Mahasiswa sosiologi yang setiap hari belajar menulis

Tiada yang Merdeka dari Magang Merdeka

Naimatul Chariro

3 min read

Saya harap kalian tidak lupa dengan berita mahasiswa yang menjadi korban perdagangan orang dengan dalih magang di Jerman dua bulan yang lalu. Kasus ini adalah gambaran nyata betapa carut-marutnya program magang perguruan tinggi di Indonesia.

Para petinggi universitas dengan segudang pengetahuan dan pengalaman nyatanya tidak bisa mendeteksi modus penipuan dalam perdagangan orang tersebut. Kasus ini adalah tamparan keras bagi pemangku kebijakan di kampus dan kementerian agar merefleksikan dan menyusun ulang program magang bagi mahasiswa.

Ketika berbicara mengenai magang, selalu ada argumen yang mendukung kebijakan. Misalnya, mahasiswa harus praktik agar tidak “teori” saja supaya tahu kehidupan kerja biar mampu bersaing dengan anak muda dari negara lain, tidak menjadi pengangguran setelah lulus, dan banyak lainnya.

Kalau kita tengok sekilas, berbagai argumen di atas terlihat tepat dan sudah semestinya dilakukan. Padahal, sistem magang di perguruan tinggi saat ini mampu membunuh mahasiswa, bahkan dunia akademik kita.

Kekosongan Payung Hukum

Negara tidak memberikan jaminan hukum bagi mahasiswa yang sedang mengikuti program magang. Pasalnya, Permenaker Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Indonesia hanya mengatur magang bekerja (apprenticeship), bukan magang untuk pendidikan atau biasanya disebut dengan internship.

Pasal 9 dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa peserta magang merupakan individu yang mencari kerja atau pekerja yang ditingkatkan kompetensinya. Artinya, peraturan ini hanya diperuntukkan bagi individu yang telah menyelesaikan pendidikan formal, bukan permagangan yang bertujuan akademis, apalagi untuk dikonversi 20 SKS. Namun, para pemangku kebijakan di tingkat kementerian maupun universitas justru tidak menghiraukan kekosongan payung hukum ini.

Hal ini terbukti dari semarak program MSIB Kampus Merdeka yang terus disuarakan selama tiga tahun terakhir tanpa diimbangi oleh perlindungan hukum yang memadai. Uang Bantuan Biaya Hidup (BBH) yang diberikan dianggap cukup untuk melindungi mahasiswa dari berbagai persoalan.

Padahal, beberapa riset, salah satunya Survei Project Multatuli tahun 2021, telah  berhasil mengungkapkan adanya tindakan eksploitatif yang dialami mahasiswa selama menjalankan magang. Mahasiswa menghadapi eksploitasi berupa jam kerja yang berlebihan, beban kerja yang lebih berat daripada pegawai perusahaan itu sendiri, ketidaksesuaian perjanjian magang, hingga gangguan kesehatan mental.

Ironisnya, berdasarkan pengalaman saya di lingkungan kampus, hampir seluruh mahasiswa menyatakan tidak tahu bahwa ada kekosongan payung hukum dalam program magang yang mereka jalani. Kepercayaan mahasiswa terbangun hanya karena pihak yang mengadakan program magang adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tanpa adanya pemahaman lebih lanjut. Dengan begitu, berbagai tindakan eksploitatif terjadi tanpa mereka sadari sehingga tidak dapat ditindaklanjuti.

Baca juga:

Universitas-universitas saling berlomba-lomba untuk mendapatkan ranking teratas dalam berbagai bidang agar mendapat akreditasi tinggi. Pengembangan perguruan tinggi yang berorientasi perlombaan meraih ranking-ranking semu menciptakan ambivalensi pada program magang mahasiswa. Mahasiswa didorong untuk aktif mengikuti magang dengan dalih demi kreativitas, pengalaman praktik, dan persiapan karier. Akan tetapi, perlindungan dan jaminan kesejahteraan bagi mahasiswa saat menjalankan program tidak dilaksanakan.

