Suku Mapur: Punahnya Orisinalitas Budaya di Tanah Bangka

Rofiq Anam

3 min read

Kala itu, siang hari yang terik mengantarkan saya pada pertemuan mengesankan bersama masyarakat adat suku Mapur dalam rangka menelisik lebih dalam tentang adat istiadat yang ada di Kepulauan Bangka Belitung. Suku yang terletak di pedalaman Desa Gunung Muda, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung ini letaknya sekitar 56 kilometer ke arah utara dari Kota Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung.

Selama ratusan tahun orang-orang suku Mapur hidup di kawasan hutan adat yang disebut Karang Lintang. Suku ini sangat kental akan orisinalitas budaya yang dimilikinya. Mereka masih memeluk ajaran atau kepercayaan warisan nenek moyang leluhur. Bagi mereka, alam semesta adalah sebaik-baiknya penolong.

Masyarakat adat suku Mapur diklasifikasi menjadi dua bagian, yaitu Lom dan Lah. Lom merupakan sebutan bagi suku Mapur murni yang masih menganut kepercayaan leluhur. Sementara Lah adalah sebutan bagi sebagian masyarakat adat suku Mapur yang telah terakulturasi oleh budaya luar, terutama perihal kepercayaan, selayaknya masyarakat umum yang telah memiliki agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya.

Baca juga:

Saat berada di sana, saya dipertemukan langsung dengan salah satu masyarakat adat suku Mapur asli atau Lom. Berdasarkan apa yang saya dapat, masyarakat suku Mapur memiliki kepala adat yang disebut dengan istilah Abo Usang Gedoi, yang dipilih melalui musyawarah oleh seluruh masyarakat adat, baik Lom maupun Lah. Terdapat satu syarat utama untuk dapat menjadi kepala adat suku Mapur, yaitu harus merupakan keturunan dari orang Lom.

Di Ambang Kepunahan

Berdasarkan buku Preliminary Findings on a Non-Muslim Malay Group in Indonesia, yang ditulis oleh Olaf H Smedal, pada masa lalu kawasan hutan adat yang dimiliki oleh suku Mapur mencapai 89 ribu hektar. Kawasan ini menjadi sumber keberlangsungan hidup bagi mereka. Di sana terdapat sumber daya alam yang melimpah ruah sehingga menjadi harapan bagi masyarakat adat suku Mapur untuk dapat melestarikan warisan nenek moyangnya.

Namun, semua terlihat baik-baik saja sebelum rezim Orde Baru pada tahun 1998 berakhir. Setelah itu hutan adat yang dimiliki oleh suku Mapur perlahan mulai dikuasai oleh perusahaan perkebunan sawit, penambangan timah, hutan taman industri, dan tambak udang. Semua izin usaha yang memanfaatkan kawasan adat suku Mapur dikeluarkan pemerintah setelah reformasi tahun 1998 atau setelah terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2000.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Jessix Amundian, pada tahun 2022, peta indikatif wilayah adat suku Mapur menunjukkan bahwa kawasan hutan adat suku Mapur memiliki luas mencapai 37 ribu hektar. Hal ini berdasarkan Karang Lintang dan penyebaran suku Mapur di Desa Gunung Muda, Desa Mapur, dan Desa Gunung Pelawan. Sebagian wilayah ini dikelilingi oleh Perkebunan sawit milik PT. Gunung Pelawan Lestari (GPL).

Hasil riset yang saya lakukan melalui wawancara pada awal Maret 2024 lalu menunjukkan, hingga sekarang kawasan hutan adat yang dimiliki masyarakat suku Mapur tinggal tersisa 5 ribu hektar, dan jumlah populasi penduduk suku Mapur asli yang masih tinggal terhitung hanya berjumlah 300 orang.

Suku Mapur sedang berada di ambang kepunahan. Saat ini sudah tidak ada lagi hutan adat suku Mapur yang diakui oleh pemerintah. Semua telah berubah menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain yang digunakan untuk hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit, izin usaha pertambangan (IUP), serta hutan tanaman industri (HTI), belum lagi ditambah dengan penambangan timah, tambak udang, dan perkebunan sawit ilegal.

Pembabatan Hutan

Melihat tanah adat mereka semakin hari semakin dibabat habis oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka, orang-orang suku Mapur tidak tinggal diam. Segala daya upaya telah dilakukan oleh masyarakat adat setempat untuk menjaga tanah adatnya agar tidak terjajah lalu kemudian hilang begitu saja.

Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan mendirikan Lembaga Adat Mapur (LAM) yang bertujuan untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak yang mereka miliki, khususnya perihal hutan adat. Namun, alih-alih mendapatkan haknya kembali, perusahaan-perusahaan ini terus beroperasi dan tidak sedikit yang memperlebar lahan garapannya, seakan-akan tidak peduli dengan keberlangsungan kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada tanah tersebut.

Baca juga:

Di Dusun Air Abik, Desa Gunung Muda Bangka, terdapat satu kawasan yang berisi tujuh bangunan dengan balai, museum, dan beberapa penginapan dengan konsep yang menyerupai rumah adat suku Mapur. Kawasan ini disebut dengan Kampung Adat Gebong Memarong, kurang lebih luasnya sama dengan satu lapangan sepak bola. Sejatinya, kawasan ini dibuat oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang disponsori penuh oleh PT. Timah Tbk untuk dijadikan sebagai salah satu objek wisata guna menjaga dan melestarikan adat yang dimiliki suku Mapur.

Namun, saya menilai keberadaan pembangunan berkedok revitalisasi ini sama sekali tidak sebanding dengan perampasan hutan masyarakat adat suku Mapur yang luasnya mencapai ratusan bahkan ribuan hektar. Terlebih lagi, hutan tersebut merupakan satu-satunya sumber kehidupan yang mereka miliki. Menurut saya, melestarikan berarti menjaga dan merawat orisinalitas budaya yang ada, bukan menggantikanya, karena adat istiadat, budaya, dan kearifan lokal memiliki nilai tersendiri yang tidak akan pernah tergantikan. Masyarakat adat dan lingkungan hidup merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Melestarikan lingkungan berarti melestarikan masyarakat adat, begitu pun sebaliknya.

Menjaga Orisinalitas

Menjaga, merawat, dan melindungi orisinalitas budaya dan lingkungan hidup suku Mapur tidak hanya menjadi tanggung jawab orang Lom atau Lah sebagai bagian dari masyarakat adat. Lebih luas lagi, tanggung jawab besar tersebut harus dimiliki oleh setiap lapisan masyarakat. Ketika seluruh lapisan masyarakat telah sadar akan pentingnya melestarikan lingkungan sebagai sumber keberlangsungan hidup, maka akan terbentuk pemimpin-pemimpin yang pro terhadap lingkungan sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pun mengedepankan kepentingan lingkungan.

Masyarakat adat suku Mapur akan berada di ambang kepunahan jika masyarakat hanya diam melihat pembabatan, perusakan, serta perampasan hak mereka oleh kelompok yang hanya mementingkan kepentingan sendiri. Suku Mapur adalah satu di antara sekian banyaknya masyarakat adat yang kehilangan ruang hidupnya. Oleh karna itu, sudah sepatutnya kita merefleksikan apa yang dialami oleh masyarakat adat suku Mapur sebagai pembelajaran berharga untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik.

 

Editor: Prihandini N

Rofiq Anam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email