Di tengah euforia efisiensi anggaran yang tengah didengungkan pemerintah, ada satu hal yang mungkin terlewatkan: dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi juga mahasiswa yang tengah duduk di bangku perguruan tinggi. Terdapat beberapa instansi negara yang terdampak efisiensi anggaran, tak terkecuali Kementrian Pendidikan Tinggi. Kemendikti Saintek terkena imbas dari efisiensi anggaran sebesar Rp. 14,3 triliun dari total pagu anggaran sebesar Rp 56,6 triliun. Bukan hanya sekadar angka, nominal ini jelas fantastis dampaknya terhadap implikasi perguruan tinggi.
Efisiensi anggaran ini bisa menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh mereka yang berada di dunia pendidikan tinggi. Berkurangnya alokasi dana untuk program-program penting, seperti beasiswa, penelitian, dan pengembangan teknologi, adalah bayangan suram yang menghantui kampus-kampus di tanah air. Mahasiswa, yang seharusnya fokus pada kuliah dan pengembangan diri, kini harus bersiap menghadapi berbagai konsekuensi dari keputusan yang diambil atas nama penghematan anggaran. Memang benar sebagian besar masih dibiayai orang tua, namun kan tetap saja, siapa pula yang senang jadi tanggungan orang lain? Setidaknya, ya jangan semakin naik toh biaya pangkalnya.
Baca juga:
- Pemangkasan Anggaran Pendidikan 2025: Kolonialisme Pendidikan Gaya Baru
- Pendidikan, Kesadaran Kolektif, Kontradiksi Kebijakan Negara
Kendati pihak-pihak yang terkait mulai banyak bersuara dan menyanggah adanya kenaikan pembayaran, tetap saja tidak akan ada jaminan jikalau pernyataan itu benar adanya. Menanggapi penyempitan ini, tentu saja akan ada perubahan sikap dari birokrasi. Entah dalam bentuk mikro maupun makro.
Kemungkinan Kenaikan UKT
Dari sekian banyak pemotongan anggaran, tentu saja besar kemungkinan tarif UKT (uang kuliah tunggal) akan kembali mengalami peningkatan signifikan. Serius, ini merupakan salah satu gagasan yang paling saya benci. Sekalipun negeri, di era ini nggak ada jaminan bahwa uang pangkalnya akan lebih kecil daripada universitas swasta. Hapus deh semua imaji tersebut.
Sekarang gini, kalau bantuan operasional PTN (perguruan tinggi negeri) dipotong, bagaimana lagi birokrasi akan menanggapi kebijakan ini? prospek kenaikan UKT akibat efisiensi anggaran ini bukan hanya kekhawatiran dan omong kosong belaka, tapi sudah harus dipersiapkan biar kita nggak kaget-kaget amat seandainya benaran terjadi.
Beberapa tahun lalu, masih hangat di ingatan saya bagaimana beberapa PTN tanah air bertransformasi menjadi PTNBH (perguruan tinggi negeri berbadan hukum). Subsidi dipotong, mahasiswa deh yang dituntut melakukan pembayaran lebih. Sontak, unjuk rasa mahasiswa bergaung dimana-mana. Di kampus saya sekalipun, mahasiswa berbondong-bondong menyuarakan transparansi dan upaya keringanan kenaikan UKT di depan gedung rektorat. UKT yang semula hanya sampai golongan 8, naik drastis hingga golongan 11. Belum lagi nominal antar golongan yang meroket.
Masalahnya, apabila sudah kejadian, nggak ada solusi bagi mereka yang kesulitan akibat kenaikan signifikan tarif UKT. Sebab, nggak semua kampus ramah akan pengajuan penurunan UKT. Harus nunggu orang tua bangkrut dulu. Kalau nggak gitu, menyertakan berkas akta kematian orang tua. Ironis, tapi memang begitu adanya. Di Jawa Timur sendiri, beberapa Perguruan Tinggi Negeri awam dengan identitasnya sebagai rumah pendidikan tinggi yang biayanya saklek. Sekalipun itu adalah uang kuliah Tunggal, ya. Bukan SPI (sumbangan pengembangan institusi) yang kasarannya uang gedung bagi para mahasiswa yang masuk PTN dengan jalur mandiri. Konteks yang satu ini beda lagi.
Terkadang, teman-teman yang masuk lewat jalur mandiri pun masih mempertanyakan kemana larinya uang gedung mereka. Sebab, ya nggak koheren dengan fasilitas yang mereka peroleh. Lebih lagi kalau ada kebijakan pusat tentang kenaikan pembayaran. Sama dengan mahasiswa regular, mereka pun juga kena getahnya. Misalnya saja kebijakan terpusat beberapa tahun lalu.
PTNBH yang memang hanya disetujui masing-masing PTN saja bisa sebesar itu dampaknya. Bagaimana kenaikan UKT akibat efisiensi anggaran? mau demo di depan gedung rektorat 3 hari 3 malam pun, nggak bakal ada yang berubah juga deh itu kebijakan.
Masa Depan Suram KIPK dan Beasiswa
Selain UKT, KIP-K (Kartu Indonesia Pintar-Kuliah) sebagai salah satu program tahunan bantuan sosial mahasiswa juga terdampak signifikan. Pagu KIP-K yang awalnya berjumlah Rp. 14,698 triliun, dipangkas habis-habisan dengan terkena efisiensi sebesar Rp1,319 triliun.
Hal serupa berlaku pada beasiswa. BPI atau program Beasiswa Pendidikan Indonesia juga terdampak efisiensi anggaran sebesar Rp. 19,47 miliar, dari pagu awal yang berjumlah Rp164,7 miliar. Memang nggak sebesar pangkasan KIP, tapi lihat sebesar apa dampaknya pada calon-calon awardee beasiswa.
Baca juga:
Beuh, nggak dipangkas aja seleksinya sudah susah. Ini lagi ketambahan dengan nominal pemotongan yang lumayan bikin geleng-geleng kepala.
Program beasiswa KNB (Kerja Sama Negara Berkembang) juga terciprat pemotongan anggaran sejumlah 25%. Pagu awal yang berjumlah Rp85,348 miliar dipangkas hingga hanya menyentuh angka Rp21 miliar.
Kalau sudah begini, bukan hanya anak PNS yang nggak bisa dapat beasiswa. Banyak mahasiswa yang kemungkinan akan menemui pesaing-pesaing ganas yang rebutan slot beasiswa yang tersisa. Udah nggak banyak, anggarannya dipotong pula! (*)
Editor: Kukuh Basuki