Kebijakan tarif yang diterapkan Donald Trump menandai bangkitnya nasionalisme ekonomi yang hampir delapan dekade mengalami mati suri.
Pada tahun 1944 gerak sejarah ekonomi dunia mengalami disrupsi fundamental. Diselenggarakan sebuah konferensi internasional di Bretton Woods, New Hampshire, pada Juli 1944, yang membicarakan mengenai sistem ekonomi dunia pasca-Perang. Menteri Keuangan Amerika Serikat, Henry Morgenthau Jr, memegang presidensi pertemuan yang kemudian populer disebut Konferensi Bretton Woods. Delegasi dari 44 negara hadir. Salah satu dari delegasi yang hadir itu adalah seorang ekonom brilian dari Inggris, John Maynard Keynes, yang bersama rekan debatnya dari Amerika, Harry Dexter White, akan merumuskan Tatanan ekonomi internasional pasca-Perang Dunia II.
Akhir pertemuan di Bretton Woods itu kemudian menghasilkan kesepakatan pembentukan International Bank for Reconstruction and Development (IRDB) atau kemudian populer disebut Bank Dunia, serta International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional). Hasil dari konferensi internasional tersebut secara langsung berdampak pada semakin terkoneksinya ekonomi dunia dalam payung tatanan ekonomi internasional liberal (Liberal International Economic Order/LIEO). Alan Greenspan dalam bukunya yang berjudul Abad Prahara, mengutip ilmuwan politik Amerika Serikat Hans Morgenthau, yang menyebut Bretton Woods adalah akhir dari nasionalisme ekonomi.
Baca juga:
Akhir atau matinya nasionalisme ekonomi pasca-Bretton Woods membuat perdagangan bebas semakin populer di dunia. Rezim perdagangan internasional membuat relasi antarbangsa semakin saling bergantung satu sama lain. Richard Rosecrance dalam bukunya yang berjudul Kebangkitan Negara Dagang, menyebut manfaat kerja sama dan perdagangan jauh melampaui manfaat penaklukan militer. Ini masuk akal, karena ambisi teritorial dan ekonomi monopolis yang ada sejak zaman merkantilis sudah kehilangan momentum historisnya.
Sayangnya, sistem ekonomi internasional yang didasarkan pada perdagangan bebas (free trade) saat ini menghadapi guncangan hebat setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengeluarkan kebijakan tarif perdagangan.
Tarif dan Nasionalisme Ekonomi
Pada 2 April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif perdagangan bagi negara-negara mitra dagang AS. Trump menyebutnya sebagai Hari Pembebasan, Liberation Day. Banyak negara yang dibebani tarif tinggi oleh Trump. Tiongkok yang selama ini dianggap rival terkuat AS, dikenakan tarif sebesar 34 persen. Uni Eropa dikenakan tarif 20 persen. Beberapa negara Asia Tenggara juga terimbas, Indonesia 34 persen, Singapura 10 persen, sedangkan Kamboja menjadi negara dengan tarif timbal balik tertinggi yang dikenakan AS, yakni sebesar 49 persen, disusul Vietnam di urutan kedua sebesar 46 persen. Masih banyak lagi negara yang dibebani tarif oleh Trump di ‘Hari Pembebasan’ itu.
Kebijakan tarif Trump memantik respon cepat dari beberapa pemimpin dunia, dan membuat ekonomi dunia dan pasar terguncang. Presiden Uni Eropa, Ursula von der Leyen menyebut kebijakan tarif Trump merupakan pukulan besar bagi ekonomi dunia dan akan memantik ketidakpastian dan proteksionisme balasan. Juru bicara kementerian luar negeri Tiongkok, Guo Jiakun, merespon kebijakan tarif Trump dengan mengatakan “pasar telah berbicara” sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka atas kebijakan Trump, serta Beijing memberlakukan tarif balasan untuk Amerika yang membuat perang dagang semakin memanas. Beberapa pemimpin ASEAN, antara lain Prabowo Subianto, Anwar Ibrahim, dan Lawrence Wong langsung melakukan pembicaraan untuk berdiskusi guna menyikapi kebijakan tarif Trump.
Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong cepat tanggap membuat sebuah pernyataan dalam bentuk video YouTube untuk merespon tarif Trump. Wong menyebut kebijakan tarif Trump menandai berakhirnya era globalisasi dan perdagangan bebas berbasis aturan. AS yang selama beberapa dekade menjadi landasan perdagangan bebas dunia, kini mengakhirinya.
PM Wong mengingatkan bahwa kebijakan tarif bisa berpotensi membawa dunia pada perang dagang yang semakin meluas, bahkan konflik militer seperti pada dekade 1930-an. Wong mewanti-wanti warga Singapura dan seluruh dunia, bahwa kebijakan ini akan berdampak besar dan menciptakan guncangan yang tidak sederhana. Namun Wong mengajak seluruh warga Singapura untuk teguh bersatu dengan mengatakan: Singapura akan terus bertahan di dunia yang bermasalah ini.
