka yang mengidentifikasi diri sebagai laki-laki feminin.
Baca juga:
Orang boleh mengajukan preferensi sebagai alasan untuk menjalin satu relasi. Namun, konsep preferensi itu sendiri mesti diproblematisasi karena ia tidak hadir dalam ruang yang vakum konteks sosial dan budaya. Ia berkelindan dengan konsep tubuh sebagai agen relasi. Kedua-duanya terhubung dan saling diperebutkan tafsirnya.
Perlu keberanian yang radikal untuk memandang dan memperlakukan orang lain sebagai subjek setara. Hal itu harus dimulai oleh anggota komunitas itu sendiri dengan mengakui bahwa seksualitas dengan segala pernak-perniknya selalu mempunyai kemungkinan-kemungkinan.
Editor: Emma Amelia