Irvan Syahril penyair kelahiran Subang, Jawa Barat. Peraih penghargaan Sastra Litera 2021. Bergiat dalam komunitas Gubuk Benih Pena dan Bemsika. Menulis puisi dan esai.

Fatalis dan Puisi Lainnya

Irvan Syahril

2 min read

MATA PISAU

Di mulutnya suara-suara terkunci
seperti jalanan dini hari. Ia sepatu
yang berhadapan dengan sisi lain
tubuhnya, tetapi tak sekali pun
membicarakan apa-apa.

Di jantungnya waktu menggertak
tiap degup seperti sebuah peringatan
atas sesuatu yang tak tertanggal,
menjelang tubuhnya meledak
ia harap tak ada yang ingin kembali.

Di tangannya benda-benda jadi senjata
untuk pertempuran di suatu kota
nasib menyeretnya dalam pertaruhan,
tetapi ia belum juga tahu untuk siapa
mata pisau ini yang merindukan luka.

Di kakinya jejak-jejak tumbuh pohon
yang kelak mengawetkan kesunyian
dan raung dari harilalu, tubuhnya
hutan yang merindukan kobar api
setelah segala jadi kering dan mati.

Subang, 2023.

Fatalis

Anggap aku sepotong mendung
dan kau pejalan yang menghindar,
di antara jarak kosong kau dan aku
suara menjelma burung-burung
yang kita terima sebagai tanda bahaya.

Dingin masih jadi ancaman
setelah kita gagal percayai peluk
menaklukkan ruang-ruang ganjil
yang amat lapang dan lengang,
pada batas ini tubuhku ingin ikut
hanyut menyusur ketiadaanmu.

Sekali kau seperti tinggal dalam diriku
menyamar jadi pemburu tersesat
yang menyalakan api dalam ketakutan,
trauma bagai taring-taring berkilat
dari mulut hewan buas yang menatapmu
di kegelapan.

Ketika tubuhku lengkap sebagai hujan
aku lebur di jejak-jejakmu yang tanggal
supaya kau tak perlu berbalik arah
mencari gema panjang kehilanganku,
andaikata aku punya keteguhan
barangkali aku payung yang mengantarmu
ke seberang.

Subang, 2023.

Semesta Kecil Banda Neira

Sebelum cahaya tiba di pelupuk banda
ia menerbangkan lamun seperti layangan
yang terus diulur mencapai batas langit.

Ia telah menyiapkan beberapa jawaban
atas pertanyaan apakah mimpi bermula
dari meja makan atau kenapa anak-anak
belum boleh bersedih. Ia tak boleh ragu,
ia harus setenang laut yang tak sedikit pun
mengatakan pada anak-anak itu
bahwa di atas permukaan yang riang
kegelapan pelan-pelan menelan warna.

Mata anak-anak adalah padang hijau
yang segala sesuatu bisa tumbuh, sungai
yang belum menemukan batas, pelangi
yang menautkan jarak di tempat terjauh,
sebab itu ia enggan berakhir di sini, ada
dunia sekepal mereka butuh udara
bebas dari mesiu dan pecahan kaca.

Sebelum anak-anak mengetuk dan memanggil
namanya, sudah ia siapkan mata semesta,
mengendurkan urat saraf, dan jadi matahari
selama kaki-kaki kecil itu menciptakan jejak
di bibir pantai yang menghapusnya, ia tak boleh
lengah dari waktu, tak bisa mengalah dengan
apa pun, maut misalnya.

Subang, 2023.

Luka Selalu Terkelupas di Matamu

Mencintaimu berarti kelana
melawan putaran waktu
ke tempat paling muskil
yang menyerap bayangan diriku.

Telah kukemas ketakutan-ketakutan
sebagian ditinggal di setiap sudut kamar
sebagai beker jika aku terlambat siuman
dari perasaanmu yang menjelma kabut.

Aku belajar lagi mengenal jejak sendiri
yang tertimbun runtuhan hari kemarin
kau seperti malam yang lembap
menyimpan dingin dan hening sekaligus.

Aku lapangkan mataku sedemikian luas
barangkali kelak jadi tempat ternyaman
kau menimang dan mengusap diri
aku cermin yang menuntunmu
menemukan air mata.

Biarkan aku habis oleh merah luka
yang selalu terkelupas di matamu
aku ingin memahami jalan pulang
yang terbentang di kerahasianmu.

Subang, 2023.

Hari Terakhir Mengucap Selamat Tinggal

Sudah ia kenal dingin penjara yang menyatu
di matanya. Ia besar dari ruang-ruang kedap
yang langit-langitnya menguarkan darah
dan mata dengan lubang sunyi tak terbatas.

Ruang sebesar jantung, ruang yang setiap sisi
mata malaikat. Jagalah kewarasanmu di dalam sana,

bahkan kau bisa habis oleh waktu yang menyerangmu
Usia seperti bunga dipaksa tumbuh dalam gelap
lalu siapa pun hanya tegun saat kelopak-kelopak
harapan tanggal, saat ia menyadari tinggal
tubuh inti yang pelan tertunduk takluk.

Aku ingatkan jangan sesekali menghitung waktu,
kau tak akan mendengar detik apa pun, selain
suara dengan gema yang berat.

Jauh dari dalam dirinya tubuh masa kecil
menggeliat. Ia merasa kebebasan penuh
ketika berlari bersama tubuh masa kecil
walau itu hanya terjadi bila ia terlelap
memeluk detak kehidupan yang melambat.

Bertahanlah sekuat keinginanmu merindukan
pelukan lepas dan air mata yang begitu dingin.

Sudah ia kenali suara yang mengajaknya bicara
sejak teralis itu terkunci dan suara-suara lindap
sejak ia menulis surat untuk kekasih
sejak ia menghitung denyut waktu tersisa.

Subang, 2023.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Irvan Syahril
Irvan Syahril Irvan Syahril penyair kelahiran Subang, Jawa Barat. Peraih penghargaan Sastra Litera 2021. Bergiat dalam komunitas Gubuk Benih Pena dan Bemsika. Menulis puisi dan esai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email