Membongkar Elitisme Akademisi

Dito Yudhistira

3 min read

Harus kita sepakati bahwa pengetahuan merupakan jembatan untuk menghubungkan manusia dari berbagai latar belakang dan status sosial mengenal dunia yang lebih luas. Oleh sebab itu, pengetahuan seharusnya bersifat inklusif dan mudah diakses oleh siapa saja tanpa terkecuali.

Namun, yang terjadi adalah terdapat tembok pemisah antara ilmu pengetahuan dan masyarakat umum. Ironisnya, banyak akademisi yang ikut andil dalam proses pemisahan ini. Membuktikan pernyataan ini cukup mudah, silahkan baca karya-karya akademisi siapa saja. Karya itu setidaknya akan memiliki satu kemiripan, yakni diksi dan gaya penulisan yang rumit.

Hal tersebut secara tidak langsung akan menciptakan kesan bahwa ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang eksklusif; hanya bisa dinikmati oleh mereka yang terpelajar. Fenomena ini bukan hanya membatasi akses pada pengetahuan, tetapi sekaligus memperlebar kesenjangan sosial dan intelektual dalam masyarakat.

Kembali ke pertanyaan paling mendasar: apa tujuan utama dari pengetahuan? Apakah pengetahuan hanya untuk dinikmati sekelompok kecil intelektual, atau pengetahuan seharusnya menjadi pencerah bagi kehidupan masyarakat?

Elitisme Akademik Pembatas Akses Pengetahuan

Elitisme akademik merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan dunia akademik yang menjadi terlalu eksklusif akhir-akhir ini. Dalam tradisi ini, karya ilmiah cenderung dikemas dengan bahasa yang sulit, seolah-olah hanya diperuntukkan pada pembaca yang memang sudah ahli dalam bidangnya. Akibatnya, masyarakat sering kali kesulitan memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh akademisi.

Sebagai contoh, buku pengantar dalam berbagai disiplin ilmu tak jarang menjadi penghalang bagi masyarakat yang ingin mendalami topik tertentu. Sebagai sebuah pengantar, buku-buku ini seharusnya membantu pembaca yang belum familiar dengan konsep-konsep teknis dan ilmiah. Buku pengantar adalah gerbang awal bagi pembaca untuk mempelajari pengetahuan.

Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, membaca buku pengantar justru menciptakan kebingungan baru bagi pembaca. Kalimat-kalimat panjang ditambah pemilihan diksi yang terlalu rumit membuat pembaca dengan mudah merasa teralienasi (terasingkan). Bukan tidak mungkin, kerumitan ini juga yang menyebabkan masyarakat enggan untuk sekadar membaca buku atau mempelajari pengetahuan baru.

Jebakan dalam Bahasa Intelektual dan Ego Akademisi

Lebih dari itu, perlu digarisbawahi bahwa bahasa merupakan alat komunikasi, bukan alat untuk menegaskan kekuasaan intelektual. Namun, yang terjadi dalam dunia akademik saat ini adalah bahasa sering kali menjadi pembeda antara mereka yang “tahu” dan “tidak tahu”. Seakan-akan semakin rumit diksi yang digunakan, maka semakin tinggi nilai intelektual yang melekat pada orang tersebut.

Memang tak bisa dimungkiri bahwa ada dorongan dalam dunia akademik untuk menunjukkan kedalaman dan kompleksitas ide yang sedang dibahas. Akhirnya, hal ini berujung pada penggunaan diksi-diksi teknis atau abstrak untuk menonjolkan argumen. Dalam banyak hal, metode ini berguna untuk mendeskripsikan konsep yang kompleks.

Akan tetapi, penggunaan diksi dan gaya bahasa yang terlalu rumit sering kali juga menjebak. Ada akademisi sering kali tidak menyederhanakan penjelasan dengan maksud untuk menunjukkan intelektualitas yang lebih tinggi. Hal ini juga menciptakan ilusi seakan-akan pendekatan yang serba rumit lebih unggul daripada pendekatan yang lebih sederhana dan mudah dipahami.

