mengatur bunyi
kau mendengarkan Chet Baker dan berharap
ia mampu mereduksi bunyi-bunyian itu, kau
berharap sekrup-sekrup mengencang dan
entitas yang ingin meluap kembali surut.
sesuatu mengambang dan kau biarkan
ia di situ, kelak ia bakal lepas landas
dan kau tidak lagi mampu kenali
warna.
–
peta yang tidak lengkap
apakah dunia akan berakhir kalau aku
mendekatimu? neptunus bilang hanya
akan ada warna jingga yang pekat dan
dentum yang dahsyat dan cinta
tak akan tumbuh di reruntuhan.
aku melintas tanpa sengaja di orbitmu
dan aku ingin melintas selamanya di sana.
aku ingin belajar membaca, tapi
neptunus bilang hanya perlu kenali
sudut dan ruang sebab tidak ada spasi
yang cukup untuk kau menulis tentangku
notesmu penuh, kau mencatat mimpi
seolah itu utang yang bunganya terus
bertambah dan dikutuk untuk selalu
mencatat. hari ini kau mencatat
yang ketujuh puluh sembilan
dan lupa makan.
aku ingin memasak untukmu,
apakah dunia akan memuntahkan isinya
kalau aku memasak untukmu? neptunus
bilang dia lelah mengingatkanku.
hari ini aku mengorbit dengan keliru
neptunus sudah mengingatkanku,
maafkan aku.
–
siklus
lenganmu cuma batang kayu balok
sisa bangunan penuh lubang paku. kau
menyulapnya jadi rak sepatu. bangunlah
dari tidurmu dan peluklah sesuatu.
genggam dan dengarkan mereka
berbicara. rasakan rongga dan
padatnya. kau perlu tahu tidak
semua bisa terurai satu jadi
tanah. rak rubuh, sepatu
meninggalkanmu.
–
semesta di kantung mata
bumi serupa wadah pizza rumahan
yang kita makan sore itu, aku adalah
topping berupa potongan sosis kecil
memohon untuk kau lahap
aku ingin kau lahap habis
—itu terdengar lebih indah dari
berjemur sendiri di tengah hujan
yang mestinya dingin dan basah
tapi aku justru meradang dan
terbakar—
tapi kau menyisakan potongan
terakhir itu entah untuk siapa.
lihatlah rambutku tumbuh lima kali lipat
lebih cepat dari biasanya. kau tahu ‘kan
itu artinya dunia baru telah tumbuh,
ambil ponselmu ambil jaketmu,
mari kita ukur jaraknya
mudah-mudahan tidak lebih dari
seribu cahaya ini waktu yang tepat
untuk memilih
kau pilihlah aku bawa banyak semesta
dalam kantung mataku di kiri dan kanan
sepasang mataku bergantungan dunia
baru meminta untuk kau sentuh—
yang lama sudah lama jatuh
kau belum juga selesai dari
apa yang kau mau.
–
dari mana tumbuhnya rumah?
jelaga di tangan kami kau sapukan
ke wajahmu. kau ingin kami bersih
dari niat jahat. dan kau jadi lubang
hitam, menyerap semua luka kami.
di dada kami kau simpan hangat matahari,
kayu, kerikil, bata, semen, dan pasir. kau
berharap kelak suatu hari sebuah rumah
tumbuh di tubuh kami.
kau menyerap semua janji dari
mulut-mulut kami yang masih
belajar membedakan huruf dan
angka, selamanya kau percaya
kelak akan tiba juga di sana.
selamanya kau percaya yang
bercahaya di mata kami
adalah serpihan surga.
kau ingin melunasi masa kecilmu
yang hilang dengan memberi kami
masa depan. kau beri kami ingatan
tentang hewan-hewan, uang saku,
teman sekolah, tanggal lahir—
semua yang luput dari hidupmu sendiri.
kau beri kami kacamata untuk bisa
melihat lebih banyak hal, kau melihat
terlalu sedikit dan selalu buram. kau
menyulam retakan-retakan di tubuh
kami dan merelakan milikmu sendiri.
ketika pakaian lolos dari dirimu remah-
remah itu jatuh tanpa suara dan kau
mengutipnya dengan cara yang jauh
lebih baik dari pengkhotbah mengutip
ayat suci.
kau pakai kembali seperti
tak pernah ada celah, tak pernah ada
rapuh. di hadapan kami kau selalu
tampak utuh.
di dada kami kau simpan hangat matahari,
kayu, kerikil, bata, semen, dan pasir. kau
berharap kelak suatu hari sebuah rumah
tumbuh di tubuh kami.
selamanya kau percaya yang
bercahaya di mata kami
adalah serpihan surga.
*****
Editor: Moch Aldy MA