Beberapa bulan terakhir masyarakat Indonesia digegerkan dengan kebijakan “investasi” baru Bernama TAPERA yang wajibkan oleh pemerintah bagi seluruh pekerja di Indonesia. Hal ini pun tak hanya menjadi perbincangan hangat di kalangan para pekerja, tetapi juga di kalangan politikus dan aktivis, salah satunya Rocky Gerung yang menilai kebijakan ini hanyalah kebijakan yang memeras rakyat berkedok investasi yang dipaksakan pemerintah. Mahfud MD pun turut mengkritik tapera karena tidak ada jaminan dari pemerintah akan mendapatkan rumah di masa depan dengan harga properti yang naik setiap tahunnya, sehingga ia mengatakan hitungan sistematisnya tidak masuk akal.
TAPERA merupakan kepanjangan dari Tabungan Perumahan Rakyat yang didasari oleh hukum dalam Undang undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat dan diamanatkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
Tapera dimaksudkan sebagai program penyimpanan yang dilakukan oleh peserta yang meliputi seluruh pekerja di Indonesia, baik ASN, pekerja mandiri, pekerja swasta, bahkan pekerja WNA. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat pasal 5 disebutkan bahwa pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau sudah menikah yang mempunyai penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, wajib menjadi peserta.
Program tapera dilatarbelakangi oleh ketimpangan antara tingginya pertumbuhan penduduk dan rendahnya jumlah kepemilikan rumah di Indonesia. Meski jika dilihat sekilas tapera adalah program yang mulia, program yang membantu rakyat kecil, tetapi program ini menuai banyak kritikan pedas dari berbagai kalangan seperti buruh, kalangan menengah, bahkan dari para pengusaha yang dianggap pemerintah sebagai kunci kebangkitan ekonomi negara.
Secara konsep, tapera ini program yang membantu kalangan berpenghasilan rendah oleh kalangan berpenghasilan menengah keatas. Tetapi yang tidak pemerintah sadari, dampak dari kelemahan ekonomi akibat covid-19 sangat parah, dan untuk membangkitkan ekonomi dari masing-masing sektor masih tergolong susah, apalagi ada potongan pajak penghasilan, BPJS Kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, jaminan hari tua, dan sekarang ditambah lagi dengan program “investasi” tapera yang belum tentu akan benar-benar didapatkan dalam beberapa puluh tahun kedepan mengingat banyaknya program investasi yang diselewengkan oleh oknum pemerintah seperti Taspen, Jiwasraya, Asabri, Daspen BUMN yang totalnya mencapai RP. 40 Trilliun lebih yang akhirnya menyebabkan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah.
Tapera sendiri sebenarnya sudah dijalankan dari tahun 2016 yang diberlakukan hanya untuk ASN. Tetapi banyak pensiunan ASN menilai pelayanan proses pencairan dana pensiunan dari tabungan tapera terlalu berbelit-belit. Pada tahun 2021 BPK menemukan 124.960 pensiunan belum mendapatkan pengembalilan dana dari tabungan tapera yang totalnya sebanyak 567,5 Milyar. Jika program serupa akan dijalankan, apakah pemerintah mampu memperbaiki sistem bobrok seperti ini? Apakah pemerintah bisa menjamin uang yang diinvestasikan akan dinikmati kembali oleh rakyat?
Rakyat meragukan tapera karena tidak ada jaminan yang jelas terhadap ketersediaan rumah subsidi yang dijanjikan, dan apakah memang rumah yang akan disediakan oleh pemerintah itu adalah rumah yang dibutuhkan oleh rakyat? karena di Indonesia tidak ada pembatasan jumlah keturunan, dan tidak semua rakyat mengikuti program KB, sehingga setiap keluarga memiliki jumlah anggota keluarga yang berbeda-beda. Jika jumlah anggota keluarga melebihi kapasitas rumah subsidi yang akan disediakan, apakah ada solusi lain yang ditawarkan pemerintah? Hal tersebut seharusnya perlu menjadi perhatian dan pertimbangan pemerintah sebelum mewajibkan program investasi ini kepada rakyat.
Diketahui dari berbagai sumber artikel yang penulis baca, kenaikan harga properti sebesar 10-20% per tahun, sedangkan kenaikan rata-rata gaji pekerja di Indonesia setidaknya hanya kurang lebih 4% per tahun. Harga rumah di pinggiran Jakarta dan Bali seharga 300-800 juta, sedangkan harga rumah di bagian kota pasti jauh lebih mahal. Dari data tersebut jika dihitung secara kasar sudah terlihat ketidakmasuk akalan dari program tapera. Memang tabungan tapera tidak hanya berfungsi untuk pengadaan rumah semata namun juga berfungsi untuk modal renovasi rumah rakyat, tetapi jika tabungan di tapera yang dibayarkan setiap bulannya tidak mencukupi untuk membeli rumah, apakah tabungan tersebut hanya bisa digunakan untuk opsi kedua alias penggunaan untuk renovasi rumah? Bukankah tapera bertujuan untuk meningkatkan pengadaan rumah dan membantu pemenuhan akan permintaan kebutuhan rumah?
Kekhawatiran rakyat terhadap program investasi yang dipaksakan dari pemerintah seperti ini akan berakhir menjadi ladang korupsi pejabat dengan harapan palsu yang dijanjikan di awal. Terlebih lagi potongan sebanyak 2,5% untuk buruh adalah angka yang besar, karena upah mereka pun tidak setinggi upah para pejabat negara sehingga para buruh dan khususnya para pekerja individu merasa tercekik dengan potongan gaji dan harapan bias dari pemerintah.
Penulis menyarankan jika memang pemerintah ingin menyejahterakan rakyat, daripada membuat kebijakan baru yang berlapis-lapis, pemerintah bisa lebih mengoptimalkan kebijakan sebelumnya seperti pada program MLT (Manfaat Layanan Tambahan) dalam program JHT (Jaminan Hari Tua), penulis merasa pemerintah terkesan mencoba membuat inovasi program baru dengan alur yang sama, dan hal itu malah akan memunculkan kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah tentang hak-hak gaji mereka, apalagi bagi pengusaha berpenghasilan besar, apakah ada benefit yang mereka dapatkan dari program ini? Atau malah hanya seperti melakukan perputaran uang? itupun kalau uangnya dikembalikan, kalau tidak? kalau ternyata malah diselewengkan oleh oknum pejabat lagi bagaimana?
Penulis sebagai kaum menengah pun merasa tidak bisa percaya kepada pemerintah karena semakin banyak kebijakan yang tidak didasari dialog dengan rakyat dan hanya mempertimbangkan golongan tertentu, dan golongan menengah inilah yang jarang diperhatikan oleh pemerintah.
Penulis berharap pemerintah membuat kebijakan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan kedepannya, dan mengutamakan akuntabilitas dari perencanaannya hingga pelaksanaan dan evaluasinya.