Saat ini mengajar anak inklusi.

Sekrup-Sekrup Pabrik

Rudi Setiawan

7 min read

“Meongggggg.”

“Meongggggggggg.”

“Meongggggggggggggg.”

“Meonggggggggggggggggg.”

“Gomprang, gomprang.”

“Kalau mau berantem jangan di depan rumah,” teriakku setelah melempar panci.

“Apa ada lagi yang lebih buruk dari ini, selain dibangunkan oleh kucing sialan.”

“Tik… Tik…”

“Jgeeer”

“Oh tidak, pagi-pagi turun hujan”.

Cuaca memang sedang tidak beraturan, terkadang pagi cerah dan sore hujan. Begitu pula sebaliknya, pagi hujan dan sore cerah. Aku tinggal di kota yang menjadi langganan banjir, kemacetan merupakan pemandangan yang tidak dapat dielakkan dengan gedung-gedung tinggi menusuk kaki-kaki langit. Usiaku sudah matang untuk menikah, tetapi tidak dengan keadaan finansialku. Aku tidak menyukai tempat tinggalku, tidak menyukai tukang sate yang mengganggu tidurku dengan teriakannya, tidak menyukai lantai yang kotor, tidak menyukai barang yang diletakkan bukan pada tempatnya, dan kadang-kadang aku tidak menyukai diriku.

Aku menikmati teh manis dan nasi uduk dengan hidangan penutup novel bekas yang siap disantap hingga beberapa bab di pagi hari. Aku membeli novel tersebut di toko yang menjual buku-buku lawas, letaknya di bibir Jalan Otto Iskandar Dinata. Penjualnya Pak Tomo—salah satu pria menyebalkan yang pernah aku kenal. Ia berdehem jika aku terlalu lama di toko bukunya. Padahal untuk membeli buku tak boleh sembarangan. Aku tidak mau memberikan asupan untuk otakku dengan bacaan yang tak bergizi. Selain karena sikap Pak Tomo, aku tidak menyukainya karena meletakkan keset yang tidak simetris di mulut pintu, buku-buku yang berdebu, rak buku yang kayunya keropos, dan masih banyak lagi. Aku terpaksa pergi ke toko buku ini karena letaknya tak jauh dengan rumahku dan harganya yang murah.

Aku suka suasana di pagi hari terutama ketika masih subuh, udaranya masih bagus untuk dihirup. Meskipun banyak hal-hal remeh yang mengganggu pikiranku di pagi hari, seperti suara kucing kawin, silat lidah antar ibu-ibu, dan Puspita. Puspita memiliki senyuman yang lebih manis daripada teh yang kuseduh setiap pagi, rambut dia bergelombang seperti ombak yang menerjang Pantai Sawarna. Kulitnya putih susu dengan tubuh yang padat. Ia mahasiswa akhir jurusan sastra Indonesia, sepertinya cocok denganku.

Namun kami memiliki status sosial yang berbeda. Bapak Puspita bekerja di salah satu instansi pemerintahan. Pak Burhan namanya—pria berkumis tebal dengan tatapan mata setajam silet. Lagi pula Puspita belum tentu suka kepadaku yang hanya buruh harian. Terdapat kabut tebal di antara kami. Andai kami menikah, aku khawatir tidak dapat menafkahi dengan baik. Aku khawatir kulitnya berubah warna menjadi susu kadaluwarsa, rambutnya menjadi tsunami, tubuhnya setipis kerupuk gendar dan senyumnya lebih pahit daripada kopi.

Jam menunjukkan pukul setengah tujuh dan hujan sudah reda. Aku dapat terlambat jika terlalu banyak melamun.  Aku berlari menuju jalan raya dan menunggu angkot dengan nomor 008. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya angkot datang. Pria paruh baya dengan handuk kecil bertengger di lehernya menghentikan angkot tepat di depan mukaku. Angkot berwarna biru pudar dan suara seperti orang bengek. Di dalamnya terdapat dua bangku kosong, angkot penuh seperti biasa di pagi hari. Aku berpikir sejenak, jika aku duduk dekat pintu. Aku khawatir bertemu pengamen yang  memaki jika tidak diberikan uang. Namun, duduk di paling belakang juga bukan posisi yang bagus. Aku khawatir jika terdapat mobil di belakang angkot yang memiliki rem blong, kemudian menabrak angkot. Kemungkinan besar, jika itu terjadi aku akan mati atau cacat. Bunyi klakson angkot membuatku segera naik.