Sebagaimana ditegaskan PM Wong, tatanan ekonomi internasional liberal berbasis aturan menemui kehancurannya. Dunia memasuki era nasionalisme ekonomi dan perang dagang yang mengancam stabilitas internasional.
Baca juga:
Profesor Harvard Kennedy School, Dani Rodrik, dalam pembicaraannya di World Economic Forum, menyebut nasionalisme ekonomi adalah salah satu kata yang menakutkan. Rodrik menekankan bahwa kemandirian adalah jalan menuju kemunduran ekonomi. Apa yang Rodrik katakan secara sederhana dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada satu pun negara yang bisa melakukan lepas landas ekonomi secara mandiri dalam iklim isolasionis dan autarkis. Pasar bebas dan konektivitas ekonomi global diperlukan bahkan bagi negara sekuat Amerika dan Tiongkok sekali pun.
Tarif yang dikenakan Trump tentu akan menghambat perdagangan bebas global. Sebagaimana ditulis Barath Harithas dan rekan-rekan di CSIS dengan judul “Liberation Day” Tariffs Explained, kebijakan tarif Trump ini adalah kebijakan tarif tertinggi sejak Undang-Undang Smoot-Hawley tahun 1930 yang mengguncang ekonomi dunia bahkan mengakibatkan perang dagang global.
Kebijakan Trump ini adalah bentuk nasionalisme ekonomi yang mendasarkan kebijakan pada kepentingan nasional (national interest). Trump begitu membenci defisit peradangan yang menurutnya merugikan AS, dan karenanya harus ada timbal balik yang lebih menguntungkan.
Prospek Untung-Rugi
Kebijakan tarif yang didasarkan pada obsesi Trump untuk menciptakan perdagangan yang menurutnya lebih adil dan menguntungkan bagi AS bisa berdampak fatal dan merugikan bagi kepentingan AS sendiri. Saya memiliki beberapa penjelasan mengenai kerugian apa yang bisa jadi akan menimpa AS apabila kebijakan tarif ini membuahkan berbagai implikasi ke depan.
Pertama, tarif balasan yang akan mempertajam perang dagang. Kebijakan tarif yang dikenakan Trump bisa memantik tarif balasan dari beberapa negara yang enggan menerima rugi atas kebijakan tarif AS dan enggan pula bernegosiasi.
Baca juga:
Saat ini Tiongkok dan Prancis menjadi dua negara yang tegas akan membalas kebijakan tarif Trump. Hal ini tentu saja akan menggangu stabilitas hubungan bilateral negara-negara tersebut. Vietnam menempuh jalan negosiasi untuk menjajaki kemungkinan penghapusan tarif impor. Namun kondisi saling balas tarif ini tentu akan menciptakan ketidakpastian dan instabilitas ekonomi dunia.
Kedua, Amerika akan kehilangan supremasi politik dan ideologinya. Dalam kurun waktu kurang lebih delapan dekade, AS telah menjadi garda terdepan negara yang mempromosikan perdagangan bebas dan sangat menjaga tatanan internasional berbasis aturan baik secara politik maupun ekonomi.
Pada masa Perang Dingin, AS selalu bangga menyandang gelar pemimpin dunia bebas (free world) yang memimpin perang salib global mempertahankan dan menyebarkan demokrasi dan kapitalisme pasar bebas. Bagi beberapa negara, AS adalah pelindung sekaligus pendorong terciptanya ekonomi pasar bebas. Kepemimpinan Washington DC diakui oleh banyak negara di dunia.
Saat AS menempuh kebijakan sebagai penghambat bahkan penghancur ekonomi pasar bebas dengan tarif tingginya, secara tidak langsung AS sedang melucuti gelarnya sebagai pemimpin negara bebas, pendukung terdepan perdagangan pasar bebas.
AS yang menarik diri dengan nasionalisme ekonominya, akan membuat beberapa negara sekutu dekatnya yang selama ini berlindung dalam hegemoninya, kehilangan pegangan dan akan berbuah pada tumbuhnya nasionalisme ekonomi lain di berbagai negara. Negara-negara ini akan menyimpulkan bahwa AS tidak bisa lagi menjadi pelindung tatanan global berbasis aturan, karenanya kepercayaan terhadap AS harus mulai ditanggalkan. AS akan kehilangan superioritas ekonomi dan politiknya, terlebih di depan sekutu-sekutunya.
Selain dampak bagi AS, seluruh dunia harus meyakinkan diri bahwa kondisi global sedang dihinggapi ketidakpastian. Karenanya berbagai kebijakan yang tepat dan analisis situasi yang tajam sangat diperlukan. Fleksibilitas menjadi kunci dan perhitungan yang matang menjadi keharusan. Kendati Prabowo Subianto menekankan bahwa kita harus tenang, tetap saja berbagai kewaspadaan perlu ditingkatkan. Dunia yang tidak pasti sedang menanti, terutama setelah nasionalisme yang mati suri perlahan bangkit kembali.
Editor: Prihandini N