Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya belasan kasus pelanggaran HAM berat. Pengakuan ini disampaikan sesudah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM) yang dibentuk mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, merampungkan tugasnya. Dengan hati-hati, pengakuan itu diucapkan presiden tanpa diikuti permohonan maaf.
Meski respons terhadap hasil kerja TPPHAM campur aduk, tindakan ini mungkin dapat mengukuhkan “kebenaran” tragedi kemanusiaan. Pada kenyataannya memang, “kebenaran” tersebutlah yang senantiasa dibantah oleh pelaku beserta pendukungnya.
Standar HAM internasional, seperti dapat ditilik pada Prinsip Dasar dan Panduan tentang Hak Korban atas Pemulihan dan Reparasi (2005) yang diadopsi Majelis Umum PBB, sesungguhnya mengonfirmasi arti penting permohonan maaf. Permohonan maaf atas kekejaman masa lampau—dengan mana ‘pengakuan’ menjadi komponen utamanya—adalah salah satu bentuk “reparasi simbolik”, yang dapat ditujukan untuk memulihkan relasi korban dengan negara dan masyarakat.
Pengakuan “kebenaran” semestinya menjadi langkah awal, bukan untuk menutup pintu “keadilan”. Permohonan maaf tentu tak pernah cukup, dan karenanya harus ditindaklanjuti dengan realisasi hak korban dan penegakan hukum.
Kantor Komisaris HAM PBB (OHCHR) mengapresiasi tindakan Jokowi selang tiga hari pengakuan diucapkan. Betapa pun pada sidang Pelaporan Periodik di Jenewa, Maret 2024 lalu, Komite HAM PBB mempermasalahkan mengapa laporan Tim PPHAM tak bisa diakses secara publik. Komite juga mempersoalkan karena dari belasan kasus pelanggaran HAM berat, hanya empat di antaranya yang sudah diadili di pengadilan HAM.
Pengakuan tanpa pengutaraan maaf, penyebarluasan laporan TPPHAM, dan iktikad kuat untuk menindaklanjuti proses yudisial melalui Pengadilan HAM memperlihatkan bahwa ekspresi sang presiden tak sungguh-sungguh, dan karenanya tidak mampu memutus kultur penyangkalan (denialism).
Memahami Penyangkalan
Penyangkalan bisa diartikan sebagai pernyataan bahwa sesuatu tidak terjadi, tidak pernah ada, tidak benar, atau tidak diketahui. Penyangkalan bersifat netral. Ia bisa saja merupakan pernyataan atas fakta dan disampaikan dengan iktikad baik. Namun sebaliknya, penyangkalan rentan meliputi anasir kebohongan. Penyangkalan sengaja dilakukan, baik karena alasan personal atau politik, terutama untuk menghindari kesalahan dan pertanggungjawaban.
Sosiolog Stanley Cohen (2001) membagi tiga bentuk umum penyangkalan: literal, interpretatif, dan penyangkalan yang bersifat mengimplikasikan (implicatory).
Penyangkalan literal merupakan kategori yang paling mendasar, bantahan bahwa peristiwa tak terjadi. Penyangkalan interpretatif berikutnya tak melibatkan bantahan terhadap fakta, tetapi hendak merangkai ulang tafsir kejadian, termasuk dengan bumbu-bumbu penghalusan makna. Bentuk penyangkalan terakhir pada intinya mengandung pembenaran dan rasionalisasi bahwa suatu peristiwa mesti terjadi karena alasan tertentu.
Baca juga:
- Dua Tahun Pembantaian Kanjuruhan: Contoh Nyata Impunitas
- Merawat Ingatan Penyintas 1965 Melalui Suara Merdu Ibu-Ibu Dialita
- September dan Politik Lupa
Di mana-mana, setiap masyarakat memiliki sejarah kelam tentang perlakuan tidak adil, diskriminasi, dan tragedi kekerasan. Penyangkalan senantiasa mengambil tempat, baik di level personal, sosial, dan kenegaraan.
Elite dan Budaya Penyangkalan
Ketiga bentuk penyangkalan yang diusung Cohen kerap dilakukan elite politik Indonesia dalam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Penyangkalan menjadi kultur seiring dengan impunitas terus bertahan.
Peristiwa 1965-1966, yakni serangkaian kekerasan massal terhadap ribuan orang yang terafiliasi dan dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia melibatkan tiga bentuk penyangkalan itu. Tiada pengakuan resmi terhadap tragedi ini selama sekian tahun Orde Baru dan era pasca-Reformasi (literal). Peristiwa 1965-1966 pun diinterpretasikan sebagai konflik horizontal dan bersifat komunal, alih-alih vertikal dengan keterlibatan unsur negara (interpretatif). Tragedi kemanusiaan ini pun, kendati penuh kekerasan, dinarasikan dengan pembenaran bahwa sasaran kekerasan adalah ‘pengkhianat’ dan musuh kolektif yang harus “ditumpas sampai ke akar-akarnya” (penyangkalan implicatory).
Penyangkalan juga terdapat pada pelbagai kasus lainnya. Pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan bahwa tragedi Semanggi bukan merupakan pelanggaran HAM berat, sesuai dengan keputusan DPR RI Periode 1999-2004. Sikap Jaksa Agung tersebut kurang lebihnya mengarah pada penyangkalan interpretatif: meski tak membantah terjadinya tragedi, ia menafsirkannya bukan sebagai pelanggaran HAM berat. Implikasinya, pernyataan tersebut mengkerdilkan legitimasi yuridis hasil penyelidikan Komnas HAM berdasarkan UU Pengadilan HAM yang mengonstruksikan kasus Semanggi I dan II—dalam satu rangkaian tak terpisah dengan Peristiwa Trisakti—sebagai pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tidak kalah pelik pula penyangkalan terhadap kasus Penghilangan Paksa 1997-1998. Presiden terpilih Prabowo Subianto menilainya sebatas upaya pembunuhan karakter. Elite politik pendukungnya juga menyatakan narasi ini “kaset rusak yang diulang-ulang.”
Dalam wacana publik, terdapat ungkapan eufemistis dengan penyebutan istilah “pencegahan” atau “penahanan” alih-alih “penghilangan” atau “penculikan”, juga klaim pembenaran apologetis karena situasi politik masa lalu. Hal itu dapat ditilik pada satu momen wawancara Prabowo di stasiun televisi swasta (30/06/2023), dengan mana ia menyatakan: “Kalau ada kasus atau suatu komplotan, kita harus mencegah itu. Kalau kita mencegah itu dengan kita menahan orang, kemudian pemerintah berubah, itu kan berubah. Bahwa niatnya itu adalah untuk mengamankan rakyat, untuk mengamankan bangsa.”
Terlebih lagi, perjuangan korban melalui Aksi Kamisan selama 17 tahun dituding tak lebih sekadar isu musiman yang politis dengan tujuan untuk melemahkan elektabilitas kontestan. Bahkan setelah Jokowi menyatakan pengakuan dan penyesalannya, tuduhan ini dihembuskan oleh elite politik, diamplifikasi pendengung (buzzer), dan diamini para pendukung kontestan. Tudingan tersebut jelas memperparah derita korban, pun merendahkan jerih payah para pekerja HAM yang mendampingi korban.
Pada akhirnya, pengakuan Presiden Jokowi gagal meretas kultur penyangkalan. Daya ubah kulturalnya belum memiliki signifikansi. Itu karena penegakan keadilan melalui mekanisme yudisial sedari awal tidak pernah menjadi komitmen. (*)
Editor: Kukuh Basuki