Dampak dari Eksklusivitas Pengetahuan

Pengetahuan yang terlalu eksklusif memiliki beberapa dampak yang signifikan. Pertama, menjadi pemisah antara ilmu pengetahuan dan masyarakat. Ketika akademisi berkutat pada diskusi yang abstrak dan teoretis, masyarakat justru diabaikan tanpa akses yang memadai pada pengetahuan itu sendiri. Padahal, bisa jadi berbagai permasalahan hidup mereka bisa teratasi dengan pengetahuan.

Kedua, elitisme akademik juga berpotensi menghalangi kolaborasi lintas disiplin. Dewasa ini, dunia menjadi semakin kompleks, tak bisa dimungkiri bahwa solusi untuk masalah-masalah besar, seperti perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, dan kesehatan masyarakat adalah kolaborasi lintas disiplin ilmu. Namun, jika setiap disiplin ilmu hanya mau “berbicara” dalam bahasanya sendiri, kolaborasi ini akan sulit terwujud.

Terakhir, elitisme akademik akan mengurangi relevansi dunia akademik—bahkan pengetahuan—di masyarakat. Di masa pertukaran informasi yang serba cepat, masyarakat akan lebih relevan dengan konten yang mudah dicerna dan dekat dengan kehidupan mereka. Gaya bahasa khas akademisi yang rumit dan susah dipahami jelas tidak relevan bagi mereka.

Akademisi Harus Membumi

Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan ini, akademisi perlu melakukan introspeksi dan perubahan. Salah satu langkahnya adalah dengan kembali membumi. Dalam arti lain, mendorong akademisi untuk menciptakan karya atau pembelajaran yang lebih inklusif dan dapat diakses berbagai kalangan.

Kemampuan untuk melakukan analisis dan penelitian yang tajam memang penting, tetapi keterampilan dalam berkomunikasi juga sesuatu yang perlu diperhatikan. Kemampuan dalam menjelaskan konsep yang kompleks dengan cara lebih sederhana merupakan faktor penting untuk mendukung kemampuan intelektual yang mendalam.

Akademisi juga perlu merefleksikan kembali paradigma pembelajaran yang dianggap sebagai standar intelektual. Perlu ada kesadaran bahwa intelektualitas seseorang tidak dicerminkan melalui penggunaan diksi-diksi yang abstrak dan rumit. Sebaliknya, akademisi yang mampu menjelaskan konsep rumit dengan cara yang sederhana menunjukkan pemahaman yang jauh lebih mendalam.

Dalam konteks kepenulisan, ada satu kutipan yang saya temukan di internet berbunyi, “Tulisan yang baik adalah susunan kalimat pendek yang tidak perlu dibaca dua kali untuk memahami maknanya.” Barangkali kutipan ini bisa digunakan sebagai acuan sebelum menulis karya ilmiah—terutama buku pengantar.

Pengetahuan Harus Dibagi Rata

Jika pengetahuan adalah lilin pencerah, maka pengetahuan harus bisa diakses oleh siapa saja. Bukan terbatas pada elit intelektual, bukan juga hanya mahasiswa perguruan tinggi. Semuanya, merata tanpa terkecuali. Akademisi perlu mengambil langkah untuk keluar dari kayangan dan turun ke bumi untuk membersamai masyarakat.

Elitisme akademik hanya berkontribusi pada lebarnya jurang antara mereka yang memiliki akses pada pengetahuan dan mereka yang tidak. Sementara itu, pengetahuan yang lebih inklusif dan dapat dipahami semua kalangan akan membuat akademisi memainkan peran penting dalam mencerahkan dan memberdayakan masyarakat.

Pada akhirnya, tujuan dari pengetahuan harus dikembalikan untuk memperbaiki kehidupan bersama. Agar pengetahuan dapat menjalankan fungsi tersebut, ia harus mudah diakses dan dipahami oleh sebanyak mungkin orang. Inilah saatnya bagi akademisi untuk mengesampingkan ego intelektual dan mulai berbicara—sekaligus memahami—masyarakat.

Dito Yudhistira

One Reply to “Membongkar Elitisme Akademisi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email