Andai saja aku  mempunyai motor, maka aku tidak perlu berdesak-desakan dalam angkot kumuh ini dengan bau yang beraneka ragam. Ada yang berbau amis seperti ikan, ada yang berbau wangi seperti parfum kedaluwarsa, dan ada yang berbau keringatnya sendiri. Selain itu, aku dapat tidur agak malam, tanpa paginya takut kesiangan karena perjalanan yang ditempuh dengan motor lebih cepat ketimbang menggunakan angkot.

Angkot berhenti sebelum sampai di lokasi tujuan membuyarkan imajinasiku. Ternyata dugaanku benar, angkot yang aku naiki akan melahirkan masalah. Aku melihat jarum jam yang kurus berada di angka sembilan.

“Maaf Bapak atau Ibu, angkot ini ngambek dan tidak mau jalan. Tolong Bapak atau Ibu bantu saya untuk membujuknya supaya mau jalan lagi dengan cara mendorong angkot ini,” ucap sang sopir.

Sebenarnya aku enggan untuk berpartisipasi dalam rangka membujuk angkot tersebut agar mau jalan lagi. Namun, aku melihat dalam angkot hanya ada pria tua dan anak-anak sekolah, selebihnya adalah perempuan. Jika aku tidak ikut  membantu, mereka akan berpikir bahwa aku orang apatis yang tidak mau mengulurkan tangan untuk menolong sesama.

Tiga orang pria mendorong angkot. Aku mengeluarkan energi yang diperoleh dari nasi uduk, teh manis, dan novel picisan. Angkot mulai mengeluarkan suaranya seraknya, tidak lama kemudian ia sudah kembali normal untuk ukuran angkot jelek pada umumnya. Kami kembali memasuki angkot.

Tepat pukul 7 aku telah sampai di tempat perbudakan modern dengan jam kerja lebih dari delapan jam dan upah yang kecil. Jika bukan lulusan SMP, pasti aku dapat memperoleh pekerjaan yang lebih layak daripada ini. Duduk di ruangan ber-AC dengan map yang merebahkan dirinya di atas meja. Tanpa harus bermandikan keringat dan mendengar suara bising dari mesin-mesin. Pabrik ini memiliki gerbang yang berkarat, ruangan yang minim ventilasi, lantai yang berbeda-beda motif adalah pemandangan yang membuat ngeri.

“Pak jangan bengong di depan pintu, ayo cepat masuk sebelum saya menutup gerbangnya,” ujar satpam jangkung dengan seragam berwarna putih kusam.

Aku tersentak oleh ucapannya, aku berlari menuju fingerprint untuk mengisi kehadiran. Sudah beberapa kali aku mencoba tetapi tetap gagal, jari-jariku berkeringat. Sekarang tingkat ketakutanku meningkat karena khawatir dianggap tidak hadir oleh pihak perusahaan dan diberi sanksi dengan pemotongan gaji. Aku terus mencoba sambil berdoa. Akhirnya aku berhasil mengisi kehadirannya di kotak kecil yang menempel di dinding.

Seperti biasa, pekerjaanku di pabrik adalah mengangkat barang yang sudah dibungkus kardus ke palet (dua lapis kayu yang tersusun searah yang disela balok melintang). Aku harus menyusunnya dengan benar supaya barang tidak terjatuh yang akan mengakibatkan kerusakan lalu berujung pemecatan kepada diriku karena dianggap ceroboh.

Aku melihat teman kerjaku yang sudah sampai terlebih dahulu. Lelaki berbadan subur yang bernama Dona. Urat-uratnya dapat terpahat jelas saat ia mengangkat barang.

“Hai Don gimana punya kabar?” tanyaku untuk sekadar basa-basi.

“Alhamdulillah baik. Lu sendiri bagaimana?” tanya Dona.

“Ya begini-begini aja, menjalani hari-hari yang membosankan.”

Aku bekerja di pabrik yang memproduksi selai. Buruh pabrik yang bekerja di sini sedikit, hanya sekitar 12 orang yang terdiri dari beberapa bagian. Ada yang bekerja di bagian produksi, packing, gudang, dan sebagainya. Aku dan Dona bekerja di bagian packing. Kami harus mengangkat sebanyak 10 stoples dalam satu kardus ke satu palet. Dalam satu hari kami harus memenuhi target sebanyak 15 palet.

Dona adalah sahabatku, meskipun aku tidak menyukai cara Dona bekerja. Ia memasukkan stoples selai secara serampangan. Seharusnya ia meletakkan stoples selai dengan posisi yang sama, misalnya dalam satu kardus logonya menghadap ke depan. Dona juga tidak menyukai caraku bekerja, katanya aku terlalu perfeksionis.

“Kita hanya sekrup-sekrup pabrik. Dan kita akan digantikan dengan yang baru jika sudah tak layak. Jadi bekerjalah dengan sewajarnya.” Dona pernah berkata seperti itu.

