Living in an intentional continuous exploration of life.

Kritik Ilmu Sosial Profetik terhadap Marxisme

Ahmad Zainul Khofi

2 min read

Saat membaca Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi (1991) yang berisi kumpulan tulisan Kuntowijoyo, pertanyaan ini terus berseliweran dalam pikiran: “Bagaimana jika ilmu sosial profetik (ISP) Kuntowijoyo dibenturkan dengan marxisme Karl Marx?”

Saat artikel ini ditulis, saya pertama kali membaca tulisan Kuntowijoyo di situ yang bertajuk Visi Teologis Islam dan Peradaban Modern, dan Cita-Cita Transformasi Islam. Bersamaan dengan momen itu, saya berjumpa dengan kawan-kawan di Kelas Mutafakkirun, forum yang dibentuk oleh Gus Fayyadl.

Kelas Mutafakkirun adalah forum diskusi yang diinisiasi oleh Gus Fayyadl. Dulunya, sebelum vakum, forum ini bernama Arsiteks. Nama Mutafakkirun diambil dari bahasa Arab, artinya orang-orang yang berusaha berpikir keras. Komunitas ini dibentuk untuk membudayakan tradisi membaca, menulis, dan mendiskusikan teks dengan tiga fokus pembahasan: peradaban, keislaman, dan keindonesiaan.

Oleh Gus Fayyadl, forum diberikan tugas untuk menelaah dua tulisan Kuntowijoyo dalam buku tadi, yakni Visi Teologis Islam dan Peradaban Modern dan Cita-Cita Transformasi Islam. Forum tersebut sekaligus menjadi pertemuan awal saya dengan magnum opus-nya Kuntowijoyo, yaitu ilmu sosial profetik dan transformasi Islam sebagai ilmu.

Sebelumnya, saya sering bergelut dengan marxisme melalui beberapa buku dan artikel. Salah satu yang saya sukai adalah karya Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (1999). Penjelasannya yang runtut dan maju membuat saya dapat memahami materialisme dialektis dan historis Marx dengan mudah.

Kritik ISP atas Marxisme

Setelah menelaah keduanya (ISP Kuntowijoyo dan marxisme), saya menyimpulkan bahwa ISP Kuntowijoyo merupakan marxisme dalam Islam. ISP adalah kebalikan dari marxisme. Marxisme menawarkan paradigma baru mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran) dengan menyatakan bahwa structure menentukan superstructure.

Berbanding terbalik dengan marxisme, ISP meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis material (structure). Artinya, kesadaranlah yang menentukan materi. Tepatnya, kesadaran akan diri dan Tuhanlah yang menentukan “keberadaan” hal lain di luar diri dan Tuhan.

Tinjauan dari fakta empiris (sosial) marxisme menjelaskan bahwa hidup utamanya berjuang untuk meraih basis materi (structure). Mudahnya, yang penting ekonomi selesai, maka kesadaran akan selesai. Sementara itu, ISP menjelaskan bahwa keharusan awal dalam hidup adalah mengolah diri di level kesadaran. Dalam hal ini, Kuntowijoyo membagi kesadaran menjadi tiga level, yakni mitos, ideologi, dan ilmu. Dengan begitu, sikap terhadap materi tergantung dari level kesadaran yang telah dibentuk.

Sebagai contoh, banyak orang yang tertindas secara ekonomi, tapi mereka merasa jaya. Kejayaan itu dilahirkan oleh kesadarannya—meskipun oleh Marx hal ini disebut sebagai sublimasi. Faktanya, tak jarang orang miskin yang berbahagia. Di sisi lain, orang dengan ekonomi makmur, tak sedikit yang merasa galau.

ISP Kuntowijoyo menekankan bahwa dalam hidup yang paling utama harus dilakukan adalah mengolah kesadaran. Pengolahan kesadaran tersebut harus melalui tahap-tahap seperti humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Humanisasi

Tahap awal ini sangat penting dilakukan untuk mengobati masyarakat yang sedang berada dalam tiga keadaan akut, yaitu dehumanisasi (objektivitas teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (kekerasan kolektif dan kriminalitas), dan loneliness (privatisasi dan individuasi).

Dalam buku Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Kuntowijoyo menyebut Islam sebagai humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral (hal. 167). Kuntowijoyo mengusulkan teori humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia.

Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas, melainkan transendensi.

Liberasi

Humanisme teosentris dapat dicapai dengan cara membebaskan diri atau liberasi dari kekejaman, kemiskinan, pemerasan, dominasi struktur yang menindas, dan hegemoni kesadaran palsu.

Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris yang bersifat konkret. Sikap menghindar dari yang konkret menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos. Contohnya, sebagaimana orang beragama tanpa amal (kegiatannya hanya berdoa), hidup tanpa logos berarti hanya bersandar pada mitos.

Dalam hal ini, liberasi menyasar beberapa variabel yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia. Belenggu tersebut meliputi sistem pengetahuan, sosial, ekonomi, dan politik.

Transendensi

Humanisasi dan liberasi dapat dilakukan dengan dasar mentransendensikan diri. Transendensi berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia (humanisasi dan liberasi). Islam membawa ke dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat dan teknik, tapi karena kekurangan arti dari masyarakat yang ingin merealisasikan rencana Tuhan.

Dalam hal ini, transendensi berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dari manusia, bukan pada kehancurannya. Dengan ini pula, masyarakat akan dibebaskan dari belenggu kesadaran materialistik, yakni ketika posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya menuju kesadaran transendental.

Baca juga:

Melalui pengolahan tahap-tahap kesadaran dalam ISP, manusia dapat menjadi umat yang digdaya sehingga visi nilai-nilai keislaman bisa diangkat ke level objektif dan universal. ISP juga dijelaskan oleh Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran Ayat 110:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.

Jika diejawantahkan, amar ma’ruf berarti humanisasi, nahi munkar adalah liberasi, dan tu’minu billah merupakan transendensi. Keseluruhan ayat itu merangkum tahapan komplet untuk membentuk kesadaran diri dalam paradigma baru Kuntowijoyo, ilmu sosial profetik.

 

Editor: Emma Amelia

Ahmad Zainul Khofi
Ahmad Zainul Khofi Living in an intentional continuous exploration of life.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email