Dengan kata lain, para pemangku kebijakan mengajak serta mendukung mahasiswa untuk mengikuti kegiatan magang, tetapi abai terhadap keselamatan mahasiswanya. Apakah program magang benar-benar untuk mahasiswa atau justru hanya euforia perguruan tinggi semata?

Sederhananya, jika magang sungguh diperuntukkan bagi mahasiswa, seharusnya sebelum itu terjadi, para pemegang kebijakan lebih dulu mengecek seluk-beluk program yang diajukan. Akan tetapi, alih-alih mempelajari program, pihak universitas justru langsung memberangkatkan mahasiswanya magang begitu saja. Sungguh, kecerobohan ini masih tak masuk akal di pikiran saya.

Kematian Mahasiswa dalam Universitas

Secara historis, program magang lahir dari kurikulum link and match yang mewajibkan setiap lembaga memberikan pembelajaran yang sama dengan kebutuhan pasar. Logika kurikulum inilah yang sampai detik ini membawa program magang untuk mahasiswa tidak jelas arahnya.

Jika negara ingin anak mudanya mampu bertarung mendapatkan pekerjaan di pasar bebas, maka negara semestinya menciptakan lembaga pelatihan kerja saja, bukan justru mengimplementasikannya pada universitas. Sebab, roh dari perguruan tinggi ialah pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Memaksa mahasiswa untuk menjalankan program magang selama menempuh pendidikan di universitas sama saja dengan membunuh roh tersebut.

Kematian roh perguruan tinggi telah berhasil membentuk mahasiswa yang hanya berorientasi pada karier semata. Program studi di universitas hanya dilihat sebagai batu loncatan yang menghubungkan mahasiswa dengan berbagai program magang. Setelah itu, mereka akan bisa masuk perusahaan elit dan ternama.

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya MSIB Kampus Merdeka. Program ini semakin meniscayakan mahasiswa mengambil magang di luar prodi yang ditempuhnya. Dengan begitu, berbagai pengetahuan yang selama ini digali mahasiswa seperti tidak ada artinya—mengering, berdebu, dan tak lama lenyap.

Baca juga:

Fenomena ini mengingatkan saya dengan istilah automaton dari Erich Fromm. Dia mengartikan automaton sebagai makhluk hidup yang bergerak dan berpikir selayaknya mesin yang serba otomatis alias telah kehilangan hakikat dirinya sendiri. Namun, secara sadar mereka menganggap dirinya bebas dan hanya tunduk pada diri sendiri.

Mahasiswa yang merasa memiliki kehendak menentukan masa depannya—berupa tempat kerja, nominal gaji, hingga kedudukannya—serupa dengan automaton. Padahal, nyatanya, mahasiswa telah terbenam dalam khayal tentang kejayaan individualitas yang memang produk perguruan tinggi dengan ideologi pasarnya.

Akhirnya, mahasiswa telah kehilangan hakikatnya sebagai manusia yang memiliki pikiran sendiri, mampu berdikari, dan menetapkan batas individualitas dirinya sendiri. Kalau kondisi ini terus berlanjut, maka perguruan tinggi tidak beda dengan pabrik yang memproduksi manusia. Kemudian, negara ini akan kehilangan banyak anak muda dengan pikiran emasnya.

Oleh karena itu, sudah semestinya para pemangku kebijakan institusi pendidikan tinggi merefleksikan ulang dan merancang program magang yang lebih jelas dan aman. Apakah magang memang diperlukan bagi mahasiswa? Jika iya, bagaimana sebaiknya program magang dilaksanakan agar mahasiswa tak kehilangan kemampuan belajar dan daya kritisnya?

 

Editor: Emma Amelia

Naimatul Chariro
Naimatul Chariro Mahasiswa sosiologi yang setiap hari belajar menulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email