Politik oportunis yang banyak diperlihatkan partai politik selepas Pemilu 2024 mengingatkan saya dengan kemampuan kamuflase bunglon. Bunglon punya kemampuan mengubah warna tubuhnya demi mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri. Begitu pun dengan politik kontemporer yang lekat dengan manuver oportunisme. Pihak yang tadinya berseteru dalam pemilu kini berkamuflase menjadi teman. Politik semacam itu dapat dimaknai sebagai politik bunglon. Mempertahankan kepentingan sendiri adalah segala-galanya dalam politik, sekalipun ideologi partai menjadi taruhan.
Pelaku Politik Bunglon
Pelaku politik bunglon pandai membaca situasi untuk mengubah diri dan menyelinap ke dalam kelompok pencedok keuntungan. Politik bunglon tidak mengarusutamakan politik nilai. Kelompok politik ini mendefinisikan politik semata-mata sebagai upaya untuk mengeruk kekuasaan. Padahal, politik lebih dari itu. Politik adalah ikhtiar untuk memelihara nilai. Politik bunglon mengerdilkan politik menjadi sekadar tunggangan demi kepentingan golongan, bukan untuk menyiasati sukma keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan.
Baca juga:
Siapa pelaku politik bunglon? Mereka adalah orang-orang menghamba dan memburu suaka pada kekuasaan. Dalam konteks perpolitikan Indonesia hari ini, partai politik yang bergabung dengan koalisi pemenang Pemilu 2024 bisa dikategorikan sebagai pelaku politik bunglon itu. Partai politik yang kalah dalam pertarungan pemilu tiba-tiba membelot dan mengais remah-remah kekuasaan. Bayangkan betapa piciknya politik Indonesia.
Apakah demokrasi hanya dimaknai dengan menang dan kalah? Tentu tidak. Demokrasi menempatkan semua pihak secara setara dan terhormat, baik pemerintah maupun oposisi. Interpretasi tersebut dimaksudkan agar roda bernegara berjalan seimbang melalui sistem pengawasan. Demokrasi menyediakan ruang bagi pihak yang kalah untuk bertengkar lewat jalur oposan dengan perantara ide. Tujuannya untuk menghalangi praktik penyelewengan yang potensial dilakukan pihak pemenang.
Omong Kosong Reformasi Tanpa Oposisi
Bila ekosistem politik beroperasi tanpa kehadiran oposisi, reformasi hanyalah omong kosong. Bukankah semangat reformasi pertama-tama menolak kemapanan rezim Orde Baru yang melaju tanpa suara kritis? Lantas, apa bedanya rezim saat ini dengan rezim yang pada waktu lalu konon ditentang oleh mereka yang sekarang menjadi pelaku politik? Jawaban satu-satunya, mereka adalah kaum hipokrit yang menjilat ludahnya sendiri.
Kaum hipokrit dengan terang-terangan mempraktikkan politik bunglon. Tak peduli masyarakat mencemooh seperti apa, yang paling penting lambung mereka terisi walau hanya sejumput. Tampaknya, ujaran Mochtar Lubis tentang karakter hipokrit manusia Indonesia tercermin pada perilaku politisi, tabiat berpura-pura digunakan sebagai strategi untuk merengkuh kekuasaan.
Manuver politik bunglon yang sedang terjadi belakangan ini, seperti rekonsiliasi maupun silaturahmi politik antara partai yang menang dan kalah, disebabkan oleh ketiadaan ideologi partai. Boleh dibilang, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menanamkan ideologi sebagai basis perjuangan politik. Selebihnya hanyalah partai yang dibangun tanpa tuntunan ideologi yang ketat.
Hilangnya Ideologi Partai
Dalam politik, kontestasi ide menjadi satu-satunya mata uang yang paling sempurna guna menakar sejauh mana keberpihakan partai terhadap kepentingan masyarakat. Kontestasi ide tersebut hanya bisa terlihat mencolok melalui ketegasan ideologi partai. Tanpa sumber daya itu, partai politik akan selalu terjebak dalam kompromi yang pada akhirnya, meminjam istilah Rocky Gerung, menempatkan politik sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Permasalahan itulah yang menjadi akar kebobrokan partai politik.
Baca juga:
Ideologi partai sebagai penuntun setiap langkah politik para politisi menjadi hal yang tak bisa ditawar. PDIP dikenal lewat ideologi keberpihakan terhadap wong cilik (marhaenisme). PKS berjuang mengisi pos-pos politik lewat sentuhan berbasis nilai Islam. Perbedaan itu justru membuat masyarakat mempunyai determinasi dalam menentukan pilihan politik. Politik abu-abu selalu menyimpan potensi kembalinya politik bunglon.
Melalui pengetatan ideologi partai, setidaknya masyarakat diberi instrumen untuk mengevaluasi kebijakan partai melalui ideologi, bukan jargon fanatisme. Lewat ketegasan ideologi, partai politik akan mampu membangun sebuah proposisi argumentatif untuk memantik munculnya diskursus publik sekaligus menunaikan tugas sebagai pelantang edukasi politik. Melalui ideologi partai, efek domino akan dirasakan secara signifikan dalam banyak aspek, terutama meningkatkan pendidikan politik bagi masyarakat.
Fungsi primer partai politik adalah membersihkan demokrasi dari kenistaan kaum hipokrit. Pengetatan ideologi partai dimaksudkan untuk menghindari apa yang pernah disampaikan George Orwell tentang bahasa politik, bahwa bahasa politik sejak awal memang dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati. Dalam terminologi yang sempurna, demokrasi membutuhkan oposisi, bukan kaum hipokrit.
Editor: Prihandini N