Nama Lucifer identik dengan sosok malaikat yang berani menentang Tuhan hingga dikeluarkan dari tatanan surga. Namun, agak lain dengan sangkaan umum tentang Lucifer tersebut, Lucifer efek tak ubahnya suatu fenomena psikologis yang ekrap kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Buku yang berjudul The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil karya Philip G. Zimbardo menjelaskan percobaan Psikologi yang dilakukan oleh penulisnya pada tahun 1971. Percobaan yang dinamai Percobaan Penjara Stanford ini melibatkan delapan belas orang partisipan yang sudah dipastikan sehat secara fisik dan mental, serta tidak memiliki catatan kriminal atau riwayat kejahatan.
Baca juga:
Mekanismenya cukup sederhana, partisipan dibagi dalam dua kelompok dengan satu kelompok bertindak sebagai sipir dan kelompok yang lain sebagai tahanan. Partisipan dengan peran sebagai sipir dibebaskan melakukan apapun untuk membuat tahanan menaati aturan. Kelompok sipir diperbolehkan mendisiplinkan tahanan tanpa menggunakan kekerasan fisik dalam percobaan ini.
Masalah muncul ketika kelompok sipir mulai menertibkan tahanan menggunakan cara kekerasan. Satu per satu mulai menerapkan aksi-aksi yang tidak manusiawi supaya kelompok tahanan menjadi taat terhadap para sipir. Percobaan menjadi tak terkendali ketika kekerasan meluas sehingga percobaan yang semula direncanakan akan berlangsung selama dua minggu dipersingkat menjadi hanya enam hari saja.
Temuan dari percobaan inilah yang disebut sebagai Lucifer effect. Lucifer effect adalah fenomena psikologis ketika seseorang yang berkepribadian baik cenderung bertindak semena-mena terhadap orang di “bawah” mereka apabila diberikan wewenang dan kekuasaan untuk mengatur orang lain.
Fenomena Lucifer effect mengingatkan saya akan salah satu atasan yang sangat suka memarahi bawahannya di kantor. Namun, ketika bertemu di luar kantor, atasan ini berubah menjadi sosok yang baik dan ramah; berbeda seratus persen dengan sifatnya saat di kantor.
Berkaca pada contoh kasus atasan saya ini, pendefinisian hasil percobaan Zimbardo lakukan perlu dispesifikkan, yakni orang dengan kekuasaan tinggi akan merasa punya wewenang atau kuasa atas orang lain dalam situasi tertentu. Mereka yang diberi kuasa akan memaksimalkan apa yang mereka miliki untuk mengontrol siapa pun yang ada di bawah mereka. Ironisnya, fenomena mengerikan ini terlalu sering kita jumpai di keseharian.
Atasan saya yang suka memarahi bawahannya hanya bisa berlaku demikian saat berada di kantor. Di luar kantor, relasi atasan-bawahan menjadi tidak begitu jelas sehingga si atasan mengubah perilakunya terhadap si bawahan. Meskipun begitu, kuasa dan wewenang yang terbatas dalam ruang, waktu, dan situasi tertentu ini bukan satu-satunya faktor pemicu seseorang menjadi jahat dan semena-mena. Ada banyak hal yang sifatnya kompleks yang juga bisa memunculkan sisi jahat dalam diri kita.
Baca juga:
Lantas bagaimana kita harus menanggapi situasi yang seperti ini? Penting untuk menanamkan rasa kemanusiaan terhadap satu sama lain. Semua manusia punya posisi yang sama sebagai manusia. Jika kita bisa menanamkan nilai kemanusiaan dan rasa menghargai sebagai manusia, tentu faktor situasional tidak akan berpengaruh sedemikian signifikan terhadap perilaku kita.
Akhir kata, percobaan Zimbardo tetap penting karena telah berkontribusi menunjukkan salah satu alasan rasional mengapa seseorang bisa tampak seperti dua orang yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Dari percobaannya yang berbahaya ini, kita jadi tahu bahwa manusia selalu punya potensi untuk menjadi jahat dan melakukan kejahatan.
Editor: Emma Amelia