“Kita itu kayak tubuh dan bayangan. Lu tubuh, sedangkan gue bayangannya.” Di lain waktu Dona pernah berkata seperti itu.

Tanpa terasa jam sudah memasuki pukul 12. Kami dan para buruh lainnya keluar pabrik untuk mencari makan maupun untuk mengerjakan salat zuhur bagi yang beragama muslim.

Aku pergi ke warteg bersama Dona. Kami bertemu Udin—teman satu pabrik tetapi berbeda bagian. Ia bertugas di bagian gudang.

“Lagi ngapain din?” sapaku.

“Lagi cari jodoh,” jawab Udin.

“Masa cari jodoh di warteg sihz din?” tanyaku.

“Lu lihatlah putri semata wayang Ibu Yuni, Udin sangat mengharapkan bisa memilikinya,” Dona langsung menyambar pertanyaanku.

“Kalian pada ngomongin anak saya ya?” tanya Bu Yuni sambil membungkus nasi.

“Enggak Bu,” aku dan Udin menjawab hampir serentak.

“Iya Bu. Karena anak Ibu cantik,” Dona menjawab dengan santai.

Aku menoleh ke arah Dona karena kaget mendengar ia menjawab blak-blakan. Dona memang memiliki wajah yang sedikit tampan, postur tubuh yang ideal, dan gaji yang lebih besar daripada gajiku.

Ibu Yuni sibuk membuat kopi. Aku melihat perbedaan antara ia dengan anaknya yang bernama Yuli, seperti langit dan aspal. Yuli memiliki sikap yang ramah dan mudah menebarkan senyuman, sedangkan Ibu Yuni lebih sering menyembunyikan senyumnya, seolah-olah senyumnya adalah berlian yang hanya ditunjukkan kepada kolektor.

“Mau pada pesan apa mas?” tanya Yuli dengan senyum yang merekah di bibirnya.

Suara menawan yang keluar dari rongga-rongga mulutnya menghangatkan suasana kembali. Aku memesan tempe dan tumis kangkung. Pertama-tama aku harus membelah tempe menjadi 4 bagian. Suapan pertama atau yang ganjil aku barengi nasi dengan tempe dan tumis kangkung, sedangkan suapan genap aku barengi nasi dengan tumis kangkung.

Aku dan Dona sudah kembali ke pabrik dan kulihat masih kurang 8 palet. Tinggal beberapa palet lagi untuk memenuhi target. Namun nahas menimpa kami, ketika kami mencoba menumpuk kardus paling atas, satu kardus jatuh ke lantai. Kami langsung membuka isi kardus untuk memastikan isinya, ternyata 5 stoples yang terbuat dari kaca pecah. Pikiranku mengembara ke mana-mana. Aku khawatir pihak perusahaan akan memecatku dan juga kawanku—Dona.

“Setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Dari kesalahan kita dapat belajar menjadi lebih baik,” Dona berkata kepadaku sembari menepuk-nepuk pundakku.

Kami dipanggil untuk menghadap HRD. Dona berjalan terlebih dahulu menuju ruang HRD, sedangkan aku masih duduk menunggu giliran. Setelah hampir setengah jam tak ada tanda-tanda dari Dona. Aku berinisiatif untuk menyusulnya.

Aku mengetuk pintu. Seorang dari dalam mempersilakanku masuk. Aku seperti di neraka—di dalamnya terdapat lukisan dengan posisi miring, pintu yang berdecit saat kubuka, dan seorang pria dengan rambut setengah botak dengan mengenakan kemeja yang tidak digosok. Aku dipersilahkan duduk, kakiku bergetar bukan karena aku pertama kali duduk di kursi yang bisa diputar, melainkan aku gemetar karena telah melakukan sebuah kesalahan.

“Kamu tahu apa kesalahanmu?” tanya Pak Radit yang menjabat sebagai HRD.

“Iya Pak,” jawabku dengan lesunya.

“Kamu telah teledor dalam melakukan pekerjaan. Okay kali ini saya maafkan, saya tidak akan memecat kamu, tetapi saya akan memotong gaji kamu.”

“Baik Pak terima kasih.” Aku merasa sedikit lega. Aku tidak dipecat, duniaku tak jadi runtuh, meskipun aku harus mengganti rugi dengan cara pemotongan gaji. Namun, aku heran karena tidak bertemu Dona.

“Maaf Pak. Apa Bapak melihat Dona?” tanyaku penasaran.

“Dona yang mana?” jawab Pak Radit.

“Dona teman saya di bagian packing Pak. Dona juga Bapak panggil untuk menemui Bapak.”

“Selain teledor, ternyata kamu juga pemabuk. Selama ini kamu bekerja sendiri di bagian packing.”

“Apa Bapak bercanda. Aku dan Dona bekerja di bagian packing selama bertahun-tahun. Dona lebih dahulu bekerja di pabrik ini daripada aku. Dona Dirgantoro, masa Bapak tidak tahu?”

“Sudahlah aku banyak urusan. Aku tidak ada waktu untuk meladeni ocehanmu. Sekarang kamu kembali bekerja dan lebih berhati-hati lagi!”

Aku keluar dari kantor dan bekerja dengan lebih hati-hati. Di tempat packing hanya ada aku sendirian. Sedikit demi sedikit aku menyusun stoples ke palet hingga akhirnya target produksi dapat terpenuhi. Bel berbunyi menandakan bahwa waktu kerja sudah selesai. Para buruh pulang ke rumah masing-masing.

Tak jauh dari pintu gerbang aku bertemu Udin dan temannya. Aku bertanya perihal keberadaan Dona. Namun, mereka merasa heran dan mengatakan bahwa tidak ada buruh yang bernama Dona.

Aku belum merasa puas, aku bertanya kepada para buruh, satpam, dan pemilik warteg. Namun, jawaban mereka hampir sama bahwa tidak ada buruh yang bernama Dona. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang menganggap aku gila.

Aku memberhentikan angkot dan masuk ke dalam. Aku terkejut menemukan Dona di dalam. Aku memeluknya dengan sangat erat.

“Pelan-pelan lu. Gue bisa mati,” kata Dona.

“Lu ke mana saja Don. Di pabrik tiba-tiba lu hilang. Dan teman-teman pabrik bilang, bahwa gak ada buruh yang namanya Dona,” Aku berkata kepada Dona dengan air mata mengalir di tebing pipi.

“Mereka lihatnya gak pakai kacamata. Buruan lu lepasin gue. Gak enak dilihat banyak orang, entar disangka kita homo.”

“Lu tahu enggak. Gue dianggap gila sama teman pabrik gara-gara lu.”

“Lu dari dulu emang gila. Mengecek isi kardus yang berisi stoples berkali-kali, cuci tangan kayak kukang. Baju, celana, sepatu, kaos kasi, bahkan sampai tali sepatu harus selalu bersih. Padahal kerja kita banyak menguras keringat. Percuma saja bersih-bersih, entar juga kotor lagi.”

“Eh bre, daripada lu. Kerjanya serampangan. Celana berminggu-minggu gak pernah ganti.”

Kami tertawa terbahak-bahak. Para penumpang melihat kami dengan heran. Tak lama kemudian, Dona turun dari angkot.

“Gue duluan ya bre.”

“Oke, sampai jumpa besok.”

Aku tiba di kos-kosan pukul 7 malam. Di dalam kos-kosan sudah ada Dodo dan Jodi yang bekerja di tempat berbeda. Jodi bekerja di pabrik sepatu sedangkan Dodo bekerja di pabrik elektronik. Mereka sedang menonton televisi.

“Gimana bre, hubungan lu sama Puspita,” Dodo berkata.

“Ya gak gimana-gimana. Lu gak lihat ada penunggunya seram bangat,” aku berkata dengan nada mengejek.

“Penunggu? Maksud lu Puspita punya jin?” Jodi menimpali perkataanku

“Sembarangan aja lu. Bapak Puspita dibilang Jin.”

“Haa… Bapaknya Puspita. Lu gak tahu emangnya. Ibunya pernah bilang ke gue. Saat Puspita umur satu tahun, bapaknya meninggal karena kecelakaan.”

“Lu mabuk kecubung ya? Hampir tiap hari gue lihat bapaknya di teras. Ngejogrog bae kayak gedebong pisang.”

“Mending lu buru-buru ke kamar. Cuci tangan, cuci kaki, dan minum susu sebelum gue telepon rumah sakit jiwa!”

“Lu lu pade juga masuk kamar sono, sebelum gue telepon avengers buat ngebasmi kalian,” aku berkata dan di akhir dengan tawa terbahak-bahak.

Aku pergi menuju kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki sampai benar-benar bersih. Aku merebahkan tubuh ke kasur dan membayangkan bahwa aku adalah Sisifus yang sedang memasang sekrup. Aku memutar sekrup ke kanan, lalu ke kiri untuk memastikan aku sudah memasangnya dengan benar dan kencang, lalu kuputar lagi ke kanan, lalu ke kiri, begitu seterusnya.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rudi Setiawan
Rudi Setiawan Saat ini mengajar anak inklusi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email