“Ini tragedi bangsa yang sangat luar biasa, tak bisa dikaitkan dengan politik semata-mata. Di sini bercampur antara fitnah, balas dendam, iri, dan sejenisnya. Lalu siapa yang paling dekat dengan kekuasaan, dia yang memanfaatkan situasi.” (hal. 193)
Kisah pembunuhan jenderal pada akhir September tentu sudah jamak dibicarakan secara formal maupun diskusi santai. Diikuti dengan pembahasan peristiwa penangkapan ribuan orang yang dianggap kiri setelahnya. Namun, pada lazimnya, pembahasan peristiwa G30S atau Gestok hanya berfokus pada pembantaian di Pulau Jawa.
Melalui bukunya, Putu Setia memberikan pandangan baru perihal topik ini. Dalam Lentera Batukaru: Tragedi Kemanusiaan Pasca-1965 (2019), ia merinci bagaimana peristiwa yang berpusat di ibukota negara berimbas hingga pelosok Indonesia. Buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) tersebut merangkum memoar Putu Setia sebagai saksi pembantaian dan bersih lingkungan di wilayah Tabanan, kaki Gunung Batukaru, Bali.
Perjalanan bermula ketika suami dari sepupunya ditangkap pada dini hari. Tak tahu apa salahnya dan bagaimana kondisinya kemudian. Satu hal yang pasti, penangkapan paksa itu berdampak pada nasib dan psikis keluarga yang ditinggalkan hingga bertahun-tahun kemudian.
Putu juga merinci betapa kisruhnya masyarakat desa saat itu. Setiap hari mereka dilanda ketakutan, was-was jika keluarganya juga menjadi korban. Perekonomian memburuk, sekolah ditutup, bahkan stigma negatif tak luput diberikan kepada keluarga dan “arwah” terduga PKI.
Asal Tangkap
Sayangnya, tidak semua orang yang ditangkap merupakan anggota partai PKI dan/atau turunannya. Seperti yang terjadi pada I Nyoman Mastra, suami dari sepupu Putu (Mbok Ngarti) yang ditangkap karena salah paham semata. Meski tanpa bukti kuat, toh Mastra tetap tidak diberikan kesempatan untuk membela diri dan menjelaskan situasi. Tanpa diadili, ia diculik dan (kemungkinan besar) dihabisi. Sebagaimana yang diutarakan Mbok Ngarti kepada Putu:
“Bli Mastra hanya sebagai buruh pembuat panggung. Ia mau karena dijanjikan tak akan ada masalah dari acara BTI itu. … Bli Mastra disuruh berjaga-jaga dekat panggung kalau terjadi sesuatu, siapa tahu panggung roboh. Bli Mastra mau saja. Lalu orang mengira Bli Mastra adalah bagian BTI itu, malah disebut aktivis.” (hal. 80)
Bertahun-tahun kemudian, setelah Putu dewasa dan berpengalaman sebagai jurnalis Tempo, barulah Putu mengerti bahwa fenomena asal tangkap tak hanya terjadi di desa kecil di Bali.
“Kalau yang Guru baca dari koran dan majalah, juga penuturan orang-orang, justru yang dihabisi tentara itu orang-orang kecil. Yang ditahan itu gembong-gembong kelas atas, pengurus tingkat pusat. Itu namanya tahanan politik dan dikumpulkan di Pulau Buru.” (hal. 152)
Imbas Berkepanjangan
Cerita mengenai kelanjutan nasib korban penangkapan hanya ada dua pilihan: disiksa atau dibunuh seketika. Akan tetapi, imbas dari pembantaian masal tersebut tak hanya dialami oleh korban. Keluarganya pun turut mengalami kesulitan sepanjang hidupnya selama bertahun-tahun.
Misalnya, Mbok Ngarti yang diberhentikan secara paksa sebagai petani kopi gara-gara suaminya dianggap terlibat PKI. Meski ia sudah mengatakan bahwa suaminya hanya korban salah tangkap dan dirinya tak mau tahu urusan politik, tapi toh keputusan pemerintah tak dapat dinegosiasi.
“Begini…. Bu Wayan tak boleh menjadi penggarap lagi. Siapa pun yang punya kebun tak boleh memberikan hak menggarapnya kepada Bu Wayan. Itu keputusan pemerintah.” // “Bu Wayan dinyatakan tak bersih lingkungan….” (hal. 78)
Partai PNI (yang di Bali sebagai rival PKI) sudah berupaya memberi kartu anggota PNI kepada orang-orang yang dulu dekat bahkan terlibat dengan PKI. Hal itu semata-mata untuk memberikan perlindungan kepada kerabat dan tetangga yang sudah dianggap sebagai saudara. Namun, mereka tetap dilabeli sebagai “tak bersih lingkungan” sehingga mempersulit mobilitas dalam berniaga. Padahal, mata pencaharian warga kaki gunung tak jauh-jauh dari bertani dan berdagang.
Kemalangan juga menimpa anak Mbok Ngarti dan Bli Mastra, I Wayan Sunawa. Pergerakannya dibatasi, bahkan untuk sekadar berekspresi melalui seni.
“Tentara itu menyebutkan saya tak boleh main drama kalau tidak dapat izin dari koramil. Apa-apa harus minta izin, saya tak sama dengan anak-anak yang lainnya.” (hal. 112)
Seolah belum cukup menyiksa, diskriminasi juga mereka peroleh dari warga sekitar. Seperti pada saat upacara Ngaben yang rutin dilakukan setiap lima tahun sekali, warga keberatan jika arwah leluhur mereka dingaben bersama arwah PKI.
“Selentingan yang saya dengar, warga yang keluarganya ikut dalam upacara ngaben tidak rela kalau ngaben itu diikuti pula oleh “mayat orang PKI”. Wow, kalau itu benar, betapa kejamnya. Tak tahu lagi siapa yang harus digugat. Sudah menjadi mayat pun masih pula ada perbedaan perlakuan antara “orang PKI” dan “bukan PKI“. (hal. 145)
Ekspansi Golkar dan Nasib Partai Pasca ‘65
Mulai tahun 1971, seiring dengan Pemilu pertama pada masa Orde Baru, Soeharto memerintahkan agar seluruh partai dibubarkan. Termasuk PNI yang merupakan rival PKI. Para tentara diperintahkan untuk menyosialisasikan aturan ini hingga ke Bali. Partai-partai yang telah bubar kemudian dileburkan pada satu wadah yang kemudian disebut kekaryaan. Di Bali sendiri, sudah disiapkan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) untuk mewadahi.
Baca juga:
- Merawat Ingatan Penyintas 1965 Melalui Suara Merdu Ibu-Ibu Dialita
- Orde Baru Bangkit Lagi di Kepalamu
- Pelanggaran HAM dan Kultur Penyangkalan yang Persisten
Upaya peleburan partai-partai menjadi kekaryaan ini merupakan bentuk penggolkaran secara masif demi memuluskan jalan Soeharto untuk terpilih sebagai presiden (lagi). Tak hanya menghapus partai, tentata yang ditugaskan ke pelosok juga memaksa para warga agar mencoblos Golkar saat pemilu.
Putu yang sejak usia remaja sudah aktif di PNI, bahkan menjadi ketua tingkat desa saat usianya masih belasan tahun, tentu memilih PNI saat pemilu. Kenekatan yang malah membuka kenyataan, bahwa Pemilu 1971 telah dimonopoli oleh Golkar.
“Slogan luber yang artinya langsung, umum, bebas, rahasia ternyata tak punya makna apa-apa. Target sudah ditetapkan secara nasional, Golkar harus menang tujuh puluh persen. Sampai di desa dan banjar targetnya jadi seratus persen.” (hal. 126)
Kertas suara telah diberi kode sesuai nomor urut pencoblos. Apabila saat perhitungan suara terdapat kartu yang memilih partai selain Golkar, si pemilih akan didatangi oleh petugas. Sedangkan kertas suaranyanya akan dibuang dan dianggap tidak sah. Kemudian, kertas suara milik warga golput yang masih kosong dicoblos oleh panitia pemilu pada gambar lambang Golkar.
Plot Menjalar
Saya menyukai gaya bercerita Putu Setia yang lugas dan tidak meromantisasi keadaan. Seolah ingin menunjukkan bagaimana kondisi psikologis seorang lelaki pada masa kacau. Meski dalam beberapa situasi ia turut melibatkan perasaan—terutama jika berkaitan dengan ibu, tetapi ia tak lantas menggaungkan duka dan kenestapaan hidup sebagai alasan untuk terpuruk. Putu memilih bangkit dan menarik anggota keluarganya turut serta.
Satu detail kecil yang cukup menggelitik ialah ketika Putu yang selalu mengedepankan idealisme dan keadilan, ternyata juga pernah terperosok sebagai pelaku kecurangan. Putu versi dewasa muda yang lugu dan mudah digiur oleh uang. Mau bagaimana lagi? Berapa pun jumlahnya, adanya uang sangat membantu mereka selama masa susah.
“Ketika suatu kali saya izinkan parkir di sana dan ibu-ibu yang berjualan kue malah saya minta minggir, saudagar itu memberikan “salam tempel”. Ya, untuk kelangsungan “salam tempel” itu semakin sering izin parkir saya berikan. // Sekarang kesulitan ibu sedikit akan berkurang. Bukankah kini saya sudah jadi setengah preman, eh, jadi ketua pemuda?” (72)
Sayangnya, narasi yang membahas tragedi kemanusiaan dalam buku ini masih terlalu minim. Hal ini disebabkan oleh plot tumpang-tindih yang coba Putu sampaikan. Seperti pada tiga bab terakhir, yang malah membahas pernikahan dan kematian anggota keluarga besarnya. Juga pertikaian antara pihak yang masih mengedepankan adat versus keluarga Putu yang lebih terbuka. Barangkali penulisan yang demikian sah-sah saja dilakukan pada sebuah memoar, meski terkesan bercabang dan kurang padat. (*)
Editor: Kukuh